Ahli
tindak terorisme dari Institut Pembangunan Perdamaian Internasional,
Taufik Andrie, mengatakan Indonesia seharusnya khawatir terhadap ancaman
yang dibawa WNI yang diduga bergabung dengan kelompok militan di Timur
Tengah.
Sebab, mereka diduga akan membawa ancaman baru dan serius ke
dalam negeri, ketika mereka kembali ke Tanah Air.
Dilansir dari stasiun berita Channel News Asia, Taufik berpikir ketika para WNI itu kembali ke Tanah Air, mereka akan dilihat sebagai para pembela jihad berpengalaman. Dengan cara seperti itu, ungkap Taufik, kaum muda akan tertarik dan mendatangi mereka untuk dilatih.
"Kemudian, mereka akan membentuk kelompok baru, merencanakan serangan baru, mengajari cara untuk membuat bom dan berperang," kata Taufik.
Dia menilai, hal serupa tidak akan mungkin bisa dilakukan, apabila ada orang tertentu di kelompok itu hanya tetap berada di Indonesia. Yang tersisa di Indonesia, ujar Taufik, hanya kelompok sempalan tanpa sumber daya atau dukungan apa pun.
"Sebab itu begitu banyak yang terinspirasi untuk mengetahui apa yang terjadi di Irak dan Suriah," kata dia.
Saat ini, diprediksi terdapat sekitar 60 warga Indonesia yang pergi ke Suriah dan Irak untuk berperang. Namun, menurut para ahli lainnya, angka sesungguhnya mendekati 100 orang dan berkembang dengan cepat.
Salah satunya, terekam dalam sebuah video yang diunggah ke akun media sosial Youtube. Menurut narator yang merekam dengan kamera, terlihat ada lima WNI yang mengenakan balaclava atau tutup wajah dan menenteng senapan Kalashnikov.
Dalam video tersebut, kelimanya mengajak umat Muslim Indonesia untuk turun berjihad ke Suriah.
Pengamat intelijen dari Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN), Wawan Purwanto, membenarkan adanya potensi ancaman dari alumni militan asal Indonesia yang kini berjuang bersama kelompok ISIL. Menurut pria yang juga menjabat sebagai direktur di organisasi itu, apabila alumni itu kembali ke Tanah Air, maka yang menjadi sasaran mereka yakni pemeluk Islam Syiah.
Proses pengiriman warga Indonesia ke Timur Tengah sudah berlangsung cukup lama. Bahkan, jumlahnya tidak hanya 60 orang seperti yang diklaim oleh Kementerian Luar Negeri RI. Angkanya, mencapai ratusan orang.
"Dari data yang saya pegang, sebanyak 55 orang meninggal. Sementara di Yaman, sedikitnya sudah ada lima orang yang meninggal," kata dia.
Sebanyak 11 WNI, bahkan tidak diketahui keberadaannya. Menurut Wawan, Mereka berangkat ke sana unuk berjihad dan berperang atas nama Islam. Apabila mereka meninggal di sana, kebanyakan mereka mengaku sudah siap.
Wawan menyebut sulit mencegah atau melarang WNI bepergian ke Timur Tengah. Mereka tidak akan secara langsung membeli tiket pesawat dengan tujuan ke Suriah.
Dilansir dari stasiun berita Channel News Asia, Taufik berpikir ketika para WNI itu kembali ke Tanah Air, mereka akan dilihat sebagai para pembela jihad berpengalaman. Dengan cara seperti itu, ungkap Taufik, kaum muda akan tertarik dan mendatangi mereka untuk dilatih.
"Kemudian, mereka akan membentuk kelompok baru, merencanakan serangan baru, mengajari cara untuk membuat bom dan berperang," kata Taufik.
Dia menilai, hal serupa tidak akan mungkin bisa dilakukan, apabila ada orang tertentu di kelompok itu hanya tetap berada di Indonesia. Yang tersisa di Indonesia, ujar Taufik, hanya kelompok sempalan tanpa sumber daya atau dukungan apa pun.
"Sebab itu begitu banyak yang terinspirasi untuk mengetahui apa yang terjadi di Irak dan Suriah," kata dia.
Saat ini, diprediksi terdapat sekitar 60 warga Indonesia yang pergi ke Suriah dan Irak untuk berperang. Namun, menurut para ahli lainnya, angka sesungguhnya mendekati 100 orang dan berkembang dengan cepat.
Salah satunya, terekam dalam sebuah video yang diunggah ke akun media sosial Youtube. Menurut narator yang merekam dengan kamera, terlihat ada lima WNI yang mengenakan balaclava atau tutup wajah dan menenteng senapan Kalashnikov.
Dalam video tersebut, kelimanya mengajak umat Muslim Indonesia untuk turun berjihad ke Suriah.
Pengamat intelijen dari Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN), Wawan Purwanto, membenarkan adanya potensi ancaman dari alumni militan asal Indonesia yang kini berjuang bersama kelompok ISIL. Menurut pria yang juga menjabat sebagai direktur di organisasi itu, apabila alumni itu kembali ke Tanah Air, maka yang menjadi sasaran mereka yakni pemeluk Islam Syiah.
Proses pengiriman warga Indonesia ke Timur Tengah sudah berlangsung cukup lama. Bahkan, jumlahnya tidak hanya 60 orang seperti yang diklaim oleh Kementerian Luar Negeri RI. Angkanya, mencapai ratusan orang.
"Dari data yang saya pegang, sebanyak 55 orang meninggal. Sementara di Yaman, sedikitnya sudah ada lima orang yang meninggal," kata dia.
Sebanyak 11 WNI, bahkan tidak diketahui keberadaannya. Menurut Wawan, Mereka berangkat ke sana unuk berjihad dan berperang atas nama Islam. Apabila mereka meninggal di sana, kebanyakan mereka mengaku sudah siap.
Wawan menyebut sulit mencegah atau melarang WNI bepergian ke Timur Tengah. Mereka tidak akan secara langsung membeli tiket pesawat dengan tujuan ke Suriah.
Mereka bisa masuk melalui
Malaysia, lewat Qatar, Turki, atau Pakistan. Apabila berbicara mengenai
dokumen perjalanan, maka tidak bisa dilacak. Mereka malah cenderung
menutupi ke mana tujuan keberangkatannya.
Sumber ; Viva
Tidak ada komentar:
Posting Komentar