2014 akan jadi tahun
penentuan bagi realisasi pesawat komuter N219. Anggaran sudah diteken
pemerintah. Tapi, tak sedikit pihak risau oleh karena adanya hajatan
nasional Pemilu dan pergantian pemerintahan.
Di atas kertas, praktis tak ada lagi yang meragukan desain atau rancang bangun pesawat transpor dua mesin 19 penumpang ini. Baik pimpinan PT Dirgantara Indonesia selaku pelaksana proyek pembuatan maupun Lapan sebagai pemilik proyek, yakin N219 feasible untuk diterbangkan. Terlebih karena dari segi teknologi tak ada yang perlu dikaji lebih lanjut.
Dari segi kelangsungan produksi juga praktis tak ada sentimen negatif. Sejumlah operator penerbangan telah menyatakan siap membeli. Pesawat ini termasuk yang ditunggu-tunggu untuk dijadikan kuda beban di ratusan rute pengumpan. Namun, hajatan Pemilihan Umum di pertengahan tahun ini dan ketepatan penggunaan anggaran yang sudah siap diturunkan pada 2014 memang masih menyisakan pertanyaan.
Akankah pertarungan antarkekuatan politik di dalam negeri masih memberi ruang yang kondusif bagi pembuatan pesawat ini?
Pertanyaan tersebut tak ayal diajukan wartawan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapennas Prof Dr Armida S. Alisjahbana saat berkunjung ke Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Rumpin, Banten, akhir November 2013. “Ini harus jalan karena pesawat ini diperlukan untuk konektivitas daerah-daerah terpencil. Program N219 juga dinilai penting untuk mendorong program pengembangan industri strategis dan penguasaan bangsa ini atas iptek dan inovasinya. Jadi sebagai program yang multiple objectives, positioningnya sudah amat kuat,” ujarnya kepada Angkasa.
Menteri Armida tak saja mendapat penjelasan rinci di seputar program pengembangan N219, tetapi juga tentang program pengembangan roket, satelit serta sistem penginderaan jauh yang telah maupun akan dilakukan enjinir-enjinir Lapan. Hadir dalam acara tersebut Dirut DI Budi Santoso, Kepala Lapan Bambang S. Tejasukmana, Direktur Teknologi dan Pengembangan DI Dr Andi Alisjahbana, Deputi Teknologi Dirgantara Lapan Prof Dr Soewarto Hardhienata, Kepala Pustekbang Dr Gunawan Prabowo, para deputi Bappenas, dan Tim Program N219.
Sejumlah pihak menyatakan, kunjungan Menteri PPN/Kepala Bappenas bisa diterjemahkan sebagai sinyal keseriusan Pemerintah terhadap proyek yang yang nantinya akan jadi portopolio pertama penggarapan pesawat terbang di Tanah Air. Dikatakan baru untuk pertama kali, karena memang baru kali inilah Indonesia menyiapkan seutuhnya sebuah pesawat terbang transpor, mulai dari struktur fisik sampai ke urusan dokumen kelengkapannya.
Dokumen kelengkapan tersebut -- di antaranya berupa type certificate application dan flight permit – selanjutnya akan diurus oleh DI ke Direktorat Kelaikan Udara Pengoperasian Pesawat Udara, Kementerian Perhubungan. “Kedua pihak selanjutnya akan memastikan detail spesifikasi yang tepat untuk keperluan comformity approval. Dalam pembuatan NC-212 dan CN235, tahapan ini tidak ada karena semua sudah diselesaikan pihak CASA,” ungkap Bambang Tejasukmana.
“Ini artinya, jika semua bisa dikerjakan dan berhasil, Indonesia bisa baru bisa dikatakan mampu mengerjakan pesawat secara seutuhnya dan ini prestasi buat kita semua,” tergasnya.
Kerja antardepartemen
Angkasa mencatat, sejauh ini program N219 masih bergulir sesuai jadwal. Dua prototipe ditargetkan selesai akhir 2014 dan menjalani uji terbang setahun kemudian. Mengutip keterangan Pustekbang, sampai dengan akhir 2013, Tim Program N219 sudah merampungkan tahapan Preliminary-Design. Dalam tahapan yang telah berlangsung sejak pertengahan 2012 itu, mereka di antaranya telah menuntaskan seluruh rangkaian Power On Wind Tunnel Test pesawat di fasilitas terowongan angin Pustekbang.
Di terowongan angin subsonik tersebut, model N219 skala kecil diberi hembusan asap untuk memastikan kualitas desain aerodinamisnya. Setelah ini, memasuki 2014, kedua pihak akan bahu membahu menggarap Detail Design, Fabrication & Assembly, lalu Ground Test serta Flight Test & Certification. Oleh karena keempat tahapan butuh waktu cukup panjang, penuntasannya akan berlanjut hingga 2015 bahkan 2016. Selain di Pustekbang, Rumpin, pengerjaan program juga dilakukan di fasilitas DI di Bandung, Jawa Barat.
Kepada Angkasa, Menteri Armida mengatakan, pemerintah menginginkan program ini tuntas karena pesawat yang akan dihasilkan bisa digunakan untuk ikut mendukung pembangunan perekonomian di banyak daerah terpencil. “Indonesia memang bisa membeli pesawat sekelas ini dari luar. Namun kalau bisa membuat sendiri, kenapa tidak dilakukan? Kalau pun ada yang harus dicermati, itu adalah tentang sistem kerja antardepartemen, proses produksi dan soal standarisasi komponen. Namun itu semua juga bisa kita kerjakan,” terangnya.
Kepala Lapan Bambang Tejasukmana mengungkap, untuk program N219, Pemerintah telah sepakat menggelontorkan dana Rp310 miliar pada tahun anggaran 2014 dan Rp90 miliar pada 2015. Sementara untuk pengerjaan di tahun 2016, akan dipastikan lebih lanjut setelah pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 bekerja. Baginya, anggaran 2016 masih terbilang krusial karena akan digunakan untuk membiayai type certificate. Tanpa ini, pesawat tidak bisa diterbangkan dan belum boleh diproduksi.
N219 sendiri bukanlah satu-satunya program yang tengah digarap Pustekbang. Menyusul keberhasilan dalam rekayasa teknologi kendali penerbangan pada pesawat nirawak LSU-02 yang beberapa bulan terbang autonomous sejauh 200 kilometer di Pantai Selatan Jawa Barat, mereka telah menyiapakan proyek riset selanjutnya, yakni pembuatan Lapan Survelillance Aircfrat. Pesawat bermesin tunggal bodi ramping mirip glider ini sejatinya adalah pesawat STEMME 15 buatan Jerman.
“Di tengah segala keterbatasan dan usia unit yang masih tergolong muda ini, kami memang harus berfikir strategis. Sementara sebagian SDM fokus pada N219, sebagian lagi kami kirim ke Jerman untuk menguasai reverse-engineering glider yang biasa dipakai untuk misi surveillance,” kata Kepala Pustekbang Gunawan Prabowo seraya menambahkan bahwa tugas belajar itu dilakukan di STEMME, pabrik pesawat terbang ringan di Strausberg/Berlin.
Selain untuk misi surveillance, pesawat terbang ringan unik untuk dua awak tersebut juga akan diaplikasikan sebagai pesawat riset pemula. Sebagai pesawat surveillance yang unik dan dilengkapi berbagai peralatan elektronik, STEMME 15 juga akan dimanfaatkan untuk melakukan verifikasi dan validasi citra satelit, pemotretan foto udara, monitoring dan pemetaan daerah banjir, pemantauan titik panas kebakaran hutan, SAR dan misi riset Lapan lainnya.
STEMME 15 memiliki panjang badan 8,52 meter, rentang sayap 18 meter, maximum take-off weight 1.100 kilogram dan mampu terbang dengan kecepatan maksimum 314 km/jam dengan mesin tunggal Rotax 914 F2/S1. Sebagai glider sendiri, pesawat ini mampu terbang hingga ketinggian 7.620 meter di atas permukaan laut dan jarak jelajah (dalam moda jarak jauh) sampai 2.500 kilometer. ( Adrianus Darmawan | Angkasa)
Data Spesifikasi N219
Di atas kertas, praktis tak ada lagi yang meragukan desain atau rancang bangun pesawat transpor dua mesin 19 penumpang ini. Baik pimpinan PT Dirgantara Indonesia selaku pelaksana proyek pembuatan maupun Lapan sebagai pemilik proyek, yakin N219 feasible untuk diterbangkan. Terlebih karena dari segi teknologi tak ada yang perlu dikaji lebih lanjut.
Dari segi kelangsungan produksi juga praktis tak ada sentimen negatif. Sejumlah operator penerbangan telah menyatakan siap membeli. Pesawat ini termasuk yang ditunggu-tunggu untuk dijadikan kuda beban di ratusan rute pengumpan. Namun, hajatan Pemilihan Umum di pertengahan tahun ini dan ketepatan penggunaan anggaran yang sudah siap diturunkan pada 2014 memang masih menyisakan pertanyaan.
Akankah pertarungan antarkekuatan politik di dalam negeri masih memberi ruang yang kondusif bagi pembuatan pesawat ini?
Pertanyaan tersebut tak ayal diajukan wartawan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapennas Prof Dr Armida S. Alisjahbana saat berkunjung ke Pusat Teknologi Penerbangan Lapan, Rumpin, Banten, akhir November 2013. “Ini harus jalan karena pesawat ini diperlukan untuk konektivitas daerah-daerah terpencil. Program N219 juga dinilai penting untuk mendorong program pengembangan industri strategis dan penguasaan bangsa ini atas iptek dan inovasinya. Jadi sebagai program yang multiple objectives, positioningnya sudah amat kuat,” ujarnya kepada Angkasa.
Menteri Armida tak saja mendapat penjelasan rinci di seputar program pengembangan N219, tetapi juga tentang program pengembangan roket, satelit serta sistem penginderaan jauh yang telah maupun akan dilakukan enjinir-enjinir Lapan. Hadir dalam acara tersebut Dirut DI Budi Santoso, Kepala Lapan Bambang S. Tejasukmana, Direktur Teknologi dan Pengembangan DI Dr Andi Alisjahbana, Deputi Teknologi Dirgantara Lapan Prof Dr Soewarto Hardhienata, Kepala Pustekbang Dr Gunawan Prabowo, para deputi Bappenas, dan Tim Program N219.
Sejumlah pihak menyatakan, kunjungan Menteri PPN/Kepala Bappenas bisa diterjemahkan sebagai sinyal keseriusan Pemerintah terhadap proyek yang yang nantinya akan jadi portopolio pertama penggarapan pesawat terbang di Tanah Air. Dikatakan baru untuk pertama kali, karena memang baru kali inilah Indonesia menyiapkan seutuhnya sebuah pesawat terbang transpor, mulai dari struktur fisik sampai ke urusan dokumen kelengkapannya.
Dokumen kelengkapan tersebut -- di antaranya berupa type certificate application dan flight permit – selanjutnya akan diurus oleh DI ke Direktorat Kelaikan Udara Pengoperasian Pesawat Udara, Kementerian Perhubungan. “Kedua pihak selanjutnya akan memastikan detail spesifikasi yang tepat untuk keperluan comformity approval. Dalam pembuatan NC-212 dan CN235, tahapan ini tidak ada karena semua sudah diselesaikan pihak CASA,” ungkap Bambang Tejasukmana.
“Ini artinya, jika semua bisa dikerjakan dan berhasil, Indonesia bisa baru bisa dikatakan mampu mengerjakan pesawat secara seutuhnya dan ini prestasi buat kita semua,” tergasnya.
Kerja antardepartemen
Angkasa mencatat, sejauh ini program N219 masih bergulir sesuai jadwal. Dua prototipe ditargetkan selesai akhir 2014 dan menjalani uji terbang setahun kemudian. Mengutip keterangan Pustekbang, sampai dengan akhir 2013, Tim Program N219 sudah merampungkan tahapan Preliminary-Design. Dalam tahapan yang telah berlangsung sejak pertengahan 2012 itu, mereka di antaranya telah menuntaskan seluruh rangkaian Power On Wind Tunnel Test pesawat di fasilitas terowongan angin Pustekbang.
Di terowongan angin subsonik tersebut, model N219 skala kecil diberi hembusan asap untuk memastikan kualitas desain aerodinamisnya. Setelah ini, memasuki 2014, kedua pihak akan bahu membahu menggarap Detail Design, Fabrication & Assembly, lalu Ground Test serta Flight Test & Certification. Oleh karena keempat tahapan butuh waktu cukup panjang, penuntasannya akan berlanjut hingga 2015 bahkan 2016. Selain di Pustekbang, Rumpin, pengerjaan program juga dilakukan di fasilitas DI di Bandung, Jawa Barat.
Kepada Angkasa, Menteri Armida mengatakan, pemerintah menginginkan program ini tuntas karena pesawat yang akan dihasilkan bisa digunakan untuk ikut mendukung pembangunan perekonomian di banyak daerah terpencil. “Indonesia memang bisa membeli pesawat sekelas ini dari luar. Namun kalau bisa membuat sendiri, kenapa tidak dilakukan? Kalau pun ada yang harus dicermati, itu adalah tentang sistem kerja antardepartemen, proses produksi dan soal standarisasi komponen. Namun itu semua juga bisa kita kerjakan,” terangnya.
Kepala Lapan Bambang Tejasukmana mengungkap, untuk program N219, Pemerintah telah sepakat menggelontorkan dana Rp310 miliar pada tahun anggaran 2014 dan Rp90 miliar pada 2015. Sementara untuk pengerjaan di tahun 2016, akan dipastikan lebih lanjut setelah pemerintahan baru hasil Pemilu 2014 bekerja. Baginya, anggaran 2016 masih terbilang krusial karena akan digunakan untuk membiayai type certificate. Tanpa ini, pesawat tidak bisa diterbangkan dan belum boleh diproduksi.
N219 sendiri bukanlah satu-satunya program yang tengah digarap Pustekbang. Menyusul keberhasilan dalam rekayasa teknologi kendali penerbangan pada pesawat nirawak LSU-02 yang beberapa bulan terbang autonomous sejauh 200 kilometer di Pantai Selatan Jawa Barat, mereka telah menyiapakan proyek riset selanjutnya, yakni pembuatan Lapan Survelillance Aircfrat. Pesawat bermesin tunggal bodi ramping mirip glider ini sejatinya adalah pesawat STEMME 15 buatan Jerman.
“Di tengah segala keterbatasan dan usia unit yang masih tergolong muda ini, kami memang harus berfikir strategis. Sementara sebagian SDM fokus pada N219, sebagian lagi kami kirim ke Jerman untuk menguasai reverse-engineering glider yang biasa dipakai untuk misi surveillance,” kata Kepala Pustekbang Gunawan Prabowo seraya menambahkan bahwa tugas belajar itu dilakukan di STEMME, pabrik pesawat terbang ringan di Strausberg/Berlin.
Selain untuk misi surveillance, pesawat terbang ringan unik untuk dua awak tersebut juga akan diaplikasikan sebagai pesawat riset pemula. Sebagai pesawat surveillance yang unik dan dilengkapi berbagai peralatan elektronik, STEMME 15 juga akan dimanfaatkan untuk melakukan verifikasi dan validasi citra satelit, pemotretan foto udara, monitoring dan pemetaan daerah banjir, pemantauan titik panas kebakaran hutan, SAR dan misi riset Lapan lainnya.
STEMME 15 memiliki panjang badan 8,52 meter, rentang sayap 18 meter, maximum take-off weight 1.100 kilogram dan mampu terbang dengan kecepatan maksimum 314 km/jam dengan mesin tunggal Rotax 914 F2/S1. Sebagai glider sendiri, pesawat ini mampu terbang hingga ketinggian 7.620 meter di atas permukaan laut dan jarak jelajah (dalam moda jarak jauh) sampai 2.500 kilometer. ( Adrianus Darmawan | Angkasa)
Data Spesifikasi N219
- Kecepatan jelajah maksimum : 210 knot
- Jangkauan maksimum dengan muatan : 831 mil-laut
- Stall-speed : 59 knot
- Jarak lepas-landas (MTOW, ISA, SL) : 426 meter
- Jarak pendaratan (MLW, ISA, SL) : 484 meter
- Berat maksimum lepas-landas : 7.030 kg
- Muatan maksimum : 2.318 kg
- Kapasitas bahan bakar maksimum : 1.588 kg
- Ketinggian jelajah maksimum : 24.000 kaki
- Mesin : 2 x PT6A-42, 4 blades
- Tenaga lepas landas : 2 x 850 SHP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar