Selasa, 22 Juli 2014

Unjuk rasa anti-Israel di Prancis diwarnai penjarahan



Unjuk rasa anti-Israel di Prancis diwarnai penjarahan
Seorang warga Palestina mengumpulkan barang-barangnya di tengah reruntuhan rumah pemimpin politik Hamas Mahmoud Zahar, yang menurut keterangan polisi menjadi target serangan udara Israel di Kota Gaza, Rabu (16/7). Israel kembali melancarkan serangan udara di Jalur Gaza Rabu kemarin setelah sempat menahan serangan untuk menghormati anjuran Mesir untuk kesepakatan gencatan senjata, namun gagal untuk mendesak militan Hamas untuk menghentikan serangan mereka. Serangan Israel di Jalur Gaza Rabu pagi kemarin menewaskan setidaknya tujuh orang Palestina, dan menghancurkan rumah Mahmoud Zahar, pemimpin politik Hamas yang dipercaya bersembunyi di tempat lain.
(REUTERS/Mohammed Salem)
Sarcelles (ANTARA News) - Unjuk rasa warga Prancis pada Ahad melawan operasi militer Israel di Gaza kembali berakhir dengan kerusuhan setelah sebagian demonstran menjarah sejumlah toko sementara polisi huru hara menembakkan gas air mata ke arah kerumunan.

Demonstrasi di kawasan sub-urban utara Paris, Sarcelles, adalah unjuk rasa ketiga yang berakhir dengan kerusuhan hanya dalam jangka waktu tiga hari di negara dengan populasi Muslim terbesar di Eropa Barat sekaligus mempunyai banyak komunitas Yahudi, lapor AFP.

Keputusan pemerintah melarang demonstrasi di sejumlah area yang dinilai sensitif telah memicu kontroversi karena para warga tetap melakukan unjuk rasa. Akibatnya kerusuhanpun tidak terhindarkan.

Di sisi lain, demonstrasi berlangsung dengan damai di wilayah-wilayah yang diizinkan--sebagaimana juga di negara-negara Eropa lain.

Dari Wina ke Stockholm sampai Amsterdan, ribuan warga Eropa pada Ahad turun ke jalan untuk memprotes agresi militer Israel yang telah menewaskan lebih dari 400 warga Palestina dan 20 tentara Israel.

"Kami bukan anti-Semitis, kami di sini untuk kemanusiaan. Kami mengajak warga Eropa dan Amerika untuk melakukan sesuatu," kata pemimpin demonstrasi di Wina yang yang dihadiri oleh sekitar 11.000 orang itu.

Namun di kawasan suburban Paris, Sarcelles--yang juga dikenal dengan nama "Yerusalem kecil" karena banyaknya komunitas Yahudi--demonstrasi yang hanya dihadiri oleh ratusan orang berakhir dengan kerusuhan saat beberapa orang bercadar membakar tempat sampah dan menciptakan bom asap.

Sejumlah penjarah kemudian memulai aksinya merampok sejumlah toko. Sebagian yang lain menjarah toko obat yang tengah dilanda kebakaran.

Pasukan keamanan kemudian menembakkan peluru karet ke arah para penjarah. Tidak jauh dari lokasi situ, pasukan polisi huru hara memblokir akses menuju sinagog lokal.

Agresi militer Israel di Gaza nampaknya telah memantik perpecahan dalam masyarakat Prancis. Di negara tersebut, komunitas Yahudi semakin khawatir atas bangkitnya kelompok radikal Islam dan aktivis kiri ekstrim yang terkadang mencampur adukkan perlawanan terhadap kebijakan Israel dengan sentimen anti-semitisme.

Namun sejumlah pengamat mengatakan bahwa kerusuhan terjadi justru karena kepolisian melarang demonstrasi di Sarcelles. Di kota-kota lain di mana izin diberikan, unjuk rasa justru berjalan dengan aman.

Kepolisian sendiri melarang unjuk rasa di Sarcelles karena khawatir mereka akan menyerang komunitas Yahudi setelah pada pekan lalu sekelompok masa mencoba mengerumuni dua sinagog.

Sementara itu di London, demonstrasi dihadiri oleh ribuan orang dan hampir membuat kota itu lumpuh. Unjuk rasa yang lebih kecil juga terjadi di sejumlah kota Austria dengan massa kurang lebih 500-600 orang.

Di Amsterdan, lebih dari 3.000 orang turun ke jalan dengan membawa sejumlah tuntutan bertuliskan "hentikan perang" dan "Israel penjahat perang."

"Ini harus dihentikan. Anak-anak telah menjadi korban meskipun mereka tidak berdosa," kata seorang demonstran berna Ekrem Kara.

Demonstrasi yang sama juga digelar di Stockholm dengan massa sekitar 1.000 orang.


antaranews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar