JAKARTA-(IDB) : Setelah Indonesia menyatakan
memberhentikan kerjasama pada beberapa bidang dengan Australia,
nampaknya Australia menilai kemarahan Presiden SBY serta para pejabat
Indonesia terbaca sangat serius. Presiden SBY menyatakan memberhentikan
kerjasama intelijen, militer serta kerja sama antar kepolisian negara.
Australia sangat khawatir karena Polri membekukan kerjasama dengan
Australia dalam bentuk intelijen dan Satuan Tugas Penyelundupan Manusia (Satgas People Smuggling).
"Sementara kita hentikan," kata Kapolri, Jenderal Pol Sutarman, di
Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (29/11/2013).
Satgas People Smuggling merupakan satuan
tugas yang dibentuk Polri dalam mengupayakan manusia-manusia perahu
yang akan menuju ke Christmas Island, Australia. Mereka yang akan
menyebrang ke pulau tersebut kerap berangkat dari perairan di Indonesia.
Selain itu, Polri juga memberhentikan informasi intelijen terkait
masalah terorisme.
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro
mengungkapkan sesuai dengan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan tiga kebijakan penting
menindaklanjuti kasus penyadapan tersebut."Kebijakan pertama adalah
pemberhentian kerja sama tukar menukar data informasi dan data intelijen
antara Indonesia dan Australia. Kedua, menghentikan latihan militer
bersama," katanya saat acara National Internet Security Day (NISD),
Kamis (21/11). TNI langsung merespons, bahkan langsung menarik lima F-16
TNI AU yang sedang mengikuti latma Elang-Ausindo di Darwin. Juga
latihan antara TNI AL dengan Royal Australian Navy, dan Kopassus dengan
special forces Australia.
Sebelumnya, diketahui ketika Perdana
Menteri Tony Abbot mengunjungi Jakarta pada 30 September 2013, kabarnya
Australia akan memberikan bantuan keuangan sekitar 420 juta dolar
Australia untuk mengatasi penyeludupan manusia dari
Indonesia. Rencananya pemerintah Australia akan menggunakan uang itu
untuk membeli kapal-kapal nelayan, memberi insentif uang kepada
masyarakat dan kepala desa di Indonesia yang memberikan informasi
tentang manusia perahu (Bisnis.com, 21/11/2013).
Dua hal prinsip yang sangat ditakuti
oleh Australia yaitu masalah perkembangan dan penanganan terorisme serta
kasus imigran gelap. Australia jelas masih trauma dengan peristiwa Bom
Bali-1 yang menewaskan 202 orang, mayoritas warga negara Australia,
serta pemboman kedubes Australia di Jakarta. Badan intelijen serta
polisi federal Australia jelas sangat berkepentingan mengikuti
perkembangan terorisme di Indonesia yang merupakan salah satu ancaman
utama terhadap warga, simbol dan kepentingan mereka di Indonesia. Oleh
karena itu mereka banyak memberikan asistensi dan perlengkapan kepada
Densus 88 dalam menanggulangi terorisme.
Kini dengan diberhentikannya informasi
intelijen oleh Polri, jelas pihak intelijen dan polisi Federal
dipastikan merasa tidak nyaman karena akses mapping teroris
ditutup. Penyadapan dalam kasus penyelidikan yang bisa mereka lakukan
terhadap tindak teror tidaklah cukup, yang dibutuhkan dari Polri,
khususnya Densus adalah analisa arah perkembangan kelompok teror yang
semakin militan dan berbahaya dengan bentuk sel-sel kecil. Mereka sulit
memanipulasi melalui jalur intelijen arah serangan teror. Bukan tidak
mungkin polisi yang kini menjadi prominent target akan kembali berubah arahnya ke warga Australia, Amerika dan kepentingannya.
Dilain sisi, setelah Indonesia menolak
menerima pemulangan kembali kapal sekelompok pencari suaka yang
diselamatkan Australia di sekitar perairan Indonesia, Menteri Imigrasi
Scott Morrison akhirnya menginstruksikan pencari suaka itu dikirim ke
Pulau Christmas dan Nauru. Keputusan ini menempatkan kebijakan
‘pemulangan kembali kapal pencari suaka’ oleh pemerintah koalisi
Australia dalam bahaya.
Juru bicara Menteri Imigrasi Partai
Buruh, Richard Marles mengatakan tidak terelakan lagi Australia harus
mundur dari kebijakannya untuk mengembalikan perahu pencari suaka.
"Diplomasi Pemerintah Abbott dengan Indonesia sekitar pencari suaka
benar-benar tidak kompeten," katanya."Kita semua tahu bahwa hubungan
kita dengan Indonesia terkait pencari suaka harus didasarkan pada
kerjasama." Disinilah pemerintahan Tony Abbott mendapat tekanan karena
harus berbicara dengan baik kepada pemerintah Indonesia, sementara Polri
sudah menghentikan Satgas People Smuggling.
Dalam kondisi tekanan psikologis dan
diplomatik, pemerintah mengirimkan Menlu Julie Bishop untuk mengadakan
kunjungan kepada Menlu Indonesia Marty Natalegawa di Pejambon Jakarta,
Kamis (05/12). Kunjungan Menlu Australia dengan rombongan delegasi
tingkat tinggi untuk pertama kali dalam rangka membicarakan
kelangsungan hubungan kedua negara yang memburuk sejak terungkapnya
penyadapan oleh Australia.
Di antara delegasi yang dibawa oleh
Bishop adalah mantan Kepala the Australian Security Intelligence
Organisation (ASIO) Dennis Richardson, yang kini menjabat sebagai
sekretaris Kementerian Pertahanan Australia. Bishop juga membawa serta
Sekretaris Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Andrew Shearer.
Sebelumnya Shearer adalah penasihat kebijakan luar negeri dan saat ini
juga menjabat sebagai penasihat senior untuk keamanan nasional dari
Perdana Menteri Tony Abbott.
Pertemuan antara Marty dengan Julie
Bishop berlangsung hampir 4 jam. Dalam konferensi pers usai pertemuan
tersebut, Julie mengungkapkan penyesalannya atas perbuatan Australia
yang menyebabkan bangsa Indonesia marah besar. Julie juga menyebut bahwa
Australia tidak akan mengulangi perbuatan yang merugikan Indonesia
lagi.
Menlu RI Marty Natalegawa mengatakan
hasil pertemuan ini akan segera ia laporkan kepada Presiden SBY.
Pertemuan yang dikatakan sangat konstruktif itu, merupakan tahapan
pertama dari 6 tahap yang disyaratkan oleh Presiden SBY. Dikatakan
pertemuannya dengan Menlu Australia, Julie Bishop, akan berkontribusi
pada kelanjutan hubungan RI dengan Australia. Namun pertemuan tersebut
saat ini tidak berdampak pada kerjasama antar kedua negara. Marty
menyatakan belum akan mengirimkan Dubes RI ke Australia. "Kerjasama yang
ditangguhkan tetap ditangguhkan. Tidak ada perubahan sama sekali.
Seperti pernyataan Bapak Presiden, (kerjasama RI-Australia) itu kan
langkah ke 6, jadi ini masih jauh," kata Marty di kantor Kemenlu, Jl
Pejambon, Jakarta Pusat, Kamis (5/12/2013).
Indonesia mengajukan prasyarat bagi
perumusan protokol dan kode etik kerja sama bilateral, setelah tercapai
kesepakatan bersama. Jika Australia dinilai sudah menunjukkan komitmen
terhadap kode etik diplomatik dan kepercayaan Indonesia pulih, maka
kerja sama bilateral akan dilanjutkan kembali. Yang sulit adalah
bagaimana memulihkan kepercayaan Presiden SBY yang sudah mereka garap
sisi pribadinya, itulah tugas berat Menlu Julie Bishop. Sementara PM
Abbott tetap bersikeras dengan prinsip kebenaran semunya.
Dengan demikian, nampaknya normalisasi
hubungan Indonesia dengan Australia masih membutuhkan waktu yang tidak
sebentar. Masih ada 5 langkah lagi hingga pembahasan mencapai pada
kelanjutan kerjasama antar kedua negara. Kemudian code of conduct
tersebut akan dipelajari secara langsung oleh Presiden. Setelah itu
Presiden dan Menteri akan menandatangani code of conduct
tersebut. Setelah itu dilakukan review, pasca review tersebut, barulah
ada pembahasan mengenai kerjasama antar kedua negara. "Setelah
betul-betul nyaman, baru kita ngomong tentang kemungkinan kerjasama itu
dipulihkan," terang Marty.
Kini pemerintah Australia mendadak baru
menyadari sepenuhnya bahwa mereka mempunyai ketergantungan dengan
Indonesia sebagai negara terdekatnya. Selama ini keangkuhannya yang
merasa sebagai negara maju hanya melihat Indonesia sebagai negara besar
tetapi kecil artinya dan dapat diatur-atur. Mereka lupa, Indonesia
sebagai negara yang sudah mengadopsi sistem demokrasi serupa dengan
Australia, keberanian serta sikap para pemimpin negara ini mampu
memainkan kartu diplomatik geografi dalam menekan Australia. Azas
kesetaraan dilupakan oleh Australia.
Publik Australia kini sadar bahwa mereka
akan menerima akibat yang lebih merugikan apabila Indonesia tetap
menguncinya. Indonesia marah, tetapi marah yang terukur, terbukti
rakyatnya mempercayai pemerintah, tidak melakukan perusakan atau istilah
menakutkan "sweeping," seperti masa lalu. Rakyat sadar bahwa
pemerintah mampu menangani tetangganya yang iseng dan mau menang sendiri
itu. Makin lama Australia jelas akan semakin gundah pastinya, kita
lihat saja nanti, kalau pemimpinnya tetap tidak mau sadar dan mengalah,
ya pasti akan pusing sendiri. Begitulah kira-kira membacanya.
Sumber : RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar