Minggu, 19 Januari 2014

Presiden SBY Merasa Dikhianati Australia




Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa dikhianati oleh Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, yang selama ini telah dianggap sebagai teman baiknya. 
Hal itu diungkap SBY dalam buku terbaru yang dia luncurkan pada Jumat, 17 Januari 2014 bertajuk "Selalu Ada Pilihan".

Laman News Corporated Australia, Sabtu 18 Januari 2014 melansir dalam buku barunya itu, SBY menulis penyesalannya yang mendalam soal isu penyadapan yang mengemuka di November 2013 lalu. Akibat isu itu, hubungan bilateral kedua negara yang sebelumnya berada di puncak, kembali ke titik nadir.

Bahkan, SBY menjelaskan hubungan kedua negara kembali anjlok sama seperti ketika krisis Timor Timur menyeruak di 1999 silam. Dalam buku setebal 807 halaman itu, SBY menyatakan dengan jelas kekecewaannya terhadap Abbott dalam menangani kasus spionase.

Khususnya, ketika pemimpin Partai Liberal itu, menolak meminta maaf atas aksi Badan Intelijen mereka (DSD) yang telah menyadap komunikasi pribadinya, Ani Yudhoyono, dan para pejabat tinggi lainnya. SBY menyebut aksi itu, benar-benar telah melukainya secara pribadi.

Awalnya, SBY menulis, dia ingin menahan diri memberikan respon keras atas isu penyadapan yang dilakukan oleh Negeri Kanguru. Namun, pikirannya berubah, ketika secara terang-terangan Abbott menolak meminta maaf dan mengatakan aktivitas spionase merupakan hal yang biasa dilakukan antar negara.

"Ketika teman baik saya, Tony Abbott mengatakan di hadapan Parlemen Australia bahwa kasus ini normal dan menolak untuk meminta maaf, saya tidak bisa lagi berdiam diri," tulis SBY di buku barunya itu.

SBY juga menulis ia tidak dapat menerima secara rasional keputusan Australia untuk memata-matai dirinya dan orang terdekatnya.

"Hal penting lainnya yaitu bahwa insiden ini terkait dengan sisi moral dan etis menjadi seorang tetangga yang baik," imbuh SBY.

SBY pun mengaku sangat kecewa dengan respons yang diberikan Pemerintah Australia. Australia, dinilai SBY, memberikan jawaban yang mengambang.

"Jawaban yang mereka berikan antara 'ya' dan 'tidak'," kata SBY.

Di dalam buku itu SBY turut menyatakan Negeri Kanguru seharusnya menginformasikan kepadanya soal adanya kelompok intelijen dari lima negara sekutu Amerika Serikat (AS) yang disebut "Lima Mata".

"Ketika saya membaca berita soal aksi penyadapan yang melibatkan AS dan Australia, saya menginstruksikan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa untuk meminta klarifikasi dari pihak Australia," kata SBY di bukunya.

Penyelesaian ketegangan hubungan bilateral ini sepertinya akan berlangsung cukup lama. Pasalnya, di bukunya, terlihat jelas bahwa SBY tetap kesal dengan drama penyadapan yang berlangsung akhir tahun 2013 itu.

SBY mengatakan belum menerima penjelasan yang memuaskan dari pihak Australia. Walau begitu, SBY mengajukan enam langkah penyelesaian untuk menormalkan kembali hubungan diplomatik kedua negara.

Buku itu diluncurkan pada Jumat, 17 Januari 2014 di Jakarta Convention Centre (JCC) di hadapan 1000 hadirin, termasuk para politisi dan pebisnis.

Awalnya, SBY ingin meluncurkan buku tersebut pada Desember 2013, tetapi ditunda karena ingin memasukkan bab tambahan mengenai isu penyadapan yang dilakukan DSD. Bab itu diberi judul "Seorang Pemimpin Harus Tegas, tetapi Tetap Rasional".

Sumber : Vivanews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar