Seturut www.defense-aerospace.com, dikutip di Jakarta, Jumat, KF-X terkait penjualan 40 unit F-35A Lighting II buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat, kepada Korea Selatan dengan skema foreign military sales.
Lokcheed Martin menawarkan menyediakan 21 teknologi yang diperlukan untuk membangun KF-X sebagai bagian dari offset F-X III.
Lockheed Martin ditetapkan sebagai mitra utama KF-X yang dari sisi Korea Selatan digerakkan Korea Aerospace Indutries. Kemitraan KAI-Lockheed Martin sebelumnya telah berjalan dengan T-50 Golden Eagle, yang secara kasat mata sangat mirip dengan F-16 Fighting Falcon.
Indonesia membeli dua jenis pesawat terbang militer dari KAI, yaitu KT-1B Wong Bee bermesin turboprop, dan T-50i Golden Eagle, sebagai pesawat tempur taktis.
Indonesia juga menjadi mitra internasional Korea Selatan dalam pengembangan KF-X ini, dalam program yang dinamakan KF-X/IF-X, dengan skema kerja sama berbeda.
Sejalan persyaratan dari Badan Program Pembelian Pertahanan Korea Selatan (DAPA), Lockheed Martin juga sepakat berkonsultasi dengan pemerintah Amerika Serikat terkait transfer teknologi tambahan pada radar active electronically scanned radar (AESA), electro-optical targeting pod, infrared search-and-rescue systems, dan radio frequency jammer.
Pada April 2015, DAPA menerima surat penolakan tambahan empat transfer teknologi itu. “Kami berusaha mengamankan lisensi ekspor Amerika Serikat pada bidang-bidang itu, tapi gagal,” kata Kepala DAPA, Letnan Jenderal Park Shin-kyu.
“Namun begitu, kamu akan mencari jalan meraih teknologi itu dari negara lain atau dengan mengembangkan sendiri,” kata dia. Park juga menyatakan, dengan semua perkembangan itu, program itu bisa mundur dari jadual yang telah ditetapkan, yaitu lebih lambat dari 2025 nanti, karena ketiadaan transfer teknologi dari Amerika Serikat.
AESA adalah spesifikasi kunci KF-X yang diharapkan berupa F-16 plus bermesin ganda dengan sistem sensor berteknologi paling mutakhir. Akan ada 120 KF-X yang akan dibuat menggantikan jajaran F-4 Phantom dan F-5 Tiger yang menua.
Lockheed Martin, secara terpisah, menyatakan, masih berkonsultasi dengan pemerintah Amerika Serikat tentang transfer teknologi itu.
“Tidak ada negara penerima F-35 yang mendapat teknologi radar AESA itu,” kata pejabat Lockheed Martin. “Kami perjelas, transfer teknologi hanya bisa atas persetujuan pemerintah Amerika Serikat, namun kami gagal,” kata pejabat itu.
Executive Officer, Cheong Wa Dae, menyatakan, DAPA mencoba menanggulangi kegagalan transfer teknologi itu.
Kantor Kepresidenan Korea Selatan menyatakan kecurigaannya bahwa DAPA telah menunjuk Lockheed Martin sebagai mitra utama untuk F-X III dan KF-X dengan cara yang tidak wajar.
“Kantor kepresidenan akan memeriksa semua kertas kerja dan dokumen terkait program KF-X,” kata juru bicara Cheong, seraya menambahkan, program ini bisa dihentikan jika dinilai tidak ekonomis dan tidak mungkin dilaksanakan secara teknologi.
Ada juga sinyalemen bahwa kebuntuan di KF-X berpengaruh pada kontrak program F-X III.
“Saya pikir tidaklah mungkin bagi pemerintah Korea Selatan membatalkan kontrak dengan Lockheed Martin pada saat ini. Tetapi kontroversi tentang proses kompetisi F-X III bisa menjadi hal lain lagi,” kata Sekretaris Jenderal Forum Pertahanan dan Keamanan Korea Selatan, Kim Dae-young.
Pada 2013, Lockheed Martin mundur dari kompetisi F-X III justru di tengah jalan, tetapi DAPA mengubah keputusannya kemudian, yang membuat jengkel penawar yang berikut, Boeing.
DAPA, pada sisi lain, berargumentasi bahwa Angkatan Udara Korea Selatan mutlak memerlukan pesawat tempur yang dilengkapi radar generasi kelima sebagai antisipasi mereka menghadapi ancaman Korea Utara.
Sebagai hasilnya, Lockheed Martin memenangi kontrak senilai 7 miliar dolar Amerika Serikat, mengalahkan Boeing dan Eurofighter; walau yang terakhir ini berjanji menyediakan transfer teknologi lebih menyeluruh ketimbang kompetitornya.
“Jalan paling mudah bagi kami adalah membeli radar dan sensor Amerika Serikat dan memasangnya di KF-X, tapi ini bisa kontraproduktif,” kata Kim, menyinggung trauma mereka akan hal yang pernah terjadi pada pembangunan T-50.
Lockheed Martin membantu Korea Selatan membangun pesawat latih lanjut jet tempur supersonik T-50 Golden Eagle.
Tetapi teknologi kuncinya diproteksi Amerika Serikat, sehingga mengintegrasikan itu dengan radar Eropa atau mengeksport jet-jet itu kepada negara lain memerlukan persetujuan Amerika Serikat.
“Kasus ini harus kami pandang sebagai kesempatan kami meninjau lagi bagaimana kami berlaku dengan Amerika Serikat,” kata anggota Parlemen Korea Selatan, Kim Jung-hoon dari Partai Saenuri, yang berkuasa.
“Kami memutuskan membeli pesawat tempur generasi kelima dengan harapan diberi transfer teknologi tinggi, namun ternyata, kami tidak dapat apa-apa,” kata Kim. (Antara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar