Minggu, 20 July 2014, jam 19.15 waktu Kuala Lumpur, atau beberapa menit menjelang adzan Maghrib, saat dimana umat Islam sedang menantikan waktu untuk berbuka puasa. Langit Kuala Lumpur tampak cerah, bahkan panasnya masih mampu melelehkan peluh di tubuh mereka yang beraktivitas di luar ruangan. Seperti halnya kami bertiga yang sedang berada di atas ketinggian Kuala Lumpur, turut merasakan sapuan hangat dari angin yang bertiup. Di depan Penthouse Presidential Suite, lantai 35, puncak tower hotel kami, sang Merah Putih berkibar gagah, berdampingan dengan sang Jalur Gemilang, bendera Malaysia. Petang ini, kami harus menurunkannya, mengembalikan tiang-tiang itu menjadi benda kaku menengadah langit.
Selama tujuh hari, sang Merah Putih itu menghiasi langit Kuala Lumpur, di depan Penthouse super mewah, bagian dari asset properti milik perusahaan kami. Tidak mudah melihat bendera asing berkibar di atasnya, karena setidaknya diperlukan biaya minimal USD42.000/night, untuk menyewa kamar super mewah tersebut. Selama hampir 7 tahun pengalaman saya mengelola hotel itu, maka moment menurunkan sang Merah Putih pada petang ini, adalah pengalaman indah saya untuk kali yang ketiga, setelah tahun-tahun sebelumnya melakukan hal yang sama, pasca kunjungan kenegaraan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono(SBY). Mendekap lipatan sang Merah Putih dari atas ketinggian, memberi kesan tersendiri. Saya merasakan keagungan dari sebuah bangsa yang besar, Indonesia Raya..!
Tujuh hari, saya telah menjadi saksi mata atas geliat, kobaran dan kibaran Merah Putih di bumi Malaya. Tujuh hari, dengan segala daya dan upaya, saya beserta segenap staf hotel, telah berusaha menjadi pelayan yang baik bagi Indonesia. Tujuh hari, dengan setia, saya telah menemani lelaki berkumis nan ramah itu. Rusdi Kirana, pendiri, pemilik, dan pemimpin perusahaan penerbangan swasta terbesar di Indonesia, Lion Air..!
Di hari pertama kunjungannya, tidak tanggung-tanggung, tamu yang mendatanginya adalah Perdana Menteri Malaysia, Datuk Sri Najib Tun Razak, disertai dengan beberapa menteri di kabinetnya. Tak ayal, peristiwa ini telah menimbulkan sedikit ketegangan di lingkungan dapur, karena secara tiba-tiba, protokoler kepresidenan harus diterapkan. Namun selain itu, peristiwa ini juga telah melahirkan gunjingan dan sanjungan. Mereka menggunjing kekerdilan wibawa pemimpin mereka yang harus sungkem ke hadapan seorang pengusaha besar dari sebuah negara yang besar. Mereka juga menyanjung langkah cerdik penuh kharisma dari pengusaha ulung Indonesia ini, apalagi setelah mereka mengetahui bahwa hal serupa juga pernah dilakukan pada pemimpin Amerika Serikat, Barack Obama, saat penandatangan kontrak bersejarah antara Lion Air dengan perusahaan Boeing, senilai USD21.7 billion, untuk pengadaan 201 units Boeing 737MAX, dan 29 units 737-900ER. Setelah itu, Lion Air juga mengajukan kontrak tambahan untuk pengadaan 5 units Boeing 787 Dreamliner, yang menempatkannya sebagai perusahaan penerbangan pertama Indonesia yang mengoperasikan pesawat berbadan lebar ini, setelah Garuda Indonesia batal melakukan pembelian pada tahun 2010.
Bahkan setelah itu, peristiwa yang lebih gahar lagi, juga dilakukannya dengan pemimpin Perancis, Francois Hollande, saat melakukan penandatanganan kontrak mega dengan perusahaan Airbus di Perancis, yang dilakukan di istana kepresidenan Perancis, Saint Elyesee Palace, Paris, untuk pengadaan 234 units pesawat Airbus A320 dan A321, senilai USD24 billion. Super sekali, hal serupa tidak didapatkan oleh Tan Sri Tony Fernandez, sang CEO Air Asia, yang beberapa waktu lalu menandatangani kontrak pembelian 50 unit pesawat A330 Neo untuk maskapai penerbangan jarak jauhnya, Air Asia X.
Di hari kedua, yang datang bertandang adalah beberapa lelaki tua, yang belakangan saya ketahui, mereka adalah para pensiunan jenderal ATM. Namun jangan under estimate dulu, meskipun hanya pensiunan jenderal, mereka adalah para petinggi dari perusahaan strategis terbesar di Malaysia, National Aerospace & Defense Industries Sdn. Bhd(M)/NADI. Perusahaan inilah yang dibanggakan oleh Malaysia dalam memproduksi berbagai komponen pesawat, pemeliharaan pesawat dan juga memiliki sejumlah anak perusahaan yang bergerak dalam bidang perakitan dan pembuatan senjata berlisensi, bahan peledak, amunisi hingga ke roket. Mandek dalam bisnis inti, pada tahun 2002, perusahaan ini diprivatisasi, ditandai dengan masuknya investasi dari Timur Tengah.
Putera Mahkota Abu Dhabi yang juga sebagai deputi Panglima Angkatan Bersenjata UAE, Sheikh Mohammed Bin Zayed Al Nahyan, telah menggelontorkan investasi yang tidak sedikit untuk menghidupkan kembali perusahaan yang terkesan paling angker di Malaysia ini. Melalui perusahaan investasinya, Mubadala Group yang berasset hingga hampir USD70 billion, Abu Dhabi mulai turut menggerakan industri strategis di Malaysia. Tidak cukup sampai di situ, untuk menopang kelangsungan hidup perusahaan ini, Mubadala melalui NADI, telah sepakat melakukan usaha patungan/joint venture dengan Lion Air pada 11 September 2012, untuk mendirikan perusahaan penerbangan Malindo Air. Secara tidak langsung, Lion Air telah memaksa Malaysia untuk membuka akses investasi Mubadala Group ke Indonesia, yang ditandai dengan dibentuknya Batik Air, divisi penerbangan jarak jauh milik kelompok Lion Air. Adapun benefit yang akan diperoleh Malaysia adalah terjaminnya kembali kelangsungan hidup sektor usaha pemeliharaan pesawat yang dimiliki oleh NADI, karena salah satu hasil dari kesepakatan kerjasama tersebut adalah menempatkan NADI sebagai perusahaan utama untuk setiap program pemeliharaan dan perawatan pesawat milik Lion Air. Tidak heran jika kehadiran orang nomor satu Lion Air itu disambut antusias oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Termasuk pada hari ketiga, sekelompok utusan Mubadala Group pun tak tinggal untuk bertandang.
Pada hari keempat, tamu terhormat yang tiba di hotel kami adalah seorang pengusaha besar, salah satu orang terkaya di Malaysia, Vincent Tan. Salah satu raja properti dan raja judi Malaysia ini terlihat begitu akrab dengan Boss Lion Air itu. Maklum, beberapa waktu lalu, sebelum Air Asia melakukan kerja sama dengan MAS, keduanya berencana untuk melakukan kerjasama. Vincent Tan, melalui perusahaan konglomerasinya, Berjaya Group, adalah pemilik perusahaan penerbangan kecil di Malaysia, Berjaya Air. Konon, dulu dia ingin menyerahkan operasional perusahaan penerbangannya itu pada Lion Air, untuk bersaing dengan Air Asia dan MAS. Rencana ini batal sejalan dengan kedua perusahaan Malaysia itu yang lebih memilih untuk bekerja sama daripada harus bersaing. Kunjungannya kali ini, belum diketahui apakah akan melanjutkan rencana lama mereka atau tidak, mengingat saat ini jalinan kerjasama antara Air Asia dengan MAS sudah berakhir.
Hari kelima, tamu penting yang datang adalah sosok bule dengan delegasinya dari Singapore. Mereka adalah para petinggi dari perusahaan penerbangan Jetstar Asia Airways, sebuah perusahaan patungan Australia-Singapore, yang berkedudukan di Singapore. Isu yang beredar di media, pihak Qantas sebagai wakil dari Australia, berniat melepas kepemilikan 49% saham mereka di perusahaan patungan tersebut pada Lion Air. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat saat ini, Lion Air sedang dibujuk untuk menjadi pengelola modal Mubadala Group di sektor penerbangan Asia Pasific.
Hari ke enam, tepatnya hari Sabtu, 19 July 2014. Merujuk pada surat pemesanan kamar, sejatinya, Rusdi Kirana, harus sudah meninggalkan hotel kami. Tapi pada Jumat malam kemarin, tepat di saat Malaysia kembali sedang dirundung duka oleh peristiwa penembakan pesawat MAS MH17 di atas langit Ukraina, sekretaris perusahaan Lion, meminta perpanjangan masa tinggal untuk Boss Besarnya. Dan pada hari Sabtu itu, rombongan tamu yang datang adalah beberapa orang menteri disertai oleh beberapa petinggi MAS. Tidak diketahui fokus pembicaraan di antara mereka. Namun apabila melihat pada sosok yang datang pada hari Minggu, 20 July 2014, hampir bisa kita pastikan, ke arah mana sesungguhnya pembicaraan di antara mereka. Hari minggu itu, Presdir Khazanah Group beserta Dirut Petronas dan Dirut Kencana Petroleum, datang silih berganti. Ada kemungkinan, bahwa MAS telah ditawarkan pada Lion Air. Isu ini pernah saya dengar sebelumnya dari sahabat saya, Jay Fernandez, yang tak lain adalah kerabat dekat dari Tony Fernandez, sang pendiri Air Asia. Wallahualam Bishawab..!
Apapun hasil pertemuan itu, secara pribadi, saya merasa sangat bangga dengan kiprah perusahaan Indonesia di panggung internasional. Semoga prestasi serupa akan terus ditorehkan oleh perusahaan-perusahaan nasional lainnya. Amien..! Jayalah Indonesia, berkibarlah Merah Putih-ku..! Salam hangat dan salam Indonesia Besar..! (by: yayan@indocuisine / Kuala Lumpur, 21 July 2014).
JKGR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar