ANALISIS-(IDB) : Hubungan bilateral Indonesia- Australia yang merenggang
selama tiga bulan terakhir ini semakin terasa panas dengan sikap arogansi negeri
eropa yang terdampar di benua selatan itu.
Australia telah melanggar batas perairan Indonesia tanggal 6 Januari
2014 ketika mengusir manusia perahu yang hendak “berkunjung tetap” ke negeri
kanguru itu. Kapal angkatan laut mereka
telah masuk sampai 7 mil dari batas garis pantai pulau Rote NTT ketika mendepak
pencari suaka sekalian menghina TNI yang dikatakan tak sanggup menjaga
wilayahnya sendiri.
Perlakuan Australia yang bergaya cowboy termasuk menyiksa
manusia perahu yang memang sudah tersiksa dinegeri asalnya, dinilai sangat
keterlaluan. Dunia yang memberi
penilaian itu. PBB bahkan sudah memperingatkan Australia akan konsekuensi hukum
internasional atas perlakuan tidak manusiawi dan mengabaikan keselamatan
pengungsi politik itu yang hendak mencari kehidupan baru di negeri selatan itu.
Australia akhirnya dipermalukan sendiri oleh tindakan semena-mena aparat
militernya yang justru menampar wajah diplomatiknya di dunia internasional.
Jangan dikira Indonesia tidak siap |
Permintaan maaf tanpa syarat Australia ke Indonesia atas
pelanggaran teritori perairan Indonesia tanggal 17 Januari 2014 sejatinya
disebabkan oleh ketakutan Australia akan tuntutan hukum internasional yang
diajukan Indonesia. Australia jelas
melanggar konvensi hukum laut internasional karena oleh sebuah sebab non navigasi
seenaknya saja mengacak-acak teritori perairan Indonesia untuk mengembalikan
manusia perahu yang datang dari wilayah Indonesia. Belum lagi menyiksa beberapa pengungsi yang
sudah tersiram gelombang laut dan terombang-ambing. Jelas-jelas melanggar HAM.
TNI AL sudah mengirimkan sejumlah KRI ke wilayah depan Darwin
dan melakukan patroli lebih ketat. Satu fregat telah disiagakan di Kupang. Lantamal Kupang yang sudah diresmikan
beberapa tahun yang lalu selayaknya tersedia minimal 3 Korvet dan 1 Fregat. Hanya kapal-kapal yang berjenis kelamin
seperti ini yang pantas mengawal laut dalam di selatan Indonesia. Indonesia memiliki puluhan kapal perang
striking force mulai dari Ahmad Yani Class, Diponegoro Class, Parchim Class, Fatahillah
Class.
Seandainya Tony Abbott Nopember 2013 lalu bisa menurunkan
tensi arogansinya dalam etika pergaulan dengan negara kultur timur seperti
Indonesia dan minta maaf, rangkaian cerita kalangkabutnya dia menghadapi
pengungsi perahu tidak sampai mempermalukan dirinya di mata Internasional. Untuk urusan sadap menyadap dia gengsi untuk
minta maaf padahal jelas nyata. Tetapi
ketika dia terjebak dalam permainan manuver yang sok pamer kekuatan militer
lalu seenaknya melanggar wilayah negara lain, muncul ketakutan pada bayangan
sendiri lalu minta maaf tanpa syarat kepada Indonesia.
Coba kalau dulu minta maaf..... |
Di satu sisi Australia sangat mahal untuk meminta maaf
demi gengsi bertetangga tetapi ketika dunia internasional mulai menuding dan mencela perilaku aparat militernya,
buru-buru minta maaf. Ironinya lagi pada tanggal yang sama 17 Januari 2014
Australia juga membatalkan keikutsertaannya dalam latihan angkatan laut
gabungan dengan 17 negara lain yang disebut Naval Exercise Komodo dimana
Indonesia menjadi tuan rumah. Latihan 18
negara itu mengambil area di perairan Natuna dan Laut Cina Selatan yang akan
berlangsung Maret sd April tahun ini.
Pelajaran dari semua keangkuhan dan gaya ambigu Australia
ini adalah dengan memperkuat terus menerus angkatan laut dan udara RI. Kita bersetuju dengan adanya penambahan kapal
selam Kilo dan pengadaan jet tempur Sukhoi SU35. Untuk laut selatan memang diperlukan
kehadiran KRI berkualifikasi korvet dan fregat untuk mengimbangi arogansi
militer negeri bule itu. Diluar
pengadaan kapal PKR 10514 yang sedang dibuat di Belanda dan menunggu kehadiran
3 kapal perang “Bung Tomo Class” yang masih didandani di Inggris, kita masih
perlu tambahan kapal fregat. Untuk
menjaga laut dalam dan gaya bertetangga negeri selatan atau jiran yang suka
mengklaim kita perlu sedikitnya tambahan 6-8 fregat selain yang disebut diatas.
Kita memang harus berhitung cermat dengan Australia. Kita tetap menjaga hubungan diplomatik yang
saling menghargai. Namun kalau tetangga
tetap bergaya arogan, suka mendikte kita pun perlu tunjukkan nilai kita di
depan dia. Nilai itu adalah tetap
menjaga sapa dan santun tapi juga acuh.
Ketika keacuhan itu baru berlangsung 3 bulan, ternyata kawan di sebelah
selatan itu kalangkabut juga sebab teman pintu asianya tutup pintu dan hanya
membuka jendela.
Lalu yang jadi sasaran amuknya ya si pengungsi tadi, lalu
masuk halaman rumah orang lain untuk memancing kemarahan. Tapi yang punya
halaman tak terpancing karena ini bagian dari ritme kecerdasan diplomatik. Akhirnya dunia yang mencibirnya, PBB
mengancamnya, mukanya tertampar, sakitnya tak seberapa tapi malunya ini. Itulah harga sebuah kata maaf yang tak terucap
di awal kisah dan membawa negerinya menjadi terisolasi bersama pengungsi. Dan kita pun tetap cuek bebek saja, bukankah
begitu pak Marty ?
Sumber : Analisis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar