Sejarah Dinasti Yuan, kapal yang dikirim untuk mengangkut pasukan memiliki perbandingan 20.000 : 1.000. Ia diperintahkan untuk mengirim Shi Bi, Ike Mese dan Gao Xing memimpin sebuah angkatan perang untuk menaklukkan Jawa; mengumpulkan prajurit dari Propinsi-propinsi Fujian, Jiangxi dan Huguang hingga berjumlah 20.000, menunjuk Komandan Sayap Kanan dan Sayap Kiri serta empat Komandan Sepuluh Ribu; mengirimkan seribu kapal dan melengkapinya dengan perbekalan sebanyak satu tahun dan 40.000 batang perak.
Penulis: Irawan JK
Serbuan Mongol ke Jawa dicatat dalam tiga sumber. Pertama, kidung, yaitu Kidung Harsawijaya dan Kidung Ranggalawe, yang sering disebut sebagai versi Bali. Kedua, Sejarah Dinasti Yuan (1279-1368), yang meliputi Sejarah Dinasti Yuan, Buku 210; Catatan Shi Bi, Buku 162; Catatan Gao Xing, Buku 162; serta Catatan Ike Mese, Buku 131. Sejarah Dinasti Yuan ini sering disebut sebagai versi Cina. Dan ketiga, prasasti, yaitu Prasasti Gunung Butak, tahun 1294; Prasasti K?tarajasa, tahun 1296; serta Prasasti K?tarajasa, tahun 1305 . Sumber prasasti dapat disebut sebagai versi Jawa.
A. Sumber Kidung (Catatan Indonesia)
Ketiga versi tersebut memang berbeda, tapi sebenarnya memiliki persamaan. Menurut versi Bali, datangnya pasukan Mongol ke Jawa dimulai dari surat Wiraraja kepada Raja Tatar. Secara garis besarnya informasi versi Bali adalah sebagai berikut.
Garis Besar Informasi Kidung Harsawijaya
Wiraraja mengusulkan suatu rencana: ia akan meminta sahabatnya, Raja Tatar, untuk membantunya menyerang Kediri. Sebagai umpan, ditawarkan kepadanya anak Jayakatwang, Ratna Kesari. Harsawijaya setuju. Sambil menantikan kedatangan pasukan Madhura serta sekutu mereka dari Tatar, pernikahannya dengan Puspawati pun dirayakan. Raja Tatar tiba dan mendarat di Canggu. Ketika mendengar bahwa Raja Tatar mendarat di Canggu, Jayakatwang menganggap kewajibannya sebagai seorang ksatria adalah tidak menghindari pertempuran. Semua, termasuk Pusparasmi, memperlihatkan rasa marahnya karena sikap Harsawijaya yang tak kenal terima kasih dan mengkhianati pelindungnya. Pasukan dibagi dalam tiga kelompok. Mereka menuju Bobot Sari. Setelah ketiga kelompok tentara menempati posisinya masing-masing, tentara Kediri pun tampak.
Kelompok yang dipimpin Harsawijaya dapat mengalahkan pasukan Kediri dengan cepat. Mereka segera merampas harta istana dan membawanya ke Majapahit sebelum meninggalkan istana, mereka membakar istana sehingga menyebabkan kebakaran yang hebat. Pasukan Mongol kiranya tetap tertahan menghadapi pasukan Kediri. Mereka tidak dapat mengalahkan pasukan Kediri. Ketika mengetahui pasukan penjaga istana kalah dan istana telah ditaklukkan, Raja Jayakatwang bersama para mantri tua bertempur mencari mati. Raja Jayakatwang, yang duduk di atas seekor gajah, melakukan samadhi, dan tiba-tiba lenyap di angkasa. Kepergiannya disusul oleh para mantra, yang bertempur sampai mati.
Atas nasihat Wiraraja, Harsawijaya meminta para prajurit Tatar mengundurkan diri dulu ke perkemahannya, sementara ia mengurus perabuan para ksatria yang gugur. Harsawijaya memerintahkan beberapa pengawal untuk mengantar sang putri ke Majapahit, sedangkan ia sendiri menuju Bobot Sari.
Desas-desus mengenai putri (putri kata yg dipakai dlm kidung2 utk perlambang kekayaan negara) yang dibawa ke Majapahit itu didengar oleh Raja Tatar. Ia mengutus patihnya apa yang telah dijanjikan kepadanya. Wiraraja mengatakan bahwa sang putri telah merenggut nyawanya sendiri. Utusan Tatar kembali ke rajanya dengan berita tersebut, tapi kekecewaan Raja Tatar berubah menjadi kemarahan, ketika desas-desus tersebut ternyata benar. Ia bertekad merebut sang putri dengan kekerasan.
Dengan suara gaduh, pasukan-pasukan Tatar memasuki Majapahit sambil memekik agar sang putri diserahkan. Terjadilah pertempuran sengit, tapi para penyerbu dapat dikalahkan dan raja mereka pun ditewaskan. Di bawah pemerintahan Krtarajasa, kerajaan bertambah sejahtera. Lalu, Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Koci, Gurun, Wandan, Tanjungpura, Dompo, Palembang, dan Makasar mengakuinya sebagai atasan.
Garis Besar Informasi Kidung Ranggalawe
Gagasan untuk menyerang Daha dengan bantuan Raja Tatar baru muncul setelah Majapahit didirikan. Gagasan itu disampaikan oleh putra Wiraraja ketika ia bersama ibunya mengantar para putri yang ditinggal di Madura, supaya kelak berjumpa dengan Wijaya. Dalam pertempuran dengan pihak Daha, Raja Jayakatwang turut aktif dalam pertempuran. Sejumlah perwira Tatar dan Majapahit ditewaskan. Dalam pertempuran terakhir antara Raja Tatar dan Raja Jayakatwang, Raja Jayakatwang dikalahkan dan ditawan.
Setelah perang selesai, dua mantri Tatar diantar banyak prajurit bersenjata lengkap menuntut agar sang putri diserahkan kepada raja Tatar. Mereka diutus kembali oleh Sora dengan dalih, bahwa sang putri sejak dulu tidak tahan melihat senjata-senjata, apalagi sejak peristiwa di Singhasari.
Seyogianya ia diantar oleh suatu pasukan yang tak bersenjata, diiringi musik.
Raja Tatar setuju, dan mengutus rombongan lain, lalu kembali ke negerinya untuk mengadakan persiapan bagi pernikahannya. Para Tatar, setelah disambut dengan ramah di Majapahit, tiba-tiba disergap, ditawan, dan dibunuh. Kapal-kapal yang menunggu di lepas pantai dihancurkan. Secara singkat, disebut kematian Jayakatwang di penjara, tempat ia menulis Kidung Wukir Polaman, serta pulangnya pasukan-pasukan dari Melayu.
P.J. Zoetmulder menuliskan bahwa pengarang Kidung Ranggalawe tidak mengetahui siapa sebenarnya Ratna Sutawan. Kidung Ranggalawe, jika dilihat dari sudut sastra, terutama kaidah-kaidah Jawa Kuno, mengenai kalangön, lebih unggul dibanding Kidung Harsawijaya. Penilaian-penilaian tersebut menjelaskan bahwa Kidung Ranggalawe lebih literer dan kurang memiliki nilai kesejarahan ketimbang Kidung Harsawijaya.
B. Sumber Sejarah Dinasti (Catatan Tiongkok)
Penyebutan kedatangan Raja Mongol dalam Kidung Harsawijaya maupun Kidung Ranggalawe atas undangan Wiraraja merupakan kisah yang menarik. Kisah ini sangat berbeda dengan catatan Sejarah Dinasti Yuan. Kedatangan bala pasukan Mongol ke Jawa karena Raja K?tanagara melukai muka Utusan Kaisar Meng Qi, dan pemimpin pasukan bukan Raja Mongol sendiri, melainkan 3 panglima perangnya, yaitu Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing.
Catatan Sejarah Dinasti Yuan menceritakan secara panjang-lebar penyerangan tentara Mongol ke Jawa yang dipimpin oleh Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing atas perintah Kaisar Mongol, Kubilai Khan. Untuk tidak mengurangi makna laporan, laporan itu disajikan secara utuh.
Pada bulan kedua 1292, Kaisar mengeluarkan perintah kepada Gubernur Fukian. Ia diperintahkan untuk mengirim Shi Bi, Ike Mese, dan Gao Xing memimpin sebuah angkatan perang untuk menaklukkan Jawa; mengumpulkan prajurit dari provinsi-provinsi Fujian, Jiangxi, dan Huguang hingga berjumlah 20.000, menunjuk Komandan Sayap Kanan dan Sayap Kiri serta empat Komandan Sepuluh Ribu; mengirimkan seribu kapal dan melengkapinya dengan perbekalan sebanyak satu tahun dan 40.000 batang perak. (Kenapa bawa sedemikian banyak batangan emas? Yang dipakai utk: 1. menyuap musuh yg membelog; 2. membeli bahan2 makanan dan perbekalan di pelabuhan2 yg dikuasai)
Selanjutnya Kaisar memberikan sepuluh lencana harimau, 40 lencana emas, dan seratus lencana perak serta seratus gulung sutra dengan sulaman benang emas yang digunakan sebagai penghargaan prestasi.
Ketika Ike Mese dan rekan-rekannya menghadap kaisar sebelum berangkat, Kaisar berkata: “Setibanya di Jawa, kalian harus memproklamasikan dengan jelas kepada tentara dan penduduk negara itu bahwa Pemerintah Kekaisaran sebelumnya telah melakukan kontak dengan Jawa melalui para utusan dari kedua belah pihak. Hubungan ini telah berjalan dengan harmonis. Baru-baru ini mereka telah melukai wajah Utusan Kaisar Meng Qi dan kalian datang untuk menghukum mereka akibat perbuatan itu.”
Pada bulan kesembilan, sejumlah prajurit telah dikumpulkan di Qinyuan (nama kuno Ningbo). Shi Bi dan Ike Mese melakukan perjalanan saat bersama para prajurit itu menuju Quanzhou, sementara Gao Xing membawa perbekalan dengan kapal laut. Pada bulan ke-11, seluruh prajurit dari Provinsi Fujian, Jiangxi, dan Huguang telah berkumpul di Quanzhou. Pada bulan ke-12, ekspedisi ini memulai pelayarannya. Pada bulan pertama 1293, mereka tiba di Pulau Gou-lan (Belitung) dan merencanakan penyerangan mereka dengan saksama.
Pada bulan kedua, Ike Mese dan salah seorang komandan bawahannya berangkat terlebih dahulu untuk membawa perintah Kaisar ke negara ini. Ike Mese didampingi oleh tiga pejabat dari Kantor Urusan Penghiburan, yang ditugasi untuk mengurus Jawa serta negara-negara lainnya. Selain mereka, masih ada seorang Komandan Sepuluh Ribu yang memimpin 500 orang dan 10 kapal. Pasukan utama selanjutnya berlayar ke Karimon (Karimun Jawa) dan dari sana menuju sebuah tempat di Jawa yang disebut Du-Bing-zu (Tuban). Di sana, Shi Bi dan Gao Xing kembali bertemu Ike Mese. Bersama para komandan lainnya, mereka memutuskan untuk membagi dua pasukan ini.
Pasukan pertama akan turun ke daratan, sedangkan pasukan kedua akan mengikutinya dengan menggunakan kapal. Shi Bi berlayar menuju Muara Sungai Sugalu (Sedayu), dan dari sana menuju sebuah sungai kecil bernama Ba-jie (Kali Mas). Pasukan darat yang dipimpin Gao Xing dan Ike Mese, yang terdiri atas kavaleri dan infanteri, melakukan perjalanan darat menuju Du-Bing-zu. Salah seorang Komandan Sepuluh Ribu memimpin pasukan pembuka jalan. Tiga perwira tinggi berlayar menggunakan kapal cepat dari Sugalu menuju jembatan terapung Majapahit dan selanjutnya bergabung dengan pasukan utama dalam perjalanan mereka menuju Sungai Ba-jie.
Para pejabat dari Kantor Perdamaian segera melaporkan bahwa menantu Raja Jawa yang bernama Tuhan Pijaya bermaksud menyatakan bahwa negaranya tunduk kepada Tiongkok. Karena Tuhan Pijaya tidak dapat meninggalkan tentaranya, ketiga pejabat ini diperintahkan untuk pergi dan menjemput Perdana Menteri Xi-la-nan-da-zha-ya dan 14 orang lainnya yang ingin datang dan menerima pasukan kaisar.
Pada hari pertama bulan ketiga, seluruh pasukan telah berkumpul di Sungai Ba-jie.
Di bagian hulu sungai ini, terdapat istana Raja Du-ma-ban (Tumapel) dan bermuara di Laut Pu-ben (laut di sebelah selatan Madura). Sungai ini merupakan jalan masuk menuju Jawa, dan di sinilah mereka memutuskan untuk bertempur. Karena itu, menteri pertama Jawa, Xi-ning-guan, tetap berada di atas perahu untuk melihat peluang mereka dalam pertempuran yang akan datang. Berulang kali dia dipanggil, tapi tidak mau menyerah.
Para komandan pasukan kekaisaran membuat sebuah perkemahan berbentuk bulan sabit di tepi sungai. Sebuah feri disediakan di bawah komando seorang Komandan Sepuluh Ribu. Armada kapal di sungai serta kavaleri dan infanteri di daratan kemudian bergerak maju bersama. Melihat hal ini, Xi-ning-guan meninggalkan perahunya dan melarikan diri dalam kegelapan malam. Lebih dari seratus kapal besar dengan kepala setan di haluannya dapat direbut. Pasukan yang cukup kuat diperintahkan untuk menjaga muara Sungai Ba-jie, sedangkan pasukan utama melanjutkan gerak majunya.
Sejumlah pembawa pesan dari Tuhan Pijaya (lafal Cina utk Tuan Wijaya-Bra Wijaya) mengatakan bahwa pasukan Raja Kalang (Raja Kediri-Daha-Gelang-Gelang, Jaya Katwang atau Haji/Aji/Raja Katong) telah mengejarnya hingga Majapahit dan meminta prajurit untuk melindunginya. Ike Mese dan salah seorang letnannya bergegas menemuinya agar dia tetap bersemangat. Seorang perwira lainnya mengikutinya dengan memimpin sejumlah prajurit menuju Zhang-gu untuk membantu Tuhan Pijaya. Gao Xing bergerak menuju Majapahit. Karena mendengar kabar bahwa posisi prajurit Kalang tidak dapat ditentukan, dia segera kembali ke Sungai Ba-jie. Setelah mendapat informasi dari Ike Mese bahwa pasukan musuh akan tiba malam itu, sekali lagi dia berangkat menuju Majapahit.
Pada tanggal 7, para prajurit Kalang (Jayakatwang Kediri-Daha-Gelang-Gelang) tiba dari tiga penjuru untuk menyerang Tuhan Pijaya. Lalu, pada hari kedelapan dini hari, Ike Mese memimpin sebagian prajuritnya untuk menyerang musuh di barat daya, tapi tidak dapat menemukan mereka. Gao Xing bertempur dengan musuh di tenggara dan membunuh beberapa ratus prajurit musuh, sementara sisannya melarikan diri ke pegunungan. Menjelang tengah hari, musuh juga datang dari barat daya. Gao Xing kembali menyerang musuh dan pada sore hari mereka dapat dikalahkan.
Pada tanggal 15, pasukan dibagi menjadi tiga bagian untuk menyerang Kalang. Kemudian disepakati bahwa pada tanggal 19 mereka akan bertemu di Da-ha (Daha) dan memulai penyerangan setelah mendengar suara pao. Pasukan pertama berlayar menyusuri sungai, pasukan kedua yang dipimpin Ike Mese berjalan di tepi sungai sebelah timur, sedangkan pasukan ketiga yang dipimpin Gao Xing berjalan di tepi sungai sebelah barat. Tuhan Pijaya dan pasukannya berjalan di belakang.
Pada tanggal 19, mereka tiba di Daha. Di sana, Pangeran Kalang (Pangeran Kediri kemungkinan putra Jayakatwang) mempertahankan diri dengan dukungan lebih dari 100.000 prajurit. Pertempuran berlangsung sejak pukul 06.00 hingga 14.00. Setelah tiga kali serangan, akhirnya musuh dapat dikalahkan dan melarikan diri. Beberapa ribu di antaranya berusaha menyeberangi sungai dan tenggelam, sementara 5.000 prajurit musuh terbunuh. Raja melarikan diri ke dalam kota dan segera dikepung pasukan kami. Lalu raja diminta menyerah. Pada sore hari, sang raja yang bernama Haji Katang keluar dari benteng dan menyatakan takluk. Mendengar hal itu, perintah dari Kaisar segera diberikan kepadanya dan dia diminta kembali ke dalam.
Pada tanggal 2 bulan ke-4, Tuhan Pijaya kembali ke kotanya untuk mempersiapkan upeti. Dua perwira dan 200 prajurit mengawalnya. Pada tanggal 19, secara diam-diam Tuhan Pijaya meninggalkan prajurit kita dan menyerang mereka. Atas kejadian ini, seluruh rombongan merasa sedih.
Pada tanggal 24, pasukan kembali ke Tiongkok. Mereka membawa anak-anak dan sejumlah perwira Haji Katang. Jumlah mereka lebih dari 100 orang. Mereka juga membawa peta negara itu, catatan populasi, dan sebuah surat dengan huruf emas yang dituliskan oleh sang raja.
Secara garis besarnya, laporan itu mengisahkan sebagai berikut.
Laporan itu berbeda dengan catatan para komandan pasukan Mongol. Berikut ini persamaan dan perbedaan antara laporan Dinasti Yuan dan catatan para komandan pasukannya.
Melalui keterangan tersebut, ternyata terdapat perbedaan yang sangat besar antara Sejarah Dinasti Yuan dan Catatan Para Komandan Pasukan Mongol. W.P. Groeneveldt mengingatkan, versi Cina tentang penyerbuan Mongol memang banyak kesalahan dan ketidaktepatan informasi, tapi tidak pernah mencantumkan fiksi. Catatan Bali (Kidung), yang telah diturunkan dari generasi ke generasi, secara bertahap kehilangan akurasinya dan tercantum dengan hal-hal yang fantastis dan menakjubkan. Pendapat W.P. Groeneveldt tersebut kiranya kurang tepat dan hanya melihat dari satu sisi semata. Sebenarnya informasi versi Cina dan versi Bali bila diperbandingkan saling melengkapi.
Secara umum, perbedaan antara Sejarah Dinasti Yuan dan Catatan Para Komandan Pasukan Mongol terletak pada perbedaan jumlah pasukan yang dikirim, kondisi Haji Katong, serta barang rampasan perang yang dibawa. Perbedaan mengenai jumlah pasukan yang dikirim sebenarnya dapat dijembatani bila saling menyadari bahwa Shi Bi dan Gao Xing hanyalah perwira menengah, bukan komandan seluruh pasukan. Komandan pasukan yang memimpin 5.000 dan 1.000, dari 20.000 orang yang dikirim, menunjukkan kecilnya derajat kepemimpinan komando yang dimiliki. Jumlah prajurit yang sedikit, yaitu 5.000 dan 1.000, tentu tidak akan mampu menghadapi pasukan dengan kemampuan sama sebanyak 20 kalinya. Dengan demikian, ada komandan lain di atas Shi Bi dan Gao Xing, yang tidak diceritakan, yang dapat mengakomodasi seluruh pasukan.
Tidak diceritakannya komandan utama pasukan kemungkinan besar untuk tujuan kebaikan moral pasukan Mongol. Taktik menyembunyikan kematian komandan pasukan agar tidak menurunkan moral pasukan dilakukan pula pada saat kematian Jenghis Khan, Raja Mongol pertama. Taktik ini kiranya diulang pada masa penyerangan pasukan Mongol ke Jawa. Namun siapa sebenarnya komandan pasukan yang mampu mengakomodasi seluruh pasukan Mongol tersebut?
Informasi versi Bali dapat melengkapi kekurangan data tersebut. Komandan pasukan yang mampu mengakomodasi seluruh pasukan adalah raja Mongol sendiri yaitu, Kubilai Khan. Ini dapat dipahami karena Kubilai Khan sebagai raja besar pada masanya tidak bisa menerima penghinaan dari Raja K?tanagara. Dalam catatan versi Cina juga, Kubilai Khan selalu menegaskan bahwa penyerangan dilakukan karena penghinaan atas utusan khususnya, Meng Qi. Karena Kubilai Khan sendiri yang berangkat berperang, jumlah pasukan yang dikirim tentu lebih besar dari saat Mongol menyerang Jepang. Total pasukan lebih banyak dari hanya 20.000 pasukan. Total pasukan yang dikirim kiranya juga disembunyikan agar tidak memberi semangat baru kepada musuh. Total pasukan diperkirakan sebanyak 2 atau 3 kali pasukan Kediri. Berarti sekitar 200.000 sampai 300.000 pasukan. Hal ini karena, pada Prasasti K?tarajasa, Raja Mongol disebut sebagai raja yang memiliki tentara besar saat datang di Jawa.
Demikian pula informasi takluknya Haji Katong, Raja Jawa. Takluknya Haji Katong dikisahkan menyerah dengan posisi pasukan masih ada. Takluknya Haji Katong ini tentu ada penyebabnya. Di sini versi Cina tidak menyebut alasan takluknya Haji Katong tersebut. Menurut versi Bali, takluknya Haji Katong karena melihat istana telah dibakar oleh Wijaya, dan harta rampasan telah dibawa ke Majapahit. Alasan itulah yang membuat sirna semangat Haji Katong untuk berperang.
Mengenai harta rampasan perang dari Jawa versi Cina, hanya Shi Bi yang mencatat pasukan Mongol memperoleh harta rampasan perang dari Jawa dengan jumlah yang sangat besar. Sedangkan catatan versi Cina lainnya mengatakan sebaliknya.
Pernyataan selain Shi Bi ini dapat dimaklumi karena mereka melihat telah dikalahkan dan tidak mendapat harta rampasan yang diberikan oleh Tuhan Pijaya. Dalam catatan versi Bali, harta rampasan yang diperoleh pasukan Mongol memperkuat keterangan mayoritas informasi versi Cina. Harta rampasan Kerajaan Kediri yang dibawa ke Majapahit saat Raja Jayakatwang masih berperang dengan pasukan Mongol tidak diserahkan sedikit pun kepada pasukan Mongol. Harta yang tidak diserahkan kepada pasukan Mongol tersebut diperlambangkan dengan Ratna Kesari oleh pujangga Kidung Harsawijaya, atau Ratna Sutawan oleh pujangga Kidung Harsawijaya.
Tidak diberikannya harta rampasan itu, menurut versi Bali, menyebabkan kemarahan luar biasa bagi pemimpin pasukan, yaitu Raja Mongol. Kemarahan itu dapat dipahami karena biaya pengiriman pasukan sangat besar, tapi hasil sama sekali tidak ada. Raja Mongol diceritakan mengerahkan pasukannya untuk menyerang Majapahit. Dalam penyerangan itu, Raja Mongol tewas. Sementara itu, Catatan Shi Bi menceritakan, dari 5.000 pasukannya, 3.000 pasukan meninggal. Catatan Shi Bi ini menunjukkan begitu sengitnya perang yang dilakukan di Jawa. Bila dimisalkan pasukan yang meninggal di salah satu pasukan (Shi Bi) mencapai 60 persen total kematian dari seluruh pasukan adalah 180.000, termasuk Raja Kubilai Khan. Hal ini karena pasukan yang datang ke Jawa diperkirakan berjumlah 300.000 orang.
C. Sumber Prasasti
Kisah peperangan antara Mongol dan Jawa dicatat pula dalam uraian-uraian di luar kisah romantik sebagaimana kisah-kisah yang telah disebutkan. Prasasti-prasasti yang dikeluarkan Raja K?tarajasa Jayawardana yang ditulis dekat dengan peristiwa yang terjadi mengidentifikasikan adanya peperangan itu. Berbeda dengan kisah-kisah romantik sebelumnya, prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja K?tarajasa Jayawardana tidak mengidentifikasikan adanya pernyataan tunduk kepada Mongol sebagaimana versi Cina atau mengirimkan surat permohonan bantuan dengan imbalan Putri Daha sebagaimana versi Bali. Ia dengan tegas mengatakan bahwa ia menjadi raja tanpa dibantu oleh orang lain (anyaçaktiniraçraya, yang artinya “tanpa dibantu dengan tenaga orang lain”), melainkan dengan bantuan tenaga sendiri (swaçaktyaçraya).
Prasasti K?tarajasa 1296:
7a. bh?ta nirawaçe?a, tlas hilang pwa ng çatru denira, kangsar?j?ntakaw?lak????-nirbhinna, tanpa bheda ta sira l?wan sang k????nwalaputra, umilangak?n sang prabhu kangsa, ringka pwa r?japutraw?la jaya ring ra?a, siddhas? dhya pwa sira, r?j?bhi?ekanyasitar?j?bharanamanditaratna kanakasinghasanarupa, ring samangkana ta sira n pangad?g prabhu, anyaçaktiniraçraya, tanpa maraçraya ta sira ri çaktining anya, swaçaktyaçraya, ke wala maka sah?ya çaktinira, swayamprabh?deçasam?rtha, sira teki najar?k?n swayamprabhu dening sakala loka, ca muwah, durjanadu?kitasamastajanas?garamand?r?calamanth?nama-h?m?tamaya s?k??t.
Artinya:
Musuh disapu bersih, sampai tak bersisa lagi, hancur lebur menjadi abu—kangsar?j?ntakaw?lak????nirbhinna (seperti Kresna muda-taruna membunuh Raja Kangsa). Sungguh tak ada beda perbuatannya dengan perbuatan pemuda Kresna yang membunuh sang prabu Kangsa. Demikian pula putra raja yang muda teruna itu memetik kemenangan dalam perjuangan. Ketika ia mencapai maksudnya, ia dinaikkan nobat menjadi raja, memakai hiasan kerajaan, serta duduk di atas takhta singgasana bertatahkan emas dan permata. Pada waktu itulah ia mulai menjadi raja anyaçaktiniraçraya (tanpa dibantu dengan tenaga orang lain), swaçaktyaçraya (dengan bantuan tenaga sendiri), swayamprabh?deçasam?rtha (berdaya menobatkan dirinya menjadi raja). Seluruh rakyat mengatakan bahwa ia mengangkat dirinya menjadi raja.
Dan selanjutnya: durjanadu?kitasamastajanas?garamand?r?calamanth?namah?m?tamaya (terbagi atas air hidayat yang mulia, di dapat karena mengaduk air laut dengan gunung Mandara—untuk segala manusia yang berdukacita karena orang jahat).
Keterangan tersebut menolak kisah romantis yang menunjukkan bahwa Raja K?tarajasa Jayawardhana menggunakan siasat bersama pasukan Mongol untuk menyerang Kediri. Siasat itu melalui langkah Raja K?tarajasa menyatakan takluk kepada Mongol dan kemudian setelah mengalahkan Kediri, ia memberontak dan mengalahkan Mongol. Pernyataan Prasasti K?tarajasa 1296 lebih memperlihatkan bahwa Raja K?tarajasa menggunakan momentum peperangan antara Mongol dan Kediri untuk melaksanakan misinya.
Ketika pasukan Mongol dan Kediri bertemu di medan laga, dan saling mengalahkan, pasukan Majapahit—yang telah unggul karena ditopang pasukan elite Singhasari, yang digunakan dalam Ekspedisi Pamalayu—menyerbu Kediri. Pihak Kediri, yang telah mengantisipasi segala kemungkinan, gagal menahan pasukan elite Majapahit.
Dalam kisah versi Bali, diceritakan bahwa pihak Majapahit telah berhasil masuk dan membawa harta rampasan, serta kemudian membakar istana. Karena itu, ketika Mongol tampil sebagai pemenang, ia hanya mendapatkan istana yang telah menjadi arang dan abu. Hal ini membuat Kubilai Khan murka. Usahanya menyerang Majapahit berakhir dengan kematiannya.
Kematian Kubilai Khan, Raja Mongol, dalam peperangannya di Jawa, dilukiskan sebagai kematian Raja Kangsa dibunuh oleh Kresna yang masih muda. Raja Kangsa merupakan raja yang menginginkan kematian Kresna semenjak ia masih bayi. Karena itu, untuk menghindari pasukan pembunuh Raja Kangsa, bayi Kresna dikisahkan disembunyikan di sebuah desa terpencil di Gobajra “tempat peternakan” di Magadha dan menitipkan mereka kepada perawatan dan perhatian Antagupta, kepala para gembala itu serta istrinya, Ayasw?dh?. Ketika Kresna dewasa, ia kemudian melawan Raja Kangsa. Raja Kangsa pada saat Kresna melawannya tentu telah menua. Dengan disamakannya Kubilai Khan sebagai Raja Kangsa, berarti, pada masa penyerangan ke Jawa, Kubilai Khan dicatat memang telah tua. John Man mencatat bahwa Kubilai Khan memang merupakan raja yang telah tua saat memerintahkan menaklukkan Jawa. Kesamaan itu memperlihatkan bahwa data prasasti mengetahui dengan baik keadaan diri Kubilai Khan.
Pelukisan lain diulas dengan versi lain. Ditaklukkannya Raja Mongol dilukiskan sebagai berikut. Irik? diwaçany?jñ?, çr? mah?r?ja, çr?yawa bhuwanaparamecwara, anindi-t?nubh?waparakramakalpadrumapazij?tan? masam?n?dhi-karana, k?atrawangçakula-wyapaga-tagha?agaga-?at?r?-ga?asangk?r?ap&# 363;r?acac?ngkanirbhi nna, sanggr?maç?ra-taraç?ra, jagat-k?lak?t?rir?jadhwang sak?ra, s?çan?ntakanarawara-çiraccheda.
Artinya, “Pada waktu itulah Sri Baginda Maharaja menurunkan titah; yang memerintahi buana Jawa; yang kekuasaannya berpadanan dengan namanya yang merdu; yang menjadi pohon keinginan (berbuahkan) keberanian dan kekuasaan yang tak ada cacatnya; yang di antara keluarga dan bangsa satrianya dapat dibandingkan dengan bulan purnama dikelilingi oleh bintang-bintang di langit tak berawan; yang menjadi pahlawan di tengah-tengah perjuangan, dengan mengatasi keberanian pahlawan-pahlawan lainnya, yang memusnahkan segala raja-raja musuh dunia, seperti racun mahadewa Siwa; yang mengeping kepala orang-orang terkemuka yang tidak mengacuhkan perintahnya.”
Pernyataan memusnahkan raja-raja musuh dunia jelas mengacu pada menaklukkan Raja Mongol. Raja Mongol dicatat merupakan musuh raja-raja di dunia karena teror penaklukan yang dilakukannya.
Penaklukan atas Raja Mongol dicatat pula sebagai menaklukkan atas raja bertentara besar. Irika diwasany?jn? çr? mah?wiratameçwar?nandhita parakramottunggadewa, mahabal?-sapatn?dhipawin?çakara?a.
Artinya, “Maka pada hari itu turunlah titah Sri Baginda, yaitu satu-satunya raja yang dapat dipujikan sangat bersifat kepahlawanan; raja yang sangat mulia dan berani; yang memusnahkan musuh raja-raja bertentara besar …”
Raja yang memiliki tentara yang sangat besar pada masa itu di dunia adalah Raja Mongol. Pertama, karena wilayah kerajaannya pada saat itu hampir menguasai setengah daratan Asia sehingga ia dapat dengan cepat memobilisasi pasukan; dan kedua, karena Kubilai Khan sendiri yang berangkat berperang ke Jawa. Pengawalan terhadap dirinya tentu sangat besar dan ketat, sehingga membutuhkan pasukan dalam jumlah yang besar.
Keterangan-keterangan dari prasasti tersebut menunjukkan adanya kesamaan pemimpin pasukan Mongol versi Bali dan versi Jawa. Kesamaan itu, sekalipun dalam bentuk kajian analisis, memiliki kesamaan dengan informasi berita Dinasti Yuan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian, mengapa Raja Mongol harus turun tangan sendiri dan tidak mengirim pasukannya yang terkuat? Kedatangan Raja Mongol kiranya untuk memberikan dorongan moral dan memastikan pasukannya bertindak sesuai rencana. Kekalahan dalam penyerbuan ke Jepang pada 1274 dan 1281 memberi pelajaran bagi Kubilai Khan untuk memimpin langsung pasukannya agar memperoleh kemenangan. Ia ingin tak ada lagi kesalahan sekecil apa pun. Mampunya kapal-kapal kecil Mongol sampai ke Jawa dibanding pada saat ke Jepang menunjukkan bahwa Mongol telah mempersiapkan diri jauh lebih baik daripada saat mereka menyerang Jepang. Hal ini karena jarak pelabuhan Cina-Jawa lebih jauh dibanding pelabuhan Cina-Jepang. Kapal-kapal Mongol dicatat tidak mendapat serangan badai seperti di Jepang.
Persiapan peperangan kiranya tidak hanya mengenai masalah perkapalan, tapi juga persenjataan yang tentu lebih baik dan banyak daripada serangan di Jepang. Traction trebuchet, bom, dan senjata kimia tentu dalam kapasitas besar, karena total pasukan yang dikerahkan ke Jawa juga besar terlebih seluruh pasukan dipimpin langsung oleh Raja Mongol.
Traction trebuchet atau trebuchet tarik biasanya terdiri atas tiang setinggi 4 meter dengan jarak antara satu kaki dan kaki lain selebar 11-12 meter. Tiang itu berada dalam roda bersumbu, di mana tiang yang satu lebih tinggi dari yang lain. Di ujung yang panjang terdapat ambin, sementara di ujung yang pendek terdapat tali-tali, biasanya melekat pada palang berbentuk T. Ambin ini sangat penting, yakni memperpanjang dan melipatgandakan kekuatan trebuchet tanpa menambah beratnya. Satu ujungnya dipakukan ke kepala tiang, sedangkan ujung lainnya dikaitkan ke sebuah cantelan. Ketika dilepas, ia akan mengayun seperti pecut, mengayun ke depan seperti mata kail di ujung tali pancing. Daya lenting alat ini mengayunkan ambin dalam garis setengah lingkaran. Ketika dia mencapai titik tertinggi, saat itulah ujungnya yang tak tertambat akan lepas, melontarkan peluru yang diletakkan di sana. Setiap trebuchet memiliki kru sebanyak 5-15 orang, bergantung pada ukurannya. Batu-batu seberat tak lebih dari 2 kilogram atau bahan-bahan mudah terbakar diletakkan pada ambin, lalu kru menariknya ke ujung yang lain, dan ambin akan melayang lepas dari cantelannya, kemudian melontarkan batu-batu itu. Seluruh operasi ini memakan waktu tak lebih dari 15 detik.
Bom disebut juga bom petir. Berikut ini adalah deskripsi mengenai bom petir. Salah satu senjata yang dipakai pihak lawan untuk mempertahankan kota mereka adalah bom petir, yang mampu “menggetarkan langit”. Bom itu terbuat dari bubuk mesiu yang dimasukkan ke semacam wadah besi. Lalu, ketika sumbunya disulut dan proyektilnya berhamburan keluar, terjdilah ledakan seperti petir, terdengar dari jarak lebih dari 100 li (kira-kira 50 km), dan luas tetumbuhan yang hangus akibat ledakan itu kira-kira setengah mou (400 m²).
Senjata kimia merupakan senjata yang menimbulkan efek merusak, bahkan menyebabkan kematian. Senjata kimia terdiri atas bahan-bahan kimia yang kemudian bubuk mesiu yang diberi sumbu. Semuanya dibungkus dengan kain tipis, diikat dengan kawat dan dilapisi damar, seperti lilin, dan sumbunya dibiarkan terjulur sedikit. Dengan berat sekitar 10-15 kg, senjata kimia ini diletakkan di ambin trebuchet, disulut, dan akhirnya ditembakkan. Ini adalah senjata khusus dan membutuhkan trebuchet agak besar dengan sekitar selusin kru yang harus melontarkan bom mematikan ini setidaknya sejauh 100 m. Sebab, jika tidak, mereka akan terkena pengaruh racun senjata sendiri. Bahan-bahan kimia dari senjata kimia tersebut terdiri atas:
1. Tujuh kilogram tepung kotoran manusia. Bahan ini berasal dari 70 kg kotoran manusia biasa, yang dikeringkan dan dihaluskan hingga menjadi tepung. Ini bahan utama yang akan menjadi asap beracun, yang merusak paru-paru dan menginfeksi luka pada kulit.
2. 400 gram akar aconite, tumbuhan dengan bunga mirip kerudung yang akarnya menghasilkan racun paling mematikan. Jika menyerap ke dalam kulit, dia akan membuat lumpuh. Dan bila terhirup atau tertelan, dia akan menyebabkan pusing, sesak napas, sawan, dan serangan jantung.
3. 200 gram minyak croton. Pohon croton tumbuh di India dan Indonesia. Minyak dari bijinya dapat melepuhkan kulit, dan jika tertelan akan meradangkan lambung dan langsung menyebabkan diare.
4. 400 gram arsenik putih (As2O3) dan senyawanya, sulfid arsenik. Kedua bahan ini, ketika meledak, menghasilkan semacam semprotan anti-hama, dan jika terhirup dalam dosis tertentu akan menyebabkan diare berkepanjangan, sakit lambung, gangguan aliran darah dan ginjal, serta kematian.
5. 100 gr kumbang dari jenis Mylabris, baik Mylabris phalerata ataupun Mylabris cichorii. Dalam jumlah kecil, senyawa yang dihasilkannya, asam cantaridic, dapat merangsang organ tertentu. Dalam dosis tinggi, jika dia kontak dengan kulit, senyawa ini bisa menyebabkan kulit melepuh. Kumbang ini digiling hingga menjadi “bubur”, lalu keringkan, tumbuk menjadi tepung.
Tidak berlebihan bila kemudian setelah kemenangan atas Kubilai Khan, Raja Mongol, Kidung Harsawijaya mencatat Mongol menjadi wilayah Majapahit. Pernyataan ini didasarkan pada sifat peperangan sesuai dengan pada masa lalu, yakni setelah seorang raja dapat dikalahkan, otomatis kerajaannya menjadi milik pemenang. Namun, tidak dapat dikatakan bila kemenangan tersebut langsung membuat wilayah Mongol yang luas menjadi wilayah Majapahit. Hanya, pengaruh kemenangan tersebut menjadikan Majapahit tetap mampu mengontrol zona komersial warisan Raja Airlangga sebelumnya.
Tidak otomatisnya wilayah Mongol menjadi wilayah Majapahit, dicatat dari banyaknya perlawanan Mongol atas meningkatnya dominasi Majapahit di segala lini. Kilau sejarah Mongol langsung redup semenjak kekalahan itu. Mongol dipaksa terus mempertahankan diri dari serbuan dominasi Majapahit sehingga tidak ada kekuatan untuk mengembangkan wilayahnya. Catatan informasi versi prasasti dan catatan perjalanan Odorico di Perdonone berbeda dengan catatan informasi versi Cina dan versi Bali. Dua versi terakhir hanya mengisahkan kisah penyerangan Mongol ke Jawa hanya sekali. Versi pertama mengisahkan kisah tersebut dalam beberapa kali. Prasasti Gunung Butak pada 1294 dan catatan perjalanan Odorico di Perdenone pada 1321 mencatat peperangan lain antara Mongol dengan Majapahit terjadi selain di Jawa, yakni peperangan itu selalu dimenangi oleh Majapahit.
Odorico di Pordenone pada 1321 menceritakan bahwa Raja Jawa mempunyai tujuh orang raja takluk. Istananya penuh dengan emas, perak, dan permata. Khan yang agung dari Catay (Dinasti Yuan) sering bermusuhan dengan Raja Jawa, tapi selalu dapat dikalahkan oleh Raja Jawa. Pulau Jawa amat padat penduduknya, dan menghasilkan rempah-rempah. Kesamaan tersebut menunjukkan bahwa penyerangan pasukan Mongol hanya sekali, kemungkinan besar terjadi karena adanya kesalahan faktor penyalinan yang dilakukan dari generasi ke generasi, baik dari versi Bali maupun versi Cina.
D. Jalan Singkat Peperangan
Besarnya jumlah pasukan Mongol yang datang ke Jawa dengan peralatan terbaik pada masanya, dengan dipimpin langsung jenderal-jenderal berpengalaman, serta memiliki disiplin yang kuat, dan reputasi menakutkan yang membuat Baghdad hancur dan Eropa dicekam ketakutan panjang, ternyata tidak membuat pasukan Jawa gemetar atau menyerah tanpa syarat. Sebuah langkah telah ditempuh Belanda, bahkan Jepang, untuk menghindari pembantaian besar-besaran (Namun Mongol tidak khan? Mereka suka membantai yang kalah bahkan yg sudah menyerah).
Besarnya kemampuan pasukan Mongol membuat Kubilai Khan begitu percaya diri. Kepercayaan diri itu mulai terganggu ketika pasukan Kediri mampu menahan serangan pasukan Mongol. Kemampuan Kediri menahan gempuran pasukan Mongol menunjukkan pasukan Kediri pun memiliki ketangguhan yang sama dengan pasukan Mongol, baik mengenai disiplin maupun persenjataan. Kemenangan pasukan Mongol harus menunggu hingga Kediri dijatuhkan pasukan Majapahit yang dipimpin Wijaya.
Pasukan Mongol ketika mampu mengalahkan pasukan Kediri, mereka tidak menemukan piala yang dicari. Istana telah kosong dan harta kekayaan telah tidak ada. Ia kemudian memerintahkan pasukannya untuk mengetahui situasi yang ada. Setelah mempelajari dengan teliti, diketahui bahwa segala harta kekayaan istana telah diambil alih Majapahit. Begitu menerima laporan dari anak buahnya, bahwa harta kekayaan Istana Kediri telah diambil alih Majapahit, Raja Kubilai Khan marah luar biasa. Ia memerintahkan pasukannya menghancurkan Majapahit.
Perang terbuka antara Mongol dan Majapahit kemudian dimulai. Pasukan Mongol menyerang Majapahit dengan bom petir dan senjata kimianya. Penyerangan itu menimbulkan kegaduhan yang luar biasa. Namun, serangan dengan persenjataan berat itu tidak mampu menembus pertahanan Majapahit. Pasukan Majapahit mampu membalasnya sehingga tidak mampu menimbulkan kerugian yang besar. Pasukan Majapahit yang dipimpin Wijaya kemudian bergerak keluar benteng setelah perang persenjataan berat selesai. Perang infanteri darat pun kemudian dimulai. Dalam peperangan itu, sebuah kesatuan pasukan yang dipimpin Wijaya dapat menembus kesatuan pasukan penjaga raja Kubilai Khan. Perang antara Raja Kubilai Khan dan Wijaya, seperti peperangan antara Kangsa dan Kresna, dimulai. Para pasukan pelindung Raja Mongol tidak mampu menahan peperangan tersebut karena ia disibukkan oleh gempuran pasukan Majapahit. Ketika perang antara Raja Kubilai Khan dan Wijaya akhirnya terjadi, Raja Kubilai Khan pun tewas di tempat.
Kematian Raja Kubilai Khan menimbulkan kepanikan luar biasa bagi pasukan Mongol. Mereka segera mundur dan melarikan diri. Pasukan Majapahit tidak memberi ampun kepada penyerang. Mereka mengejarnya dan membunuhnya. Pasukan yang tersisa segera meninggalkan Majapahit dan meninggalkan Jawa dalam jumlah kecil.
Kematian Raja Kubilai Khan barangkali seperti kematian Raja Khmer, yang diserang Jawa. Kepalanya dipenggal dan dibersihkan, kemudian dibalsem. Rambutnya dipotong dan dijadikan hiasan di singgasananya. Prasasti K?tarajasa, tahun 1305, mencatat bahwa singgasana Raja K?tarajasa dihiasi rambut Raja Mongol.
“Yang melindungi batang tubuh dengan tenaga tangannya sendiri; yang satu-satunya memegang kekuasaan di seluruh pulau Jawa; yang singgasananya dihiasi dengan rambut kepala raja Dwipantara.”
Kematian raja Kubilai Khan terjadi pada 1293. Pada 1294, kepala Raja Kubilai Khan kemudian dikirim kembali ke negerinya. Pengiriman tersebut barangkali disertai juga dengan surat sebagaimana yang dilakukan Raja Jawa sebelumnya kepada raja Khmer. Mayat Raja Kubilai Khan kemudian sampai di Istana Dinasti Yuan pada 18 Februari 1294. Berbeda dengan pemakaman-pemakaman para raja sebelumnya, yang mewah, pemakaman Raja Kubilai Khan yang dikirim dari Jawa ini terlalu sederhana. Perjalanan ke pemakaman berlangsung selama tiga minggu sejauh 1.000 km dan berakhir di lereng Burkhan Khaldun, dataran tinggi di Pegunungan Khenti.
Irawan menilai kekalahan Mongol lebih disebabkan oleh buruknya armada laut Mongol. Gagalnya membaca musim laut, dalam upayanya menyerang Jepang, sekalipun para pelaut Mongol dibantu oleh para bajak laut Cina berpengalaman, memperlihatkan minimnya pengetahuan navigasi pasukan Mongol. Karena itu, sekalipun mereka kemudian dapat mencapai Jawa, kehadirannya segera dapat terdeteksi.
Menurut informasi Sejarah Dinasti Yuan, kapal yang dikirim untuk mengangkut pasukan memiliki perbandingan 20.000:1.000.
Ia diperintahkan untuk mengirim Shi Bi, Ike Mese dan Gao Xing memimpin sebuah angkatan perang untuk menaklukkan Jawa; mengumpulkan prajurit dari Propinsi-propinsi Fujian, Jiangxi dan Huguang hingga berjumlah 20.000, menunjuk Komandan Sayap Kanan dan Sayap Kiri serta empat Komandan Sepuluh Ribu; mengirimkan seribu kapal dan melengkapinya dengan perbekalan sebanyak satu tahun dan 40.000 batang perak.
Dengan demikian, maksimal setiap kapal memiliki daya angkut sebanyak 30 orang. John Man bahkan menilai kapal yang digunakan oleh pasukan Mongol pada masa itu memiliki kapasitas hanya sebesar 31 penumpang. Karena pasukan yang datang dipimpin langsung oleh Kubilai Khan menurut prasasti maupun kidung, tentu pasukan yang dikirim melebihi pasukan yang dikirim ke Jepang yaitu 140.000 tentara. Jumlahnya dapat 2 kali lebih atau sekitar 300.000 pasukan. Dengan perbandingan 1:30, kapal yang diperlukan adalah 10.000 kapal. Kapal-kapal tersebut kiranya salah satunya merupakan kapal sungai yang biasa digunakan untuk melintasi Sungai Yangtze. Untuk melintasi samudra, kapal-kapal tersebut tergolong sangat kecil. Dalam perjalanannya ke Jawa, Shi Bi melukiskan sebagai berikut.
“Angin bertiup sangat kencang dan lautan begitu bergelombang sehingga kapal terombang-ambing. Para prajurit tidak bisa makan selama berhari-hari.”
Catatan Shi Bi tersebut menunjukkan bahwa kapal yang digunakan pasukan Mongol adalah kapal berukuran kecil. (BUKAN KAPAL JUNG BRO) Kapal itu tidak stabil dalam menghadapi gelombang yang besar. Kapal yang lebih tepat disebut sebagai kapal sungai. Dengan menggunakan kapal sungai untuk melintasi samudra, tentu saja kapal itu tidak memiliki laju yang cepat sehingga kedatangannya mudah diketahui. Terdeteksinya kehadiran mereka menyebabkan mereka gagal menerapkan elemen kejutan yang merupakan teknik yang selama ini diterapkan di Asia daratan. Kegagalan pelaksanaan teknik itu berakhir dengan kehancuran parah bagi pasukannya, sekalipun pasukan yang dikirim sangat besar.
Dari Catatan Sejarah Dinasti Yuan dan Catatan Shi Bi di atas, dapat dikatakan bila tehnologi kapal Mongol ataupun kapal Cina masih sangat sederhana. Hal ini kapal Mongol lebih banyak mendasarkan pada tehnologi kapal-kapal Cina yang ada pada masa itu, mengingat Mongol tidak memiliki tehnologi kapal. Dapat dikatakan pula bila tehnologi kapal Cina hingga abad ke-13, sangat tertinggal dibanding tehnologi kapal dari Jawa atau Nusantara. Sebagai perbandingan kapal Kun Lun Po (Jawa) abad ke-3 atau 10 abad sebelumnya, telah mampu memuat 600 orang. Jauh dari tehnologi yang dicapai Cina, 10 abad kemudian. Kapal-kapal Cina sebagaimana yang digunakan Cheng Ho yaitu menggunakan kapal besar, tentulah hanya mencontoh kapal Majapahit.
Usaha perlawanan Mongol terhadap Jawa berakhir pada masa Jayanegara. Jayanegara, Raja Majapahit kedua, setelah menundukkan Raja Pandia di India Selatan, mengirim utusan khususnya ke Mongol sebagai bukti tunduknya Mongol kepada Jawa. Pada 1325-1328, diceritakan utusan dari Jawa pergi ke Catay. Sejak saat itu, praktis Mongol hanya merupakan negara vasal Majapahit. N?garak?t?gama, tahun 1365, mencatatkan bahwa duta Cina yang merupakan bagian dari wilayah Mongol datang ke Majapahit. Prapañca dan tradisi kidung lain menyebut Mongol dengan Tatar. Datangnya duta Cina itu dicatat bersama duta dari India dan Indocina. Mereka melakukan stuti kepada Raja Majapahit. Datangnya duta Cina (BANGSA HAN-GERAKAN CINA MERDEKA DARI MONGOL) menunjukkan bahwa mereka lebih mengakui Majapahit daripada Mongol. Dengan adanya pengakuan itu, berarti Mongol sudah bukan lagi merupakan negara yang dihormati di kawasan Asia. Penghormatan telah beralih ke Majapahit. Demikian takzimnya duta Cina kepada Majapahit, menyebabkan Majapahit kemudian menjalankan politik baru. Irawan mencatat Majapahit kiranya memiliki kepentingan tersendiri atas keruntuhan Dinasti Yuan. Majapahit mungkin mengharap pemerintah baru, meminjam istilah Prapañca, lebih tunduk dan hormat kepada Mah?r?ja Majapahit.
Keruntuhan Dinasti Yuan yang begitu besar, tapi dapat dikalahkan oleh seorang anak petani Tsju Yuan-tsang, memberi sedikit gambaran bahwa pernyataan Prapañca tidak hanya sebatas memiliki kepentingan dalam keruntuhan Dinasti Yuan. Ada peran aktif Jawa dalam melaksanakan kepentingannya. Sangat sulit meruntuhkan sebuah dinasti yang berpengalaman seperti Dinasti Yuan DIJATUHKAN oleh seorang pejabat yang tidak memiliki peran penting tanpa bantuan dari pihak lain yang kuat serta berkepentingan untuk itu. Menjadi sedikit berlebihan bila peran aktif itu digambarkan dengan pengiriman tentara Jawa yang berbaris di Istana Terlarang untuk turut serta memaksa para “Khan” Dinasti Yuan meninggalkan istananya. Sekalipun hal tersebut tetap dimungkinkan, karena pengiriman pasukan laut Jawa dalam mendudukkan ahli waris takhta dengan menghancurkan lawan politiknya merupakan hal biasa. Hikayat Banjar disebut menceritakan bagaimana Jawa mendudukkan Pangeran Samudra dengan mengalahkan pamannya di Banjar. Peran aktif tersebut setidaknya ditunjukkan dengan politik Majapahit saat itu, yakni satu Cina, yang bukan Cina Dinasti Yuan (MAJAPAHIT BERPERAN DALAM MEMBANTU NAIKNYA PRIBUMI CINA MENDUDUKI TAHTA, YAKNI DINASTI MING). Duta Cina barangkali merupakan Duta Cina di pengasingan.
Pada Berita Dinasti Ming selepas Dinasti Yuan, secara berkala duta para pendeta bersama pendeta Ma Huan dengan dikawal Laksamana Cheng Ho datang ke Jawa. Ini melanjutkan pengiriman Duta yang diterima Majapahit pada 1365 saat diterima Prapañca. Prapañca mencatat, pemimpin-pemimpin duta yang dikirim memberi hormat kepada Mah?r?ja Majapahit. Selepas Dinasti Yuan tersingkir kiranya harapan Majapahit atas pemerintah baru Cina terwujud.
Tewasnya Kubilai Khan di Jawa merupakan sebuah mimpi buruk untuk sebuah teror panjang yang dilancarkan para penguasa Mongol. Pembunuhan tanpa belas kasihan yang menjadikan dunia manusia sebagaimana kerajaan hewan telah lewat. Kerajaan Mongol yang didirikan atas pembantaian dan penaklukan setelah kekalahan Kubilai Khan, tinggal menunggu hukuman. Tidak ada lagi teror sebagaimana yang dijalankan sebelumnya. Dunia dapat menatap masa depannya dengan lebih baik. Eropa dilepaskan dari pembantaian dan ketakutan panjang, dunia Islam diberi kemudahan untuk segera menyingkirkan para penguasa angkuh Mongol, dan Cina diberi hadiah dengan dimunculkannya penguasa anak negeri (Dinasti Ming adalah pribumi bukan penjajah seperti Mongol). Semua itu diberikan oleh anak muda yang seperti Kresna, yakni Wijaya dari Jawa.
HIDUP WIJAYA, HIDUP WIJAYA..HIDUP WIJAYA …
Referensi:
Berg, C.C, Kidung Harsawijaya. BKI 88: 1-238.
Lihat Berg, C.C, Rangga Lawe, Middeljavaansche Historische Roman. BJ 1. Weltevreden, 1930.
Lihat W.P. Groeneveldt, 2010: 30-48
Lihat M. Yamin, I, 1960: 205-264.
P.J. Zoetmulder, 1980: 520.
P.J. Zoetmulder, 1980: 523-524.
W.P. Groeneveldt, 2009: 30-31.
W.P. Groeneveldt, 2009: 44.
John Man mengisahkan bila peristiwa kematian Jengis Khan dirahasiakan demi strategi melawan musuh. Demikian pula kematian Mongke Khan. Ia mengisahkan sebagai berikut: “Dari pengalamannya selama ini, dia tahu yang harus dilakukan. Manakala kakeknya meninggal, dia baru berusia dua belas tahun; usia yang lebih dari cukup untuk terlibat dalam strategi merahasiakan kematian kakeknya dari pihak musuh kala itu, orang Tangut, karena berita kematian akan memberi semangat baru pada musuh. Dia membicarakan masalah ini dengan orang kepercayaannya, Batur. …. Dia mengerti, dan mereka berdua pun mengambil keputusan. Mereka akan berpura-pura kematian (Mongke Khan) itu adalah berita bohong yang sengaja dirancang dan disebarkan untuk menebarkan ketakutan dan kesedihan. Lihat, John Man, 2010: 102-103.
M. Yamin, 1960: 235 dan 241.
Ulasan mengenai perlambang dan makna perlambang, lihat Irawan, 2010: 156-199.
M.Yamin I, 1960: 238.
M.Yamin I, 1960: 246-247..
P.J. Zoetmulder, 1983: 492.
John Man mencatat, pada 1236, Kubilai Khan telah berusia 21 tahun. Lihat John Man, 2010: 24-25. Pada 1293, Kubilai Khan tentu telah berusia 78 tahun. Usia yang sangat tua untuk pergi berperang. Namun, karena masa kelahiran Kubilai Khan tidak diketahui secara pasti, ada kemungkinan usia 78 terlalu berlebihan. Yang pasti, Kubilai Khan memang telah tua, tapi tidak setua itu dan masih mampu memimpin pasukan.
Lihat M. Yamin, 1960: 235 dan 241.
John Man, 2010: 165.
John Man, 2010: 167.
John Man, 2010: 170.
John Man, 2010: 169-170.
Kidung Harsawijaya VI.117 b.
Sakweh ing satru wus ?nti dinon denira ?r? bh?pati kat?kêng n??ântara akweh log lyan tungkul subhaktya karuhun tang Bali Tatar Tumasik Sampi Koci lan Gurun, Wandan Tañjung-Pura tan op?n tang ?ompo Palembang Makasar prapta sama mawwat sesi ni pura.
“Seluruh musuh telah habis sama sekali diserang oleh Sri Raja hingga di N??ântara, sangat luas, dan juga takluk, berbakti, terutama Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Koci, dan Gurun, Wandan, Tañjung-Pura, apalagi ?ompo, Palembang, Makasar, datang bersama-sama dengan persembahan segala isi negeri.”
Penulis Bali melukiskan peperangan antara Mongol dengan Majapahit dengan peperangan infanteri semata, tanpa peralatan beratnya. Sebelum terjadi peperangan antara pasukan dengan pasukan, penulis Bali melukiskan pasukan Mongol memekik dan menimbulkan kegaduhan yang luar biasa di istana Majapahit. Lukisan peperangan versi Bali tersebut kiranya dalam bentuk kiasan. Kegaduhan yang luar biasa menurut versi Bali karena pasukan Mongol menembakkan bom petir dan senjata kimianya ke istana Majapahit. Dengan demikian pemakaian Bom Petir oleh Pasukan Mongol yang dikemukakan John Man kiranya benar.
Lihat, M. Yamin, I, 1960: 260. M. Yamin menterjemahkan dwipantara dengan nusantara. Teks aslinya tertulis dwipantara. Makna Dwipantara dengan Nusantara berbeda, lihat Irawan, 2010: 222-249. Makna Dwipantara dalam teks tersebut mengacu pada kerajaan Mongol.
John Man menceritakan Kubilai Khan meninggal tanggal 18 Februari 1294, karena masalah kesehatan yang memburuk. Usia Kubilai Khan pada saat itu adalah 80 tahun. Lihat, John Man, 2010: 362. Kisah kematian karena sakit kiranya tidak sesuai dengan kisah yang sebenarnya.
Sederhananya pemakaman raja Kubilai Khan dilukiskan oleh John Man karena raja Kubilai Khan telah menghabiskan kekayaan negara untuk berbagai operasi militer. Lihat, John Man, 2010: 362. Sederhananya pemakaman Raja Kubilai Khan kiranya tidak berkaitan dengan banyaknya operasi militer yang ia lakukan, tapi lebih banyak berhubungan dengan informasi tewasnya Raja Kubilai Khan di Jawa. Hal ini karena raja-raja Mongol selalu hidup dari operasi militer. Menang atau kalah, penghormatan terhadap jenazah mereka tetap diutamakan tanpa melihat kondisi kas negara. Karena mayat Raja Kubilai Khan diterima setelah dikirim dari Jawa tidak dalam keadaan utuh, penghormatan menjadi sederhana.
John Man, 2010: 362.
W.P. Goeneveldt, 2009: 31.
John Man, 2010: 270.
John Man mencatat tentara Mongol dalam menyerang Jepang terdiri dari 140.000 pasukan. Lihat John Man, 2010: 270.
W.P. Goeneveldt, 2009: 36.
Elemen kejutan pasukan Mongol adalah menyerang dengan cepat dan tiba-tiba sebelum pasukan musuh dapat mengkonsolidasikan pasukan. Di Asia daratan hal ini dapat dilakukan karena bangsa Mongol terkenal sangat tahan berada di atas kuda. Dengan terus-menerus di atas kuda waktu tempuh untuk menghancurkan pasukan yang biasa disangka pasukan lain ditempuh dalam beberapa hari menjadi dipersingkat. Ini membuat sebuah pasukan yang diserang tentara Mongol belum siap mengkonsolodasikan diri. Ini menjadi sasaran yang mudah bagi tentara Mongol yang terlatih.
Marwati Djoned Poeponegoro, 1984: 431. Utusan Jawa ke Tatar pada 1325 dipimpin oleh Seng-chia-liyeh. Seng-chia-liyeh diidentifikasikan dengan Raja Sumatera. Raja Jawa pada masa itu disebutkan dengan nama Cha-ya-na-ko-nai, yang merupakan ucapan Cina dari nama Jayan?gara.
Para peneliti Jawa pada masa-masa awal, seperti Berg, Kern, dan Krom, menggunakan tafsiran Pararaton dalam merekonstruksi wilayah Majapahit pasca terjadinya peperangan antara Jawa dan Mongol. Mereka menilai, begitu Tatar terusir, Jawa tetap dalam kondisi stagnan. Kondisi Jawa baru berubah saat muncul Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya, seperti yang diinformasikan Pararaton. Informasi Pararaton bertentangan dengan informasi pra??sti, KHW, Kidung Ranggalawe, dan catatan Berita Odorico di Perdone. Sangat disayangkan bila para sejarawan kemudian begitu terikat dengan pendapat itu dengan menutup informasi data lain yang lebih baru.
Tsju Yuan-tsang dikisahkan merupakan “pejabat tidak berarti” di Dinasti Yuan. Ia bukan berasal dari suku Mongol dan berasal dari Suku Han. Karena pada saat itu kekuasaan di tangan Suku Mongol, peran yang diberikan kepadanya dikhususkan tidak memiliki efek politis yang memadai. Ini dilakukan untuk tidak menimbulkan perlawanan di kemudian hari. Lihat Irawan, 2010: 242-243.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar