Jakarta ♼
Kepala Staf TNI Angkatan Darat ini berbicara mengenai alat utama sistem
senjata, profesionalisme dan kesejahteran prajurit, serta netralitas
TNI.
Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya Angkatan Darat, terus berupaya meningkatkan kualitas maupun kuantitas alat utama sistem senjata (alutsista). Sebagai pengawal kedaulatan negara, wajar jika TNI dibekali persenjataan yang canggih. Selain senjata, TNI, khususnya Angkatan Darat juga berupaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan prajurit.
Untuk mengetahui lebih jauh soal ini, wartawan Koran Jakarta, Marcellus Widiarto, Wandi Yusuf, dan Mochamad Ade Maulidin mewawancarai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal TNI Budiman, di rumah dinasnya, di Jakarta, Kamis (5/11) malam lalu.
Masih mengenakan pakaian dinas lengkap, Jenderal yang kerap bertutur kata lembut dan bicaranya terstruktur ini, juga bercerita mengenai berbagai persoalan yang dihadapi prajurit TNI AD. Berikut wawancara selengkapnya.
Kini alutsista TNI AD sudah semakin canggih. Apakah sebagian besar merupakan produk dalam negeri?
Untuk alutsista, kebetulan prioritas kita di TNI AD adalah mengupayakan produk dalam negeri. Nah, dari berbagai penambahan alutsista, umumnya alutsista ini untuk menggantikan alutsista-alutsista yang sudah terlalu tua. Dan bahkan ada alutsista yang umurnya lebih tua dari saya.
Kita coba lihat dari alutsista infanteri. Hampir 95 persen adalah produk dalam negeri. Mulai dari senjata laras pendek, laras panjang, senapan mesin, mortir, sampai kendaraan taktis (rantis) Anoa, dan rantis Komodo. Itu semua produk dalam negeri.
Yang masih didatangkan dari luar seperti anti-tank guided missile (ATGM). Peluru yang pakai guided masih ada yang harus dibeli dari luar. Tapi, untuk satuan infanteri hampir keseluruhan sudah (produk dalam negeri). Untuk rantis Anoa mungkin kita masih terbatas. Tapi, secara keseluruhan sudah lebih dari 70 persen. Ini artinya, kita sudah modern kalau dihitung dari kebutuhannya berapa. Tank Marder juga masih kita beli dari luar. Marder itu adalah infanteri fighting vehicle.
Bagaimana dengan satuan kavaleri?
Untuk kavaleri kita beli tank Leopard. Leopard adalah main battle tank terbaik di dunia. Kita beli untuk Leopard 2A4 sebanyak 1 batalion atau 42 unit. Kita juga beli Leopard 2 Revolution atau RI. Tank itu sebanyak 1 batalion plus 1 kompi. Jumlahnya sebanyak 42 tank ditambah 13, jadi ada sebanyak 55 unit.
Kemudian, kami juga melengkapi Leopard yang digunakan untuk jembatan, zeni, doser, eksavator, dan recovery. Basic mesinnya juga dari Leopard. Tank jenis ini ada sekitar 13–15 unit. Jumlah Marder sendiri ada sekitar 50 unit.
Untuk artileri medan (Armed)?
Untuk Armed itu cukup banyak (membeli dari luar). Kita membeli multi launch rocket system (MLRS). Itu untuk 2 batalion. MLRS ini kita beli yang Avibras buatan Brasil dengan daya jangkau lebih dari 100 km. Kemudian, areal kehancuran mencapai 4 hektare dan jenis kehancurannya menyeluruh dan mematikan.
Ini setara dengan Himars-nya Amerika Serikat atau buatan Rusia. Ini seimbang. Bedanya, kita menggunakan untuk kepentingan kedaulatan, sedangkan Himars untuk kepentingan terorisme dan akurasinya sangat tinggi.
Kita juga membeli Caesar atau meriam 155 Howitzer. Meriam ini bisa masuk pada kedudukan siap tembak hanya dalam 2 menit. Jarak tembak maksimal mencapai 42 km. Peluru belum sampai, dia sudah bisa tinggalkan tempat. Dalam prinsip perang artileri lawan artileri, sebelum musuh tahu, kita sudah harus bisa pindah. Jumlahnya sebanyak 2 batalion.
Kita juga beli juga meriam 155 KH179 buatan Korea Selatan sebanyak 1 batalyon. Ada juga meriam 105 Armed Korea Selatan sebanyak 3 batalyon. Untuk penangkis serangan udara, kita membeli 9 baterai Mistral sebanyak 3 batalyon. Mistral ini memang digunakan untuk jarak pendek. Probabilitasnya mencapai 96 persen kemungkinnan kena. Jadi hanya human error yang membuat dia meleset. Kita juga akan membeli 5 detasemen starstreak. Tapi, ini masih dalam proses.
Lalu, bagaimana dengan pengadaan helikopter?
Helikopter kita masih akan datang 16 unit Bell 412 dan 12 unit heli serang Fennec dan 8 unit Heli Apache. Apache ini direncanakan akan datang pada 2017. Dan sesuai kontrak, Bell dan Fennec tinggal tunggu datang. Dipastikan sudah ada 80 persen pada 2014. Yang belum kita beli adalah peralatan untuk satuan Zeni dan bantuan lainnya. Pada satuan ini pembelian lebih pada tembakan fire precision. Mungkin akan kita lengkapi pada tahun anggaran selanjutnya.
Apakah semua ini sudah bisa memenuhi minimum essential forces (MEF)?
Kalau kita lihat MEF sudah bisa mencapai keseluruhan 30 persen. Tapi, nanti setiap orang ngomongnya berbeda karena bergantung dari sudut mana dia membuat satu penilaian. Kalau untuk penilaian sampai 2014, kita sudah memenuhi. Itu sebabnya kekuatan kita cukup lumayan diperhitungkan di Asia Tenggara.
Pada dasarnya kita memprioritaskan alutsista dalam negeri untuk menghemat devisa, tapi pada teknologi yang belum mampu, kita harus beli dari luar. Kebijakan yang akan datang, kalau kita membeli harus dilakukan alih teknologi. Paling tidak menjadi joint production (produksi bersama). Ini sesuai dengan UU tentang Industri Pertahanan.
Bagaimana dengan sumber daya prajuritnya, apakah sudah siap untuk mengawaki alutsista canggih tersebut?
Kebetulan semenjak saya masih Dan Kodiklat, untuk pendidikan kita sudah menuju pada era teknologi informasi. Komputerisasi. Jadi, dari 2010 kita sudah memulai setiap prajurit sudah menggunakan komputer dalam proses belajar-mengajar. Paling tidak dia sudah tak gaptek (gagap teknologi) lagi.
Khusus personel yang akan mengawaki alat-alat canggih, kita lakukan psikotes ulang. Baik pada skala IQ maupun EQ sehingga betul-betul seusuai peruntukan. Proses ini sedang dan sudah kita lakukan.
Kemudian, mulai ke depan, rekrutmen akan sangat memperhatikan kualitas intelektual selain kepribadian. Jasmani nanti kita bimbing. Kalau dapat yang memang larinya (fisiknya) bagus, itu lebih baik. Tapi dengan kita bimbing secara bertahap, kita yakin bisa. Yang penting modal otak dulu yang kita prioritaskan.
Selain itu, kita sedang membuat pokja yang menyiapkan piranti lunak dalam bentuk doktrin, petunjuk lapangan, petunjuk teknis, dan sebagainya. Kemudian, untuk sektor pendidikan sudah kita kirim ke negara pembuat (alutsista). Para calon pelatih kita prioritaskan kirim ke sana supaya hemat. Kalau kita kirim semua percuma, lebih baik para calon pelatihnya saja. Dan ini sudah berjalan, termasuk penyiapan kelengkapan seperti garasi hingga aturannya. Sudah kita siapkan semuanya.
Sejauh ini, apakah minat masyarakat untuk menjadi prajurit TNI masih cukup tinggi?
Untuk tingkat tamtama dan bintara kita tak kesulitan karena peminatnya masih banyak, dan di antara orang kampung banyak yang pandai. Mereka umumnya tak tahu bahwa dirinya itu pandai sehingga mereka masuk tamtama atau bintara. Begitu dites IQ-nya sebetulnya tinggi.
Kalau untuk perwira, karena keinginan untuk perwira harus macam-macam, kita harus proaktif datang ke berbagai tempat. Seperti datang ke sekolah bagus dan hebat. Kita coba merekrut dari situ.
Akan sangat membantu apabila media massa mau membantu menempatkan TNI pada tempat yang baik sehingga keinginan masyarakat Indonesia untuk menjadi TNI semakin besar dan kita bisa menyeleksi yang terbaik.
Bagaimana penilaian Anda mengenai beberapa prajurit yang kadang berantem dengan polisi. Lalu, apa pula tanggapan soal kasus Cebongan?
Tentunya kita menyadari, prajurit saya ada hampir 350 ribu orang. Dari jumlah itu, kalau dalam satu keluarga biasanya ada satu yang nyeleneh, maka saya masih beruntung. Rata-rata dalam 350 ribu prajurit, saya memecat antara 50–70 orang. Rata-rata 60 orang. Jika kita lihat dari jumlah personel, perbandingannya 0,2 permil. Sangat kecil.
Dilihat dari rekrutmen per tahun yang mencapai 10 ribu personel, maka kegagalan kita hanya 6 per mil atau 0,6 persen dari 60 personel yang dipecat. Tapi, kita akan berusaha terus menekan ini. Dan itu semua bergantung kondisi masyarakat saat rekrutmen. Kalau lingkungan masyarakat menempatkan TNI pada posisi yang baik, kita akan mendapatkan prajurit yang baik juga.
Untuk masalah kenakalan, begini. Filosofi mendidik tentara adalah bagaimana mampu bertahan hidup di dalam satu pertempuran. Membunuh atau dibunuh. Itu filosofi pendidikannya, sehingga saya harus mendidik dan menjadikan prajurit saya seorang warrior yang fighting spirit-nya tinggi.
Ini tentu berisiko. Mungkin menjadikan sifatnya keras dan lebih galak. Nah, di satu sisi dia harus sopan kepada masyarakat. Itu tantangan tersulit bagi kita, tapi ini yang menarik. Kalau kita bisa mendidikan jagoan perang sekaligus baik kepada masyarakat, itu yang kita upayakan. Kita tengah berupaya mencetak prajurit yang tidak mudah tersinggung, marah, dan emosi.
Untuk kasus Cebongan, permasalahannya adalah bagaimana seorang bawahan melihat atasan yang pernah menyelamatkan nyawanya, kemudian dibunuh secara keji. Dan dia punya kemampuan seperti itu (warrior).
Sedangkan untuk kasus prajurit yang berkelahi, pada umumnya mereka merupakan prajurit yang nakal. Lalu, ketemu dengan polisi yang nakal juga. Selalu begitu. Dan setelah kita periksa, anak buah ini nakalnya bukan main.
Khusus bentrokan di Karawang, kasusnya beda juga. Seorang prajurit baru saja ikut pertandingan maraton. Dia diberi istirahat oleh komandannya. Dia mengantar istrinya yang kerja di Pemda. Lalu, bertemu dengan konvoi polisi. Dia sudah minggir dan melihat. Tapi, malah dipelototin. Selanjutnya, sejumlah polisi turun dan memukul. Sudah mengaku sebagai tentara pun masih dipukul. Akhirnya, kawan-kawannya mendengar dan tak terima dengan perlakuan itu. Dia cari polisi yang memukul itu. Ternyata tak dapat. Yang saya sesalkan, dia melakukan tindakan yang tak pada tempat semestinya.
Pada dasarnya prajurit tak boleh harga dirinya direndahkan. Prajurit itu kalau direndahkan akan menunjukkan satu sikap bertahan. Karena dia harus rela berkorban untuk sesuatu yang dia cita-citakan. Itu risiko dari suatu pendidikan. Ini juga tantangan buat kami. Mudah-mudahan kita bisa menciptakan “harimau” yang sopan di kala bersama masyarakat.
Apakah ada kesulitan menciptakan “harimau” yang sopan di masyarakat?
Kesulitannya, lingkungan masyarakat pun harus menjadi contoh teladan. Situasi kehidupan politik, sosial, dan bidang lainnya amat memengaruhi sikap para prajurit.
Sebentar lagi Pemilu dan sebagian calon (presiden) juga merupakan purnawirawan TNI yang pernah sangat dekat dengan prajurit. Bagaimana menjaga netralitas TNI AD?
Untuk anggota TNI, kita tak punya hak pilih dan tak menjalankannya. Untuk keluarga memiliki hak pilih. Dan itu diserahkan kepada keluarga masing-masing untuk menggunakan hak pilihnya dengan baik dan cerdas. Cerdas di sini adalah dia memilih pemimpin yang bisa membawa kemajuan bagi negara dan bangsa tanpa harus melihat asal muasal.
Kepada prajurit TNI saya mengimbau tak boleh terlibat politik praktis. Kita pernah melaksanakan Pemilu 2004. Walaupun ada yang mencoba mengajak untuk tidak netral, kita tetap bisa netral.
Dan saya jamin pada Pemilu 2014 TNI akan tetap netral karena saya terlibat di dalamnya. Pada Pemilu 2009 terbukti TNI sangat netral.
Dan kalau pada Pemilu 2014 ada anggota TNI yang coba-coba tak netral, kerugian sosialnya terlalu tinggi. Di saat masyarakat dan prajurit sudah pandai, hanya kebodohan kalau kita mau bersikap tidak netral. Jadi, saya percaya dan berharap kepada prajurit saya untuk tetap netral dan tak terlibat politik. Mereka juga harus mampu untuk tak dipengaruhi siapa pun. Dan kami memohon untuk pihak lain agar tak mengiming-imingi prajurit kami.
Sejauh ini apakah sudah ada laporan ada pihak yang mengiming-imingi?
Sampai dengan hari ini belum ada yang mencoba mengiming-imingi.
Bagaimana caranya agar prajurit semakin profesional?
Saya sekarang sedang mengumpulkan 200 perwira muda yang potensial dan hebat. Saya merekrut dari setiap angkatan, mulai dari tamatan 1984 sampai 2003. Ada sekitar 20 angkatan yang masing-masing diambil 10 prajurit terbaik.
Mereka akan dihadapkan pada satu tim pokja yang dibagi menjadi tiga, yakni pokja pertempuran, pokja teritorial, dan pokja dukungan. Setiap pokja dipimpin oleh tiga calon prajurit yang kelak akan menggantikan saya.
Mereka diminta mendesain kemungkinan ancaman 20 tahun ke depan sehingga akan seperti apa postur TNI AD 20 tahun mendatang. Agar lebih terukur, kita akan tarik mundur pada setiap 5 tahun. Mereka akan diuji bagaimana membuat grand design per lima tahun. Simulasi ini akan lebih mendetail meliputi taktik, strategi, hingga penguasaan teritorial. Dan bagaimana mereka menghadapi ancaman soft power. Itu kita siapkan. Baik dari dukungan intelijen, operasional, personel, manejemen logistik, hingga pengadaan, sehingga ke depan kita bisa lebih sempurna lagi, baik dari planning jangka pendek, menengah, dan panjang.
Untuk hari ke hari sampai akhir 2014, saya akan memanfaatkan uang yang diberikan negara secara efisien dan efektif, sehingga kita dapat transparan kepada anggota dan rakyat. Uang yang diberi rakyat melalui APBN harus bisa dipertanggungjawabkan dengan baik.
Bagaimana dengan kesejahteraan prajurit?
Untuk ksejahteraan. Saat ini prajurit terendah kita dengan 0 tahun, seperti prada, take home pay-nya mencapai 3,9 juta rupiah per bulan. Itu sudah termasuk gaji ke-13, remunerasi, dan uang lauk-pauk. Tapi, prajurit itu juga punya kenaikan berkala setiap tahun. Saat kenaikan pangkat, naik lagi, termasuk saat peningkatan golongan karena mendapat remunerasi tambahan. Saya pikir itu cukup untuk hidup sederhana. Ketika sudah berpangkat kopral kepala, sudah cukup untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi negeri. Dengan catatan mereka menghemat.
Kemudian untuk perumahan, prajurit di satuan tempur semua disiapkan. Untuk satuan teritorial secara bertahap disiapkan. Kita berupaya antara kantor dengan rumah jaraknya dekat. Untuk itu kita bangun apartemen untuk para paban.
Sebagai contoh, di Pejambon, kita sudah membeli lahan dari gereja untuk kita buat beberapa tower. Khusus untuk bintara, tamtama, dan PNS TNI AD akan kita usahakan membuat tower di Cempaka Putih, dan sebagainya. Jadi, kalau untuk kesejahteraan, alhamdulillah negara sudah cukup memberi perhatian.
Jadi tak ada alasan lagi untuk nyambi?
Kalau dia disiplin, sudah nggak ada alasan lagi sekarang.
Melihat kondisi terkini, apa hal yang paling prioritas untuk dibenahi?
Jelas sumber daya prajurit. Sumber daya yang kita prioritaskan betul adalah rekrutmennya. Kita sekarang menggunakan metode mencegah kemungkinan orang membayar. Kita sudah punya dan akan kita lakukan pada 2014.
Mekanisme ini sempat menjadi diskusi ketat. Dan akhirnya ketemu formula yang tepat. Kita akan melaksanakan tes dalam waktu pendek dalam satu tempat tertutup sampai selesai. Dari situ langsung diumumkan siapa yang masuk. Saya yakin ini tak akan memberi kesempatan ada prajurit yang bermain-main.
Sistem ini dijamin bersih?
Mudah-mudahan. Kita sudah simulasikan kemungkinan-kemungkinan. Kalau terjadi begini, kita akan begini. Tanggung jawab diserahkan langsung kepada panglima di daerah dan danrem-nya. Kalau terbukti jelek, panglima dan danremnya akan kita copot.
khusus untuk rekrutmen perwira, kita akan proaktif, baik di akademi militer maupun di perguruan tinggi. Kita datangi universitas-universitas bagus. Kita akan berbincang-bincang siapa yang mau menjadi prajurit.
Sebelumnya, perekrutan tingkat perwira hanya dilakukan melalui pengumuman, tanpa komunikasi dua arah. Orang pandai kan harus diajak komunikasi dua arah. Dulu sebenarnya sudah dilakukan, tapi belum masif. Kalau perlu saya sendiri bisa jadi bagian yang mempromosikan.***
Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya Angkatan Darat, terus berupaya meningkatkan kualitas maupun kuantitas alat utama sistem senjata (alutsista). Sebagai pengawal kedaulatan negara, wajar jika TNI dibekali persenjataan yang canggih. Selain senjata, TNI, khususnya Angkatan Darat juga berupaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan prajurit.
Untuk mengetahui lebih jauh soal ini, wartawan Koran Jakarta, Marcellus Widiarto, Wandi Yusuf, dan Mochamad Ade Maulidin mewawancarai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal TNI Budiman, di rumah dinasnya, di Jakarta, Kamis (5/11) malam lalu.
Masih mengenakan pakaian dinas lengkap, Jenderal yang kerap bertutur kata lembut dan bicaranya terstruktur ini, juga bercerita mengenai berbagai persoalan yang dihadapi prajurit TNI AD. Berikut wawancara selengkapnya.
Kini alutsista TNI AD sudah semakin canggih. Apakah sebagian besar merupakan produk dalam negeri?
Untuk alutsista, kebetulan prioritas kita di TNI AD adalah mengupayakan produk dalam negeri. Nah, dari berbagai penambahan alutsista, umumnya alutsista ini untuk menggantikan alutsista-alutsista yang sudah terlalu tua. Dan bahkan ada alutsista yang umurnya lebih tua dari saya.
Kita coba lihat dari alutsista infanteri. Hampir 95 persen adalah produk dalam negeri. Mulai dari senjata laras pendek, laras panjang, senapan mesin, mortir, sampai kendaraan taktis (rantis) Anoa, dan rantis Komodo. Itu semua produk dalam negeri.
Yang masih didatangkan dari luar seperti anti-tank guided missile (ATGM). Peluru yang pakai guided masih ada yang harus dibeli dari luar. Tapi, untuk satuan infanteri hampir keseluruhan sudah (produk dalam negeri). Untuk rantis Anoa mungkin kita masih terbatas. Tapi, secara keseluruhan sudah lebih dari 70 persen. Ini artinya, kita sudah modern kalau dihitung dari kebutuhannya berapa. Tank Marder juga masih kita beli dari luar. Marder itu adalah infanteri fighting vehicle.
Bagaimana dengan satuan kavaleri?
Untuk kavaleri kita beli tank Leopard. Leopard adalah main battle tank terbaik di dunia. Kita beli untuk Leopard 2A4 sebanyak 1 batalion atau 42 unit. Kita juga beli Leopard 2 Revolution atau RI. Tank itu sebanyak 1 batalion plus 1 kompi. Jumlahnya sebanyak 42 tank ditambah 13, jadi ada sebanyak 55 unit.
Kemudian, kami juga melengkapi Leopard yang digunakan untuk jembatan, zeni, doser, eksavator, dan recovery. Basic mesinnya juga dari Leopard. Tank jenis ini ada sekitar 13–15 unit. Jumlah Marder sendiri ada sekitar 50 unit.
Untuk artileri medan (Armed)?
Untuk Armed itu cukup banyak (membeli dari luar). Kita membeli multi launch rocket system (MLRS). Itu untuk 2 batalion. MLRS ini kita beli yang Avibras buatan Brasil dengan daya jangkau lebih dari 100 km. Kemudian, areal kehancuran mencapai 4 hektare dan jenis kehancurannya menyeluruh dan mematikan.
Ini setara dengan Himars-nya Amerika Serikat atau buatan Rusia. Ini seimbang. Bedanya, kita menggunakan untuk kepentingan kedaulatan, sedangkan Himars untuk kepentingan terorisme dan akurasinya sangat tinggi.
Kita juga membeli Caesar atau meriam 155 Howitzer. Meriam ini bisa masuk pada kedudukan siap tembak hanya dalam 2 menit. Jarak tembak maksimal mencapai 42 km. Peluru belum sampai, dia sudah bisa tinggalkan tempat. Dalam prinsip perang artileri lawan artileri, sebelum musuh tahu, kita sudah harus bisa pindah. Jumlahnya sebanyak 2 batalion.
Kita juga beli juga meriam 155 KH179 buatan Korea Selatan sebanyak 1 batalyon. Ada juga meriam 105 Armed Korea Selatan sebanyak 3 batalyon. Untuk penangkis serangan udara, kita membeli 9 baterai Mistral sebanyak 3 batalyon. Mistral ini memang digunakan untuk jarak pendek. Probabilitasnya mencapai 96 persen kemungkinnan kena. Jadi hanya human error yang membuat dia meleset. Kita juga akan membeli 5 detasemen starstreak. Tapi, ini masih dalam proses.
Lalu, bagaimana dengan pengadaan helikopter?
Helikopter kita masih akan datang 16 unit Bell 412 dan 12 unit heli serang Fennec dan 8 unit Heli Apache. Apache ini direncanakan akan datang pada 2017. Dan sesuai kontrak, Bell dan Fennec tinggal tunggu datang. Dipastikan sudah ada 80 persen pada 2014. Yang belum kita beli adalah peralatan untuk satuan Zeni dan bantuan lainnya. Pada satuan ini pembelian lebih pada tembakan fire precision. Mungkin akan kita lengkapi pada tahun anggaran selanjutnya.
Apakah semua ini sudah bisa memenuhi minimum essential forces (MEF)?
Kalau kita lihat MEF sudah bisa mencapai keseluruhan 30 persen. Tapi, nanti setiap orang ngomongnya berbeda karena bergantung dari sudut mana dia membuat satu penilaian. Kalau untuk penilaian sampai 2014, kita sudah memenuhi. Itu sebabnya kekuatan kita cukup lumayan diperhitungkan di Asia Tenggara.
Pada dasarnya kita memprioritaskan alutsista dalam negeri untuk menghemat devisa, tapi pada teknologi yang belum mampu, kita harus beli dari luar. Kebijakan yang akan datang, kalau kita membeli harus dilakukan alih teknologi. Paling tidak menjadi joint production (produksi bersama). Ini sesuai dengan UU tentang Industri Pertahanan.
Bagaimana dengan sumber daya prajuritnya, apakah sudah siap untuk mengawaki alutsista canggih tersebut?
Kebetulan semenjak saya masih Dan Kodiklat, untuk pendidikan kita sudah menuju pada era teknologi informasi. Komputerisasi. Jadi, dari 2010 kita sudah memulai setiap prajurit sudah menggunakan komputer dalam proses belajar-mengajar. Paling tidak dia sudah tak gaptek (gagap teknologi) lagi.
Khusus personel yang akan mengawaki alat-alat canggih, kita lakukan psikotes ulang. Baik pada skala IQ maupun EQ sehingga betul-betul seusuai peruntukan. Proses ini sedang dan sudah kita lakukan.
Kemudian, mulai ke depan, rekrutmen akan sangat memperhatikan kualitas intelektual selain kepribadian. Jasmani nanti kita bimbing. Kalau dapat yang memang larinya (fisiknya) bagus, itu lebih baik. Tapi dengan kita bimbing secara bertahap, kita yakin bisa. Yang penting modal otak dulu yang kita prioritaskan.
Selain itu, kita sedang membuat pokja yang menyiapkan piranti lunak dalam bentuk doktrin, petunjuk lapangan, petunjuk teknis, dan sebagainya. Kemudian, untuk sektor pendidikan sudah kita kirim ke negara pembuat (alutsista). Para calon pelatih kita prioritaskan kirim ke sana supaya hemat. Kalau kita kirim semua percuma, lebih baik para calon pelatihnya saja. Dan ini sudah berjalan, termasuk penyiapan kelengkapan seperti garasi hingga aturannya. Sudah kita siapkan semuanya.
Sejauh ini, apakah minat masyarakat untuk menjadi prajurit TNI masih cukup tinggi?
Untuk tingkat tamtama dan bintara kita tak kesulitan karena peminatnya masih banyak, dan di antara orang kampung banyak yang pandai. Mereka umumnya tak tahu bahwa dirinya itu pandai sehingga mereka masuk tamtama atau bintara. Begitu dites IQ-nya sebetulnya tinggi.
Kalau untuk perwira, karena keinginan untuk perwira harus macam-macam, kita harus proaktif datang ke berbagai tempat. Seperti datang ke sekolah bagus dan hebat. Kita coba merekrut dari situ.
Akan sangat membantu apabila media massa mau membantu menempatkan TNI pada tempat yang baik sehingga keinginan masyarakat Indonesia untuk menjadi TNI semakin besar dan kita bisa menyeleksi yang terbaik.
Bagaimana penilaian Anda mengenai beberapa prajurit yang kadang berantem dengan polisi. Lalu, apa pula tanggapan soal kasus Cebongan?
Tentunya kita menyadari, prajurit saya ada hampir 350 ribu orang. Dari jumlah itu, kalau dalam satu keluarga biasanya ada satu yang nyeleneh, maka saya masih beruntung. Rata-rata dalam 350 ribu prajurit, saya memecat antara 50–70 orang. Rata-rata 60 orang. Jika kita lihat dari jumlah personel, perbandingannya 0,2 permil. Sangat kecil.
Dilihat dari rekrutmen per tahun yang mencapai 10 ribu personel, maka kegagalan kita hanya 6 per mil atau 0,6 persen dari 60 personel yang dipecat. Tapi, kita akan berusaha terus menekan ini. Dan itu semua bergantung kondisi masyarakat saat rekrutmen. Kalau lingkungan masyarakat menempatkan TNI pada posisi yang baik, kita akan mendapatkan prajurit yang baik juga.
Untuk masalah kenakalan, begini. Filosofi mendidik tentara adalah bagaimana mampu bertahan hidup di dalam satu pertempuran. Membunuh atau dibunuh. Itu filosofi pendidikannya, sehingga saya harus mendidik dan menjadikan prajurit saya seorang warrior yang fighting spirit-nya tinggi.
Ini tentu berisiko. Mungkin menjadikan sifatnya keras dan lebih galak. Nah, di satu sisi dia harus sopan kepada masyarakat. Itu tantangan tersulit bagi kita, tapi ini yang menarik. Kalau kita bisa mendidikan jagoan perang sekaligus baik kepada masyarakat, itu yang kita upayakan. Kita tengah berupaya mencetak prajurit yang tidak mudah tersinggung, marah, dan emosi.
Untuk kasus Cebongan, permasalahannya adalah bagaimana seorang bawahan melihat atasan yang pernah menyelamatkan nyawanya, kemudian dibunuh secara keji. Dan dia punya kemampuan seperti itu (warrior).
Sedangkan untuk kasus prajurit yang berkelahi, pada umumnya mereka merupakan prajurit yang nakal. Lalu, ketemu dengan polisi yang nakal juga. Selalu begitu. Dan setelah kita periksa, anak buah ini nakalnya bukan main.
Khusus bentrokan di Karawang, kasusnya beda juga. Seorang prajurit baru saja ikut pertandingan maraton. Dia diberi istirahat oleh komandannya. Dia mengantar istrinya yang kerja di Pemda. Lalu, bertemu dengan konvoi polisi. Dia sudah minggir dan melihat. Tapi, malah dipelototin. Selanjutnya, sejumlah polisi turun dan memukul. Sudah mengaku sebagai tentara pun masih dipukul. Akhirnya, kawan-kawannya mendengar dan tak terima dengan perlakuan itu. Dia cari polisi yang memukul itu. Ternyata tak dapat. Yang saya sesalkan, dia melakukan tindakan yang tak pada tempat semestinya.
Pada dasarnya prajurit tak boleh harga dirinya direndahkan. Prajurit itu kalau direndahkan akan menunjukkan satu sikap bertahan. Karena dia harus rela berkorban untuk sesuatu yang dia cita-citakan. Itu risiko dari suatu pendidikan. Ini juga tantangan buat kami. Mudah-mudahan kita bisa menciptakan “harimau” yang sopan di kala bersama masyarakat.
Apakah ada kesulitan menciptakan “harimau” yang sopan di masyarakat?
Kesulitannya, lingkungan masyarakat pun harus menjadi contoh teladan. Situasi kehidupan politik, sosial, dan bidang lainnya amat memengaruhi sikap para prajurit.
Sebentar lagi Pemilu dan sebagian calon (presiden) juga merupakan purnawirawan TNI yang pernah sangat dekat dengan prajurit. Bagaimana menjaga netralitas TNI AD?
Untuk anggota TNI, kita tak punya hak pilih dan tak menjalankannya. Untuk keluarga memiliki hak pilih. Dan itu diserahkan kepada keluarga masing-masing untuk menggunakan hak pilihnya dengan baik dan cerdas. Cerdas di sini adalah dia memilih pemimpin yang bisa membawa kemajuan bagi negara dan bangsa tanpa harus melihat asal muasal.
Kepada prajurit TNI saya mengimbau tak boleh terlibat politik praktis. Kita pernah melaksanakan Pemilu 2004. Walaupun ada yang mencoba mengajak untuk tidak netral, kita tetap bisa netral.
Dan saya jamin pada Pemilu 2014 TNI akan tetap netral karena saya terlibat di dalamnya. Pada Pemilu 2009 terbukti TNI sangat netral.
Dan kalau pada Pemilu 2014 ada anggota TNI yang coba-coba tak netral, kerugian sosialnya terlalu tinggi. Di saat masyarakat dan prajurit sudah pandai, hanya kebodohan kalau kita mau bersikap tidak netral. Jadi, saya percaya dan berharap kepada prajurit saya untuk tetap netral dan tak terlibat politik. Mereka juga harus mampu untuk tak dipengaruhi siapa pun. Dan kami memohon untuk pihak lain agar tak mengiming-imingi prajurit kami.
Sejauh ini apakah sudah ada laporan ada pihak yang mengiming-imingi?
Sampai dengan hari ini belum ada yang mencoba mengiming-imingi.
Bagaimana caranya agar prajurit semakin profesional?
Saya sekarang sedang mengumpulkan 200 perwira muda yang potensial dan hebat. Saya merekrut dari setiap angkatan, mulai dari tamatan 1984 sampai 2003. Ada sekitar 20 angkatan yang masing-masing diambil 10 prajurit terbaik.
Mereka akan dihadapkan pada satu tim pokja yang dibagi menjadi tiga, yakni pokja pertempuran, pokja teritorial, dan pokja dukungan. Setiap pokja dipimpin oleh tiga calon prajurit yang kelak akan menggantikan saya.
Mereka diminta mendesain kemungkinan ancaman 20 tahun ke depan sehingga akan seperti apa postur TNI AD 20 tahun mendatang. Agar lebih terukur, kita akan tarik mundur pada setiap 5 tahun. Mereka akan diuji bagaimana membuat grand design per lima tahun. Simulasi ini akan lebih mendetail meliputi taktik, strategi, hingga penguasaan teritorial. Dan bagaimana mereka menghadapi ancaman soft power. Itu kita siapkan. Baik dari dukungan intelijen, operasional, personel, manejemen logistik, hingga pengadaan, sehingga ke depan kita bisa lebih sempurna lagi, baik dari planning jangka pendek, menengah, dan panjang.
Untuk hari ke hari sampai akhir 2014, saya akan memanfaatkan uang yang diberikan negara secara efisien dan efektif, sehingga kita dapat transparan kepada anggota dan rakyat. Uang yang diberi rakyat melalui APBN harus bisa dipertanggungjawabkan dengan baik.
Bagaimana dengan kesejahteraan prajurit?
Untuk ksejahteraan. Saat ini prajurit terendah kita dengan 0 tahun, seperti prada, take home pay-nya mencapai 3,9 juta rupiah per bulan. Itu sudah termasuk gaji ke-13, remunerasi, dan uang lauk-pauk. Tapi, prajurit itu juga punya kenaikan berkala setiap tahun. Saat kenaikan pangkat, naik lagi, termasuk saat peningkatan golongan karena mendapat remunerasi tambahan. Saya pikir itu cukup untuk hidup sederhana. Ketika sudah berpangkat kopral kepala, sudah cukup untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi negeri. Dengan catatan mereka menghemat.
Kemudian untuk perumahan, prajurit di satuan tempur semua disiapkan. Untuk satuan teritorial secara bertahap disiapkan. Kita berupaya antara kantor dengan rumah jaraknya dekat. Untuk itu kita bangun apartemen untuk para paban.
Sebagai contoh, di Pejambon, kita sudah membeli lahan dari gereja untuk kita buat beberapa tower. Khusus untuk bintara, tamtama, dan PNS TNI AD akan kita usahakan membuat tower di Cempaka Putih, dan sebagainya. Jadi, kalau untuk kesejahteraan, alhamdulillah negara sudah cukup memberi perhatian.
Jadi tak ada alasan lagi untuk nyambi?
Kalau dia disiplin, sudah nggak ada alasan lagi sekarang.
Melihat kondisi terkini, apa hal yang paling prioritas untuk dibenahi?
Jelas sumber daya prajurit. Sumber daya yang kita prioritaskan betul adalah rekrutmennya. Kita sekarang menggunakan metode mencegah kemungkinan orang membayar. Kita sudah punya dan akan kita lakukan pada 2014.
Mekanisme ini sempat menjadi diskusi ketat. Dan akhirnya ketemu formula yang tepat. Kita akan melaksanakan tes dalam waktu pendek dalam satu tempat tertutup sampai selesai. Dari situ langsung diumumkan siapa yang masuk. Saya yakin ini tak akan memberi kesempatan ada prajurit yang bermain-main.
Sistem ini dijamin bersih?
Mudah-mudahan. Kita sudah simulasikan kemungkinan-kemungkinan. Kalau terjadi begini, kita akan begini. Tanggung jawab diserahkan langsung kepada panglima di daerah dan danrem-nya. Kalau terbukti jelek, panglima dan danremnya akan kita copot.
khusus untuk rekrutmen perwira, kita akan proaktif, baik di akademi militer maupun di perguruan tinggi. Kita datangi universitas-universitas bagus. Kita akan berbincang-bincang siapa yang mau menjadi prajurit.
Sebelumnya, perekrutan tingkat perwira hanya dilakukan melalui pengumuman, tanpa komunikasi dua arah. Orang pandai kan harus diajak komunikasi dua arah. Dulu sebenarnya sudah dilakukan, tapi belum masif. Kalau perlu saya sendiri bisa jadi bagian yang mempromosikan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar