“A man may die, nations may rise and fall, but an idea lives on.” – John F. Kennedy
FPDA (Five Power
Defence Arrangements) dibentuk dimasa perang dingin dalam konteks
penarikan militer oleh Inggris dari Asia. Muncul untuk menenangkan
Singapura dan Malaysia yang khawatir akan tindakan Indonesia setelah
ditinggal pergi militer Inggris. Pada tahun 1967, akibat upaya
penghematan pengeluaran, pemerintah Inggris memutuskan kebijakan untuk
menarik militer mereka berbagai lokasi di luar negeri.
Keputusan ini mengejutkan Malaysia dan
Singapura yang saat itu dua-duanya bergantung secara militer pada
Inggris. Tanpa perlindungan kehadiran militer Inggris, mereka akan
rentan terancam dianeksasi oleh Indonesia yang sebelumnya di bawah
Presiden Soekarno telah melakukan konfrontasi dan mengkampanyekan
“Ganyang Malaysia”. Presiden Soekarno melihat pembentukan Federasi
Malaysia adalah neo-colonial rancangan Inggris.
Pemerintahan baru di Inggris kemudian
memutuskan untuk mempertahankan beberapa keterlibatan militer di wilayah
ini dengan menggantikan AMDA (Anglo-Malayan Defence Agreement)
tahun 1957 dengan “kerangka politik konsultatif longgar”. Sebagai Realisasinya para menteri pertahanan dari Australia, Malaysia, Selandia Baru, Singapura dan Inggris pembentukan FPDA di London pada tanggal 16 April 1971.
Malaysia Timur (Sabah dan Serawak) tidak
termasuk dalam lingkup perjanjian karena Australia ingin mencegah
terlibat dalam sengketa teritorial dengan Filipina dan Indonesia atas
pulau Borneo (Pilipina/Sulu mengklaim sebagian Sabah sebagai wilayah
mereka yang disewa oleh Malaysia). Pengecualian Malaysia Timur dari
‘perlindungan’ FPDA ini tetap relevan sampai sekarang. Artinya bahwa
FPDA tidak harus atau bisa ikut campur jika terjadi bentrokan militer
antara Malaysia dan China atas Kepulauan Spratly di Laut China Selatan.
Saat ini China sendiri mengklaim wilayah hingga lepas pantai Sabah dan
Serawak.
Kejatuhan Sukarno pada tahun 1965 dan
pembentukan ASEAN bulan Agustus 1967 melambangkan akhir periode
Konfrontasi, hubungan regional antar anggota terus ditandai oleh
ketidakpercayaan dan ketegangan. Meskipun telah dilakukan rekonsiliasi
politik antara Kuala Lumpur dan Jakarta, Malaysia tetap takut terhadap
potensi ancaman Indonesia. Demikian juga Singapura, setelah mengalami
serangan selama periode konfrontasi tidak mempercayai pemerintahan
Indonesia.
Aneksasi Indonesia atas Timor Timur pada
bulan Desember 1975 adalah masalah lain yang memperumit hubungan
Indonesia – Singapura. Negara kota itu, pada tahun 1975-an, masih
menghkawatirkan niat regional dan potensi ambisi hegemonik Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia praktis adalah rujukan dari alasan
pembentukan FPDA selama 1970-an dan 1980-an. Target dan ‘musuh bersama’.
Indonesia sendiri melihat FPDA sebagai “Asuransi terhadap kemungkinan kembalinya Indonesia pada pendekatan lama” (Konfrontasi).
Presiden Soeharto sangat berkeberatan dengan kemungkinan ekspansi
keanggotaan FPDA dengan memasukkan Brunei. Sampai akhir tahun 1990,
mantan menteri luar negeri Indonesia, Mochtar Kusmaatmadja, menyerukan
FPDA dibubarkan dan diganti dengan hubungan pertahanan trilateral antara
Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Kemudian Indonesia secara bertahap melunak, mantan Menteri Pertahanan Jenderal Benny Murdani pada tahun 1994 menyatakan bahwa “jika FPDA membuat anggotanya merasa aman, maka keamanan regional meningkat dan Indonesia pun juga senang”.
Saat ini FPDA dipandang sebagai sisa
Perang Dingin yang sudah kadaluarsa dan tidak relevan dengan masalah
keamanan saat ini dan masa depan negara-negara regional. Namun tampaknya
masih relevan bagi Indonesia. Walau Indonesia dibawah pemerintahan SBY
mampu menjaga stabilitas domestik dan memainkan peran yang konstruktif
di lingkungan regional dan internasional, namun negara-negara bentukan
Ingris tersebut masih saja menjadi tetangga yang kurang menyenangkan.
Intervensi pasukan keamanan ke Timor Leste pada tahun 1999 yang dipimpin
Australia menyertakan pasukan dari seluruh negara-negara anggota FPDA.
Inggris sendiri tidak pernah memberikan
kontribusi kekuatan atau menunjukkan antusiasme diplomatik terhadap
FPDA. Strategic Defence and Security Review (SDSR) pada 2010 semakin
memperlemah kemampuan Inggris untuk memproyeksikan ekspedisi kekuatan
militernya. Selama ini Australia lah yang paling berperan aktif dalam
kegiatan FPDA. Walau demikian negara-negara anggota lain FPDA tetap
mempertahankan keterlibatan Inggris dalam FPDA. Sebagai anggota tetap
Dewan Keamanan PBB, Inggris punya nilai signifikan bagi FPDA terhadap
regional kawasan karena bobot nilai strategis diplomasinya. Inggris
masih tetap hadir pada FPDA Defence Chiefs’ Conference (FDCC) di
Singapura pada 8 November 2014 lalu.
FPDA jelas adalah upaya untuk mengurung
dan mengancam Indonesia agar tidak bangkit. Kebijakan warisan negara
kolonial dengan menggunakan negara-negara bentukan mereka.
Indonesia berjuang memerdekakan diri
dari kolonialisme bangsa asing, sementara FPDA terdiri dari negara
kolonial dan negara bentukan penjajah kolonial. Indonesia bisa menjaga
sikap dan kenyamanan negara-negara tersebut seperti yang selalu
diharapkan mereka, atau kembali ke sikap menentang kolonialisme baru
seperti yang dulu dilakukan Soekarno.
Dengan penolakan membubarkan FPDA,
saling percaya akan sangat sulit tercapai. Setelah upaya rekonsiliasi
pada masa Suharto dan upaya SBY untuk berperan aktif mempererat hubungan
ternyata berbalik pahit, saat ini semua tergantung pada sikap mereka
sendiri terhadap kita. Dan sikap mereka sudah jelas. - (NYD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar