Minggu, 25 Mei 2014

Menyimpul Badai: WE ARE INDONESIA(N)



 
Turkey's Servet Tazegul kicks Britain's Martin Stamper (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)
Turkey’s Servet Tazegul kicks Britain’s Martin Stamper (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)
Saya bukanlah seorang Taekwondo-in yang baik. Setidaknya apabila dilihat dari alasan yang melatari saya dalam mempelajari seni beladiri asal negeri ginseng tersebut. Sempat tumbuh di beberapa negara Eropa, Amerika dan Afrika, membuat saya lebih akrab pada sosok bintang film Hollywood yang lagi ngetrend saat itu, Chuck Noris..! Kelincahan dan keluwesannya saat berduel, telah memikat hati saya untuk lebih mempelajari seni beladiri karate.
Namun ketika ibu saya menerima tawaran untuk menjadi konsultan sebuah perusahaan tekstil terbesar di Asia Pasific milik Jepang yang berkedudukan di Bandung, saya mulai dihadapkan pada suatu dilema. Sekolah yang akan menjadi tempat saya melanjutkan pendidikan itu, hanya menyediakan kelas Taekwondo dan Pencak Silat untuk bidang studi ekstrakurikuler Seni Beladiri. Tidak ada pilihan lain..! Hehehe..!
Adalah Tubagus Indra Zuhri, yang kemudian menyarankan saya untuk memilih kelas Taekwondo. Alasannya sederhana. Dia menilai saya cukup baik dalam penguasaan basic karate. Namun tentu saja bukan hanya karena itu, pada saat yang sama saya juga tertarik dengan kelas melukis di kelas seni rupa. Terdorong oleh iming-iming janjinya yang akan melatih saya setiap hari Minggu, maka jadilah saya sebagai peserta baru di kelas Taekwondo. Berada dalam bimbingan langsung salah satu anggota Dewan Guru Taekwondo dunia pada setiap minggu, adalah kesempatan langka yang amat membanggakan..!
Sepenggal kisah masa lalu itu, sekilas mengalun dalam pikiran saya, sepanjang perjalanan menuju suatu tempat yang telah dijanjikan. Di sini, tempat dimana segala yang berbau Korea bisa dengan mudah kita dapatkan. Mulai dari bumbu dapur, sabun mandi, parfum, produk fashion, mainan anak-anak, pusat kebugaran, pusat pengobatan tradisional Korea, klinik bedah plastik, salon, bahkan hingga ke jasa pelayanan sexual dari wanita-wanita asal Korea..! Ya, inilah perkampungan Korea yang ada di salah satu sudut kota Kuala Lumpur. Hehehe..! Tapi tentu saja bukan untuk tujuan yang satu itu jika pada Jumat malam tadi saya berada di sana. Kedatangan saya semata-mata untuk memenuhi undangan seorang sahabat.
Berbekal sekeping kartu nama, petugas keamanan berkebangsaan Nepal di perumahan tersebut membimbing saya ke sebuah rumah yang sudah tidak asing lagi. Yup, rumah itu adalah rumah sahabat saya, orang Korea. Seperti biasa, gonggong anjing akan menyalak, menyambut setiap tamu yang datang. Menangkap kehadiran saya, beberapa orang yang telah lebih dulu datang, bergegas berdiri untuk membukakan pintu dan menyambut kedatangan saya dengan begitu hangat, khas Korea..! Beberapa sahabat Korea saya terlihat hadir, termasuk dua lelaki asal Indonesia yang sudah sangat saya kenal, Tubagus Indra Zuhri beserta sang ayah, Tubagus Zuhri, seorang purnawirawan TNI AD yang pernah menjadi salah satu direksi di PT Pindad saat masih dalam kendali BJ Habibie. Karena mereka jugalah, saya bisa hadir di antara mereka dalam kesempatan itu.
Family Day, sejatinya adalah moment yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarga dalam tradisi bangsa Korea, untuk menyambut kedatangan sesepuh atau orang yang dituakan dalam keluarga tersebut. Tujuannya adalah untuk memperat hubungan persaudaraan dan membimbing seluruh anggota keluarga untuk senantiasa berada dalam jalur yang baik dan benar. Berbagai teguran dan pesan penting yang penuh dengan nilai-nilai cinta dan kasih sayang akan dibekalkan kepada semua hadirin. Hal yang paling unik bagi saya adalah tentu saja atraksi yang dipersembahkan oleh masing-masing keluarga yang berlangsung hingga ke pagi hari. Ada nyanyian, tarian, persembahan musik dan ada juga atraksi bela diri yang menampilkan berbagai ilmu bela diri tradisional dari Korea. Selain itu, hal yang paling saya nantikan adalah bertemu dengan sesepuh keluarga tersebut. Biasanya, dia merupakan sosok yang paling dihormati dan paling didengar di dalam lingkungan keluarga besar. Termasuk sosok lelaki tua yang sedang berhadapan dengan saya saat ini. Sebut saja Kim, panggilan akrab yang sudah melekat sejak kecil.
Kim adalah seorang veteran perang Korea yang sangat dihormati semasa mudanya. Kecerdasan, kegigihan dan keberanian, adalah karakter yang melekat kuat dalam dirinya. Semasa Korea Utara melakukan invasi ke wilayah Korea Selatan pada 25 Juni 1950, Kim memimpin sebuah resimen Angkatan Darat Korea untuk maju bertempur menghadang serangan tentara Korea Utara yang didukung penuh oleh militer China dan Uni Soviet. Tak terhitung berapa banyak korban yang dia saksikan harus meregang nyawa diterjang mortir atau tertembus timah panas. Naluri kemanusiaannya terusik. Melepaskan senjata, dan diam-diam melepaskan diri dari pasukan, kemudian menyusup ke jantung pertahanan lawan, dan berhasil menemui panglima komando perang Korea Utara. Dia berhasil meyakinkan, perang yang terjadi saat itu tidak semestinya terjadi seandainya tidak ada hasutan pihak asing. Kita bersaudara..! Begitulah seru Kim. Luar biasa, keberhasilan diplomasinya sempat menghentikan letusan api peperangan. Bahkan harapan untuk disenggarakannya kembali perjanjian damai di antara mereka kian memuncak. Mimpi terwujudnya sebuah Korea yang bersatu kembali terbersit dalam hati mereka. Namun sayang, di saat bersamaan nun jauh di tengah lautan, pasukan tempur USA yang terlanjur menerima permintaan pemimpin Korea untuk membantu mereka, sedang bergegas menuju medan perang.
Republic of Korea (ROK) soldiers move in single file toward Korea's east-central front near Lookout Mountain, east of the Pukhan River, on June 28, 1953 during the Korean War (photo: AP)
Republic of Korea (ROK) soldiers move in single file toward Korea’s east-central front near Lookout Mountain, east of the Pukhan River, on June 28, 1953 during the Korean War (photo: AP)
Melihat gelagat yang mengancam, akhirnya pesan damai yang ditawarkan Kim pun diabaikan. Korea Utara kembali melakukan serangan membabi buta. Wilayah kekuasaan Korea Selatan saat itu hanya tinggal menyisakan secuil wilayah di Selatan. Impian Korea Utara untuk menguasai seluruh wilayah di semenanjung Korea hampir terwujud. Sayang, USA telah lebih dulu datang dan langsung melakukan penyerangan langsung dari ketiga matra. Liciknya, melihat besarnya kekuatan Korea Utara dalam pertempuran tersebut, USA berhasil mendesak PBB untuk segera mengirimkan pasukannya.
Alih-alih menjaga perdamaian, pasukan PBB ini malah terlibat perang membela Korea Selatan dari serangan tiga serangkai Korea Utara, China dan Uni Soviet. Tentara sekutu berhasil memukul mundur pasukan Korea Utara hingga memasuki wilayah Khaseong. Di wilayah ini pula, tepatnya di garis LU 38 derajat, kekuatan kedua belah pihak mengalami titik kesetimbangannya. Baik Korea Utara maupun Korea Selatan, tidak mampu lagi bergerak untuk memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga akhirnya gencatan senjata pun disepakati oleh kedua belah pihak, bahkan hingga ke hari ini.
The ceasefire of 1953 called for all foreign troops to be withdrawn from the Korean peninsula. The Chinese withdrew, as did the Canadians, British and most other UN forces. But the Americans, at the behest of the South Korean government, stayed. (photo: Hulton Archive / GETTY IMAGES)
The ceasefire of 1953 called for all foreign troops to be withdrawn from the Korean peninsula. The Chinese withdrew, as did the Canadians, British and most other UN forces. But the Americans, at the behest of the South Korean government, stayed. (photo: Hulton Archive / GETTY IMAGES)
Tidak adanya perjanjian damai yang menyepakati dan mengatur batas-batas wilayah kedua Korea, telah menyebabkan kondisi damai yang ada saat ini menjadi sangat rentan dari kemungkinan kembali terjadinya perang di antara mereka. Hal yang paling menyakitkan adalah justru ketika belakangan terkuak sebuah perjanjian rahasia antara USA dan USSR, yang telah mengatur batas wilayah di garis LU 38 derajat, sebagai batas yang telah mereka sepakati sejak lama, bahkan di saat kedua Korea belum mendapatkan kemerdekaannya.
Hadirnya Uni Soviet yang telah membantu melawan Jepang dalam perang Pasific, membuat USA terpanggil untuk memberikan hadiah kepada seteru abadinya itu. Di saat USA membentuk wilayah penyangga di Selatan, maka USSR dibiarkan membangun wilayah penyangganya di Utara. Garis LU 38 derajat, adalah batas demarkasi yang mereka sepakati berdua. Hal ini pulalah yang kemudian memicu pemberontakan para kaum nasionalis Korea Selatan untuk melepaskan diri dari cengkeraman USA. Namun sayang, pemberontakan yang dilakukan, terlalu mudah untuk dijinakkan.
Sebagai pemilik ideologi kapitalis, USA berhasil mencekoki para elit kaum nasionalis dengan berbagai kemewahan yang selama ini hanya dimiliki bangsa Jepang. USA berhasil meyakinkan rakyat Korea Selatan bahwa tujuan dari sebuah aliansi adalah kesejahteraan, bukan kekuatan. Angin globalisasi dihembuskan, rakyat Korea Selatan dihalalkan untuk mengagumi keberhasilan ekonomi negara-negara sekutu USA, dan membawanya pulang ke tanah air untuk dijadikan sebuah pajangan yang kelak akan dipertontonkan pada saudaranya di Utara.
Ketiadaan perjanjian damai, telah menyebabkan lahirnya perbedaan cara pandang di antara dua Korea. Bagi Korea Utara, menganggap bahwa kondisi damai yang ada hanya bersifat sementara, sejatinya perang masih sedang berlangsung, sehingga kebutuhan militer masih menjadi prioritas utama. Sedangkan Korea Selatan terlihat mulai melupakan perang, dan lebih fokus untuk membangun ekonominya. Fakta di lapangan menunjukan dua sisi perbedaan yang amat mencolok. Dari segi ekonomi, Korea Selatan jelas sudah jauh meninggalkan saudaranya di Utara. Tapi dari segi militer dan penguasaan teknologi militer, Korea Utara, masih lebih menjanjikan untuk memenangi pertempuran kapanpun dan di manapun.
Hal ini diakui secara jujur dan tulus oleh Kim, yang pasca Revolusi April 1960, dia keluar dari dinas kemiliteran, dan mengabdikan diri pada misi-misi damai yang diemban oleh Kemenlu Korea Selatan. Pernah bertugas di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Australia. Kecintaannya yang besar terhadap Taekwondo, telah menjadikannya sebagai salah satu atase kebudayaan atau diplomat Korea Selatan yang paling disegani dunia. Dia berhasil mempopulerkan Taekwondo ke seluruh dunia, dan memiliki networking yang luas dengan berbagai kalangan terkemuka.
Taekwondo, telah mempertemukan beliau dengan Indonesia, keluarga besar Tubagus Zuhri, dan hari ini dengan saya. Hahaha..! Ketika saya akan melakukan tendangan memutar, saya melihat bahasa tubuhnya ingin melakukan serangan, akhirnya dengan segera saya mengubah gerakan, dan membuat tendangan lurus menyamping. Gagal diantisipasi, akhirnya kaki saya mendarat mulus di bagian tengah body protector yang terpasang di tubuhnya. Seketika ruangan pun menjadi riuh dengan tepuk tangan yang penuh keriangan. Senang dan bangga bisa berlatih Taekwondo dengan salah seorang mantan Ketua Dewan Guru Taekwondo Dunia. Terima kasih Kim..!
“You are the winner..!” bisiknya lirih. Hehehe..! Tentu saja ucapannya ini bukan untuk memuji saya yang barusan telah sukses memperdayainya dengan tendangan lurus menyamping. Ucapan ini ditujukan untuk segenap bangsa Indonesia, yang selalu bisa melepaskan diri dari cengkeraman kekuatan asing. Kita pernah dikuasai Portugal, Belanda dan Jepang. Kita juga pernah disusupi Inggris, USA, USSR dan China. Tapi hingga kini, dari Sabang sampai Merauke, kita masih bersama-sama dan tetap bangga untuk berkata, Kita adalah Indonesia, Kita bangsa Indonesia..! Meski di luar, kita perlu tahu bahwa libido kekuasaan sang adikuasa tidak pernah surut.
Cita-cita terbesar mereka yang sesungguhnya bukanlah untuk menguasai negara-negara kecil seperti Singapore, Malaysia, New Zealand, Kore Selatan, Philipine, Thailand ataupun Taiwan. Dari dulu hingga sekarang, USA masih berambisi untuk membangun rantai api kekuatan yang terbentang dari Jepang, Indonesia, Australia dan Honolulu. Mereka sangat yakin, dengan bermodalkan kekuatan ini, USA akan menggapai segala puncak kekuasaannya di dunia. Take all benefits, and run..! Pesannya singkat dan padat.
Di atas meja telah tersedia beberapa botol wine dari Korea dan teh ginseng hangat dalam poci. Senyumnya tulus mengembang. Sembari menepuk bahu, dia menyodorkan secawan teh ginseng kepada saya. Minuman yang sangat sarat dengan makna. Teh merupakan lambang ketenangan dan kedamaian. Sedangkan ginseng melambangkan kekuatan. Artinya, dengan minuman itu, dia menyampaikan pesan bahwa ketenangan dan kedamaian adalah tujuan awal dan akhir dari sebuah kehidupan, adapun kekuatan akan diperlukan untuk meraih kemenangan, agar segarnya teh dan hangatnya ginseng bisa terus dinikmati. Sebuah pesan damai yang indah, yang perlu terus dijaga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya mengangguk dan membungkuk, sebagai tanda telah memahami pesan yang dimaksud.
Jam telah menunjukan pukul tiga pagi, ketika saya harus berpamitan pulang. Bulan di balik awan turut lancang memandang, ketika saya menyusuri jalanan Kuala Lumpur yang lengang. Pikiran saya terus menerawang, merenungi kembali berbagai peristiwa dan fenomena yang datang tak diundang. Ada peristiwa penyadapan yang melibatkan USA, Australia, Malaysia, Singapore, Korea Selatan dan Jepang. Ada penguasaan Ukraina oleh Barat, dan ada juga pembelotan Crimea oleh Russia.
Kota Kuala Lumpur
Kota Kuala Lumpur
Terakhir adalah kembalinya dua raksasa yang paling ditakuti dunia. Russia dan China kembali memperkuat poros Moskwa-Beijing. Bagi Korea Selatan, hal ini merupakan pertanda nyata, bahwa perang terbuka akan kembali mengemuka. Namun aliran peristiwa yang ada, dinilai masih belum cukup untuk memenuhi prasyarat perang yang sebenarnya. Masing-masing kubu masih berusaha melakukan tebar pesona untuk memikat bangsa idamannya. Berbagai kemewahan sedang ditawarkan, agar impian kian pasti dalam genggaman.
Sikap Indonesia sedang menjadi panutan sekaligus juga tontonan. Setiap keputusan yang diambil akan menentukan rambatan api dalam sumbu mesiu itu, apakah akan semakin berkobar atau justru sebaliknya akan padam. Sampai disini, saya mulai menemukan keterhubungan di antara pernyataan menggelitik yang pernah disampaikan oleh sahabat-sahabat dari Korea, mulai dari sebutan otak dagang hingga yang terakhir, take it all and run..! Hehehe..!
Mungkinkah mereka ingin mengatakan bahwa keputusan untuk berperang yang lebih besar selanjutya ada di pundak bangsa Indonesia? Saya yakin kita semua tidak yakin, mengingat sudah terlalu lama kita tidak pernah menjadi pemeran utama dalam episode sandiwara dunia. Tapi ingat, menjadi aktor besar, bagi Indonesia bukan sekedar ilusi atau pun ambisi, secara nyata kita telah memiliki potensi. Selamat berjuang, Bung..! Salam Indonesia Besar..! Mari tetap berbangga untuk berucap, WE ARE INDONESIA(N)..! Salam..! (by: yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 24 May 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar