Model Kapal Selam Changbogo |
Kok jadi begini ?
Dulu, ketika kontrak ditandatangani, Kementerian Pertahanan mengatakan, pembangunan tiga kapal selam menggunakan skema: Kapal selam pertama dibangun di Korea Selatan. Kapal selam kedua juga di Korea Selatan namun bersama dengan PT PAL Indonesia. Adapun kapal selam ketiga digarap di galangan PT PAL Surabaya.
Indonesia rela membeli kapal selam KW 1 U-209 , karena ingin mendapatkan transfer teknologi. Jika tidak ada unsur transfer teknologi di dalamnya, tentu Indonesia akan membeli kapal selam yang sudah terbukti handal seperti Kilo / BNV Class buatan Rusia yang dijuluki ”The Ocean Black Hole” karena kesenyapannya. Kapal selam Kilo juga mengangkut rudal Klub S yang memiliki jangkauan tembakan 300 km.
Kapal selam Kilo telah digunakan banyak negara, antara lain: China, India, Iran, Vietnam dan Rumania. Sementara Changbogo, hanya digunakan oleh Korea Selatan. Ketangguhan kapal selam Kilo juga diakui petinggi TNI AL saat itu, dengan mengatakan: “Masak kita tidak ingin membeli kapal selam yang juga bisa melakukan pre-emptive strike, menyerang ke negara musuh, bukan hanya mutar-mutar di halaman rumah sendiri, seperti anjing kampung”.
Tender Kapal Selam
Dalam tender pengadaan 3 kapal selam waktu lalu, Rusia maju menawarkan kapal selam Kilo Class. Namun opsi pembelian kapal selam Kilo dibatalkan karena tidak ada unsur transfer teknologi, sesuai arahan Presiden SBY dalam pengadaan alutssita.
Di saat yang sama datang Korea Selatan menawarkan kapal selam Changbogo, turunan dari U-209 Jerman dan siap melakukan transfer teknologi.
Di saat-saat terakhir, Turki juga mengajukan penawaran. Turki sangat percaya diri akan menjadi pememang karena mengantungi lisensi U-209 dari HDW Jerman beserta teknologi AIP-nya. Tapi entah mengapa, Turki pun mental dalam tender ini. Kemungkinan karena dianggap terlambat mengajukan penawaran.
Masyarakat pun bertanya-tanya mengapa Korea Selatan tiba-tiba membatalkan transfer teknologi dari kapal selam itu ?.
Usut punya usut, muncullah pernyataan dari anggota Wakil Ketua Komisi I DPR, TB Hasanuddin. Menurut Mantan Sekretaris Militer Presiden ini, kapal selam Changbogo Korea Selatan menggunakan teknologi Jerman, di mana Jerman hanya memberikan lisensinya kepada kepada Turki.
“Kita dapat surat dari pemerintah Jerman yang isinya mempertanyakan langkah pemerintah RI membeli kapal selam dari Korsel, yang menggunakan sistem teknologi yang dimiliki Jerman. Di mana, dalam surat tersebut disebutkan bahwa pihak Korsel tidak mendapat lisensi teknologi dari Jerman. Lisensinya hanya diberikan pada Turki saja,” tuturnya.
Menurut Mayjen purnawirawan TB Hasanuddin, surat dari Jerman itu memperingatkan Indonesia agar hati-hati atas kapal selam yang dibeli dari Korsel . Hal ini mengingat tidak ada jaminan lisensi dari negara pemilik teknologinya. Secara etika, semestinya Korsel harus minta ijin dulu ke Jerman. Tapi sampai saat ini, Korea Selatan belum melakukannya.
Tampaknya tidak adil jika kita hanya menyalahkan pihak Korea Selatan. Yang juga perlu dikaji, bagaimana pihak Indonesia bisa menyetujui perjanjian itu bila terbukti tidak ada transfer teknologi di dalamnya. Jika Indonesia merasa yakin ada klausal transfer teknologi, tentunya akan percaya diri untuk menggugatnya. Apakah Indonesia akan menggugat Korea Selatan ?. Tanda tandanya belum terlihat.
Kita kilas balik sedikit tentang kasus pengadaan 4 Korvet Sigma dari Belanda. Saat itu digembar gemborkan bahwa korvet Sigma bagian dari road map Korvet Nasional. Pembangunan terakhir Korvet Sigma akan dilakukan di Indonesia. Kontrak pun ditandatangani, namun semua korvet itu akhirnya di bangun di Belanda.
Apa sebenarnya yang terjadi atas kasus pengadaan kapal Selam Changbogo Kore Selatan dan Korvet Sigma Belanda tersebut ?.
Komisi Pertahanan DPR meminta Kementerian Pertahanan meninjau kembali nota kesepahaman kerja sama pembelian tiga kapal selam itu. “Jangan sampai teledor dan berujung negara merugi karena tidak maksimal mendapatkan transfer teknologi,” ujar anggota Komisi Pertahanan, Yahya Sacawiria.
Persoalan itu memang harus diselesaikan secara transparan agar tidak terulang kembali di masa depan.
Ada satu kisah menarik ketika saya berkendara sore hari di sebuah lapangan, di Mekah Arab Saudi. Saya disupiri oleh seorang warga Arab Saudi campuran Indonesia. Dia bercerita tentang lapangan yang sedang kami lalui. Lapangan yang lebih rendah satu meter dari jalan raya itu, pernah dilanda banjir dan menewaskan seorang anak. Kejadian ini membuat Raja Arab Saudi marah dan meminta dilakukan pengusutan mengapa bisa terjadi banjir. Kesimpulan dari pengusutan adalah, drainase di sekitar lapangan dan jalan raya, terlalu kecil, tidak bisa menampung debit air dan tidak sesuai dengan maket yang telah disepakati sebelumnya. Namun pembangunan drainase itu telah dilakukan puluhan tahun silam.
Apa yang terjadi…?. Raja Arab Saudi memerintahkan Polisi untuk memburu mandor dan para pekerja yang membangun drainase itu. Sebagian dari mereka sudah kakek-kakek karena membangun drainase itu puluhan tahun yang lalu. Namun mereka tetap dimasukkan ke penjara dengan hukuman yang bertingkat karena lalai dalam melakukan pekerjaannya. Kisah ini menyebar luas ke seluruh warga. Dan tentunya anda sudah bisa menduga, apa yang terjadi dengan proyek-proyek pembangunan di Arab Saudi setelah peristiwa itu. Tidak ada yang berani main-main atau teledor. (JKGR).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar