Kuala Lumpur 01/03/2014 – Tahun 2015 adalah awal diberlakukannya perdagangan bebas Asean, dalam bingkai Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)/Asean Economic Community(AEC). Dengan platform baru yang hampir menyerupai Masyarakat Ekonomi Eropa/EU, Asean diharapkan akan segera memiliki akses Ekonomi dan diplomasi yang lebih terbuka, solid, merata dan menguntungkan.
Peran serta rakyat di masing-masing negara anggota akan terus didorong untuk menjadi perekat utama Asean sebagai wilayah ekonomi yang semakin borderless. Ada kekhawatiran yang logis menghinggapi para anggotanya. Meskipun ide ini dianggap sebagai jawaban atas tuntutan zaman, namun secara tidak langsung juga akan menggambarkan persaingan yang semakin terbuka. Tidak adanya harmoni dalam hal penerapan subsidi dan pengenaan subsidi terhadap sektor-sektor atau komoditas tertentu, tidak adanya keseragaman terhadap besaran pajak dan pengenaan pajak pada sektor-sektor atau komoditas tertentu, serta adanya disparitas tingkat suku bunga perbankan yang cukup jauh antara negara anggota, telah menjadi salah satu pemicu lahirnya kekhawatiran beberapa kalangan.
Sebagai contoh, Malaysia menerapkan suku bunga perbankan sebesar 2%, sedangkan Indonesia pada kisaran 10-13%. Kondisi ini melahirkan kekhawatiran di pihak Indonesia yang merasa terancam sektor manufaktur dan sektor-sektor riil lainnya. Namun Malaysia juga merasa khawatir akan mengeluarkan subsidi yang lebih besar lagi, ketika produk-produk yang selama ini dikenakan subsidi mulai berdatangan dari negara Asean lainnya. Pasar tenaga kerja yang murah di Vietnam, Philipine dan Indonesia, adalah kegusaran negara-negara Asean yang minim penduduknya, seperti Malaysia dan Singapore. Selain itu, dengan tingkat suku bunga yang tinggi di Indonesia, sangat dikhawatirkan terjadinya outflow dana masyarakat dari negara-negara Asean yang menerapkan suku bunga rendah ke Indonesia yang bersuku bunga tinggi.
Bagi Indonesia, hal ini sangat memungkinkan terjadinya fenomena kelebihan likuiditas, mengingat pelaku industri dalam negeri lebih memilih negara yang bersuku bunga rendah. Stabilitas Rupiah akan kembali terancam, sedangkan respon pemerintah dalam menggiatkan pembangunan infrastruktuf masih sangat minim, sehingga iklim usaha biaya tinggi akan menjadi momok bagi perekonomian Indonesia.
Satu hal yang menjadi modal penting, kita masih memiliki potensi SDA yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan negara lainnya. Selain itu, pasar domestik yang luas akan menjadi gambaran umum bagi wajah pasar Asean secara keseluruhan.
Pada tahap awal memang diyakini akan mengalami instabilitas di semua negara anggota sebelum akhirnya wujud masyarakat ekonomi Asean ini sendiri menemukan wujud dan bentuk yang wajar dan semestinya. Hal yang perlu dicermati adalah kekuatan yang akan lahir manakala masyarakat Asean ini telah menjadi satu. Asean akan menjadi sebuah wilayah ekonomi yang dihuni oleh lebih dari setengah miliar penduduk bumi, yang akan menempatkannya sebagai wilayah ketiga terbesar di dunia setalah China dan India.
Kekuatan Asean akan semakin diperhitungkan oleh masyarakat Internasional. Untuk itu Asean harus senantiasa tanggap terhadap segala tuntutan peradaban.
Paradigma Asean versus China harus segera diubah, karena jika dua kekuatan besar dipertentangkan, maka yang akan terjadi adalah pertentangan besar yang akan berakhir pada kehancuran yang besar.
Pemikiran Asean plus China yang sekarang baru sebatas pada bidang diplomasi, harus terus dikembangkan pada bidang-bidang lainnya. Harus segera dibentuk sebuah wadah khusus yang berfungsi untuk meredam setiap pergesekan yang ada, sehingga Asean bisa lebih mandiri, sehingga mampu mencegah masuknya pihak yang tidak berkepentingan.
Peran kesekretariatan yang ada selama ini, harus mampu memiliki daya tawar di tingkat global.
Akankah Konflik Asean – China Pecah ?
Kebetulan hari Sabtu ini 001/03/2014, saya sedang tidak disibukkan oleh rutinitas kerja. Seorang teman asal Korea Selatan mengajak saya untuk ikut serta dalam acara keluarganya, melakukan penyelaman di pulau Pangkor, perjalanan 4 jam dari Kuala Lumpur.
Sebuah gugusan pulau kecil yang berada tudak jauh dari pangkalan utama TLDM di Lumut, negara bagian Kesultanan Perak. Sepanjang perjalanan, kami hanya membicarakan soal ekonomi, seni, budaya dan olah raga. Sampai akhirnya dari obrolan itu saya bisa mengetahui profesi masing-masing. Ada dua orang yang profesinya sangat jauh dari apa yang kami lakukan sehari-hari. Seorang yang sudah agak berumur namum masih tampak tegap adalah ternyata direktur atase pertahanan Korea untuk Malaysia. Berlatar belakang sebagai perwira tinggi angkatan darat Korea, yang pernah ditugaskan diperbatasan Korsel dan Korut. Sedangkan yang satunya, sejak awal bertemu, feeling saya udah menerkanya sebagai seorang prajurit. Ternyata benar, dia adalah adik ipar dari direktur atase pertahanan Korea itu. Latar belakangnya bisa dilihat dari bentuk tubuhnya yang nyaris sempurna, seorang perwira menengah di angkatan laut Korea. Pernah berdinas di satuan elite angkatan laut Korea, menjadi utusan yang dikirim untuk melakukan pelatihan bersama dengan berbagai negara Eropa dan Amerika.
Hal menarik yang ingin saya bagikan, sebenarnya bukan tentang silsilah mereka, dan juga bukan soal militer Korea. Tapi lebih kepada pengetahuan dan wawasan mereka terhadap kondisi real perkembangan militer di Asia Tenggara. Seringkali mereka memotong pertanyaan saya dengan langsung menjawabnya dengan point yang saya maksudkan, bahkan dia juga memberikan perbandingan dengan apa yang terjadi antara Korsel dan Korut.
Ketika pembicaraan sedang menuju pada konflik LCS yang melibatkan beberapa negara Asean dengan China, mereka mengomentarinya sangat ringan. Mereka berpikir bahwa konflik yang sedang berlangsung, tidak lebih berat dan panas jika dibandingkan dengan konflik yang mereka hadapi dengan Korut. Konflik yang terjadi baru pada sebatas konflik kepentingan yang berupa klaim teritori.
Prospek penyelesaiannya masih sangat cerah, mengingat hingga saat ini belum ada satu pun alat penyelesaian yang dipakai. Indikator lainnya, kondisi hubungan bilteral antara negara-negara yang sedang berkonflik juga masih sangat bagus bahkan menunjukan saling ketergantungan. Jika kondisi business as ussual masih tercipta, maka ancaman perang sebenarnya boleh dibilang gak ada, atau setidaknya masih sangat jauh.
Apalagi belum ada satupun pemimpin negara yang melakukan provokasi perang, ini menyiratkan bahwa kondisi yang sebenarnya masih relatif aman. Bukti nyata yang bisa kita lihat, adanya indikasi peningkatan nilai bilateral dalam sektor ekonomi diantara negara yang berkonflik. Bukan hanya itu, mereka juga masih giat untuk saling berinvestasi. Jadi apanya yang menandakan mau perang? Kondisi seperti yang sedang memanas ditengarai hanya ulah usil dari pihak ketiga yang mencoba mengambil keuntungan dari iklim ekonomi yang sedang robust di kawasan itu.
Pertumbuhan ekonomi China yang tinggi, telah menyedot hampir separuh energi dunia. Dampaknya bagi dunia adalah menjadi langkanya energi dan berimbas pada kenaikan harga energi yang sangat bombastis. Sedangkan China sendiri menikmati benefit harga energi yang murah, karena mereka telah melakukan kontrak justru di saat harga energi itu belum melambung tinggi. Inilah yang menjadikan konflik ini terasa begitu special. Negara-negara besar yang sudah fasih dengan bahasa konflik akhirnya datang untuk mengaut keuntungan. Konflik mungkin akan dibuat tetap panas, memanas dan lebih panas. Tapi percayalah, perang ala militer yang sesungguhnya tidak akan pernah ada.
Di akhir obrolan kami, dua orang ini justru iri melihat kiprah Indonesia. Mereka menyebutnya, bangsa kita sebagai bangsa yang cerdik dan otak dagang. Hehehe..! Sambil tertawa, mereka bilang dari semua konflik yang ada, akhirnya Indonesialah yang akan meraup keuntungan. Persis mirip Jepang era Perang Dunia. Ketika saya coba mengejar apa maksud mereka, jawaban singkat terlontar dari mulutnya; think it..! Pikir aja sendiri. Sambil lompat dari boat dan menenggelamkan diri ke laut. (by yayan@indocuisine).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar