Jumat, 08 Februari 2013

PT DI Akan Lahirkan Kembali Pesawat N-250

PT Dirgantara Indonesia siap melahirkan kembali pesawat N-250 atau 'The New N-250' peninggalan BJ Habibie. Pesawat komersial yang terhenti pengembangannya sejak 1998 ini, dalam waktu enam bulan ke depan akan diputuskan kelanjutan atau masa depan pengembangannya.


Pesawat N-250 Kembanggan Nasional Produksi IPTN / PT.DI Akan dibangun Kembali
Pesawat N-250 Kembanggan Nasional Produksi IPTN / PT.DI Akan dibangun Kembali

Dirut PT DI, Budi Santoso menjelaskan, tahap awal pihaknya akan melakukan riset atau studi pasar mengenai prospek pesawat bermesin turboprop ini di mata industri penerbangan internasional.


"Kita sedang buat studi pasarnya. Apakah mau pakai desain yang lalu atau ada perubahan di N-250," ujar Budi kepada detikFinance, Selasa (5/2/2013).

Menurutnya, paling cepat 6 bulan ke depan hasil studi pesawat yang telah dikembangkan sejak akhir 1980-an ini mucul. Budi menjelaskan, The New N-250 ini siap masuk ke pasar penumpang berkapasitas 70 sampai 80 penumpang yakni di bawah pesawat jet komersial berpenumpang 100 orang dan di atas pesawat bermesin propeler (baling-baling) berpenumpang 50 orang.

"Market yang ada, 70 sampai 80 penumpang, jadi PT DI jangan sampai salah masuk," sebutnya.

Saingan terberat The New N-250 nantinya adalah pesawat pabrikan asal Eropa yakni Bombardier Q-400 dengan kapasitas 80 penumpang.

"Tapi dari desain kita lebih baik dari Bombardier Q-400," cetusnya.  




 PT DI Butuh Rp 9,6 Triliun

PT Dirgantara Indonesia (PT DI) berencana membangkitkan kembali pesawat N-250 peninggalan BJ Habibie. Untuk bisa terbang dan diproduksi massal, BUMN penerbangan ini membutuhkan dana US$ 1 miliar atau Rp 9,6 triliun.

Dana ini digunakan untuk proses pengembangan ulang hingga menjadi pesawat baru siap produksi.

"Untuk melanjutkan N-250 sampai tersertifikasi dan diproduksi menghabiskan US$ 1 miliar," tutur Direktur Utama PT DI Budi Santoso kepada detikFinance, Selasa (5/2/2013).

Mahalnya biaya untuk melahirkan The New N-250 membuat Dirgantara Indonesia harus betul-betul melakukan studi tentang pangsa pasar dari pesawat yang berhenti dikembangkan sejak 1998 ini.

Selain itu, Budi mengaku BUMN ini tidak bisa berdiri sendiri untuk mendukung pembiayaan The New N-250, sehingga membutuhkan dukungan pendanaan dari pemerintah dan investor.

"Kita belum berani (produksi lagi) sampai kita meyakini. Kita sedang buat studi pasarnya. PT DI jangan sampai salah, kalau salah kita habiskan US$ 1 miliar untuk bikin," tambahnya.

Nantinya, ketika hasil studi pasar dalam waktu 6 bulan ke depan menunjukkan pesawat N-250 layak dilanjutkan, Budi menjelaskan pada pesawat The New N-250 akan terjadi perombakan terhadap mesin dan onderdil pesawat. Hal ini dilakukan karena ada beberapa komponen yang sudah tidak diproduksi lagi.

"Sertifikasi harus diulang dan akan diganti, mesin ganti, kalau mesin (N-250 versi lama) sekarang konsumen terbesarnya militer," sebutnya.

The New N-250 nantinya 60% komponennya berasal dari impor, dan sisanya diproduksi di dalam negeri. Namun desain pesawat, 100% dirancang oleh Dirgantara Indonesia.

"Mungkin 50-60% harus dibeli dari luar seperti mesin dan lain-lain," pungkasnya.



Zaman BJ Habibie Karyawan PT DI Capai 16.000, Sekarang Tinggal 4.000

PT Dirgantara Indonesia (Persero) yang sebelumnya bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pernah mengalami masa keemasan di tahun 1996 hingga 1998. Sebelum berhenti beroperasi karena tak mendapat suntikan modal oleh Presiden Soeharto tahun 1998, di bawah komando BJ Habibie karyawan Dirgantara Indonesia kala itu mencapai 16.000 karyawan dengan level pendidikan tingkat rendah hingga profesional.

Dirut Dirgantara Indonesia, Budi Santoso menjelaskan, akibat penghentian suntikan dana tersebut kemudian berdampak terhadap pemberhentian ribuan orang karyawan hingga akhirnya tersisa 4.000 karyawan.

"Sekarang pegawai tetap 2.000, nggak sampai 3.000. Tapi pegawai tetap banyak yang mau pensiun. Medekati pesiun, saya kontrak anak-anak muda. Kontrak hampir 1.000 ini, kita lihat kemampuan kalau bagus kita angkat menggantikan yang pensiun," tutur Budi kepada detikFinance, Selasa (5/1/2013).

Bahkan, sekitar 200 tenaga ahli pesawat Dirgantara Indonesia terpaksa harus hengkang dari tanah air kemudian memilih bekerja di beberapa perusahaan terbang luar negeri seperti Boeing, Airbus dan Embraer pasca 1998.

"200 orang yang benar-benar engineer tersebar pas krisis N-250 berhenti, mereka kan gak ada kerjaan, mereka akhirnya dapet tawaran yang menarik," tambahnya.

Budi menjelaskan, pasca krisis hingga saat ini, Dirgantara Indonesia tidak memiliki produk baru yang bisa ditawarkan kepada konsumen.

Dirgantara Indonesia hanya mengandalkan desain pesawat lama seperti N-219. Menurutnya, keterbatasan pengembangan pesawat baru ini, dipicu mahalnya investasi untuk merancang dan mengembangkan prototipe model pesawat. Setidaknya untuk merancang pesawat setara N-250, Dirgantara Indonesia harus merogoh kocek minimal US$ 2 miliar.

"PT DI sekarang tidak punya produk di market komersial, kita kosentrasi di govermance internasional. Seperti pesawat untuk coast guard, terus pemerintahan. Seperti Pemerintah Thailand, Kementerian Pertanian di sana pesan 1 sampai 2 pesawat N-219 setiap tahun seperti untuk bikin hujan. Atau pemesanan untuk pesawat surveillance dan penerbangan perintis," cetusnya.
(Detik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar