Dilansir dari laman CBS News, Selasa 25 Februari 2014, dari data yang diperoleh Kementerian Kesehatan Ukraina terdapat 88 orang yang tewas dalam aksi unjuk rasa besar-besaran pada pekan lalu. Sebagian besar dari mereka merupakan pengunjuk rasa anti Yanukovych. Kendati ada juga yang merupakan petugas polisi.
Sebagian para demonstran anti Yanukovych tewas akibat timah panas yang ditembakkan oleh penembak jitu atau sniper. Pernyataan perintah penahanan Yanukovych secara resmi disampaikan Avakhov melalui akun resmi Facebooknya.
"Sebuah kasus resmi pembunuhan massal terhadap warga sipil yang damai telah dibuka. Yanukovych dan pejabat lainnya yang bertanggung jawab atas insiden tersebut juga ikut dinyatakan sebagai buronan," tulis Avakhov.
Sementara hingga saat ini keberadaan Yanukovych masih menjadi misteri. Menurut Avakhov, keberadaan pria berusia 63 tahun itu diduga tiba di Kota Krimea pada Minggu kemarin. Agar tidak dikenali, Yanukovych sengaja melepas berbagai atribut resminya dan dibawa menggunakan mobil ke sebuah lokasi yang tidak diketahui.
Yanukovych menghilang setelah menandatangani kesepakatan dengan pihak oposisi untuk mengakhiri sebuah konflik yang berubah menjadi tragedi mematikan. Dia kabur ke Kota Kharkiv, sebuah daerah yang masih pro terhadap Rusia di dekat perbatasan kedua negara.
Bahkan, dia mencoba untuk menumpang sebuah pesawat carter di bagian timur kota Donetsk tetapi ditolak karena tidak memiliki dokumen resmi.
Sebelumnya, dilansir kantor berita CNN, Yanukovych sempat memberikan pernyataan melalui televisi pada Sabtu kemarin dari kota Kharkiv. Isinya, Yanukovych menolak keputusan parlemen yang menggulingkannya dan bersumpah untuk melawan balik.
"Saya tidak berniat meninggalkan negara ini. Saya tidak berencana untuk mundur. Saya Presiden yang sah," tegas Yanukovych.
Namun, Wali Kota Kharkiv, mengatakan dia tidak melihat mantan orang nomor satu di Ukraina tersebut di kotanya selama beberapa hari. Dia juga tidak bersembunyi di sebuah bunker di sebuah biara ortodoks Ukraina.
Sementara laporan koresponden CBS News di ibu kota Kiev menyebut situasi pada Senin kemarin di kalangan pendukung kelompok oposisi bahagia, namun juga diliputi kebingungan. Ukraina memang dijadwalkan akan menggelar pemilihan umum awal pada bulan Mei 2014, tetapi masih banyak warga Ukraina yang bahkan tidak yakin siapa yang akan memerintah negara mereka.
Salah seorang pengunjuk rasa bernama Natalia Dovhopol, mengatakan kepada CBS News bahwa dia bahagia melihat kejatuhan Yanukovych, tetapi ketika ditanya siapa yang akan memerintah Ukraina selanjutnya, dia menjawab tidak tahu.
Sementara Ketua Parlemen yang ditunjuk menjadi Presiden sementara, Oleksandr Turchinov, telah menetapkan prioritas utama bagi pemulihan situasi di Ukraina termasuk penyelamatan ekonomi dan kembali ke jalan untuk berintegrasi dengan Eropa. Langkah terakhir inilah yang tidak disukai oleh Moskow, karena mereka menginginkan Ukraina untuk menjadi bagian dari kelompok tertentu yang akan menjadi pesaing UE. Selain itu, tujuannya untuk mempertegas pengaruh Rusia di kawasan.
Sebagai imbalan atas keputusan kontroversial yang dibuat Yanukovych dengan menjauh dari UE, Ukraina diberikan bantuan keuangan senilai US$15 miliar atau Rp175 triliun. Setelah Yanukovych dipecat ada kekhawatiran Rusia tidak lagi bersedia merealisasikan bantuan keuangan tersebut.
Namun, Pemerintah Amerika Serikat melalui Duta Besar Geoffrey Pyatt, mengatakan negaranya siap membantu Ukraina untuk memperoleh bantuan keuangan dari Dana Keuangan Internasional (IMF). UE pun kembali siap menghidupkan kembali pembicaraan dengan Ukraina yang akan melibatkan dana jaminan senilai miliaran Euro.
Kepala Kebijakan Luar Negeri UE, Catherine Ashton, pun pada Senin kemarin mengunjungi Kiev. Saat bertemu dengan Turchynov, dia membicarakan soal dukungan politik dan keuangan bagi pemimpin baru Ukraina. Ashton juga sempat mengunjungi Alun-Alun Kemerdekaan yang menjadi lokasi pertikaian berdarah antara pengunjuk rasa dengan polisi.
Sumber : VivaNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar