Kamis, 30 Oktober 2014

Mantan Pilot Drone AS Mengalami Trauma

Serangan drone Amerika Serikat yang menewaskan ribuan orang di Pakistan, Yaman dan Afganistan tidak hanya menciptakan ketakutan pada rakyat negara sasaran, tapi juga meninggalkan luka mendalam bagi pilot pesawat nirawak itu.

Brandon Bryant menderita gangguan stres pasca-trauma setelah melihat kematian akibat drone yang dikendalikannya
Brandon Bryant menderita gangguan stres pasca-trauma setelah melihat kematian akibat drone yang dikendalikannya. (Getty Images)

Brandon Bryant, mantan pilot drone Amerika Serikat, menderita gangguan stres pasca-trauma, PTSD, setelah menyaksikan penderitaan warga yang tewas akibat serangan pesawat nirawak yang dikendalikannya.



Pia yang memutuskan untuk keluar dari Angkatan Udara AS pada 2011 ini dalam wawancara dengan majalah GQ akhir tahun lalu mengisahkan kali pertama melakukan pembunuhan di awal 2007.

Saat itu, dari Pangkalan Udara di gurun Nevada, AS, Bryant menerbangkan drone ke Afganistan untuk menembak tiga pria tersangka terorisme.

Rudal Hellfire dia tembakkan, mengenai ketiga orang sasaran dengan telak. Namun peristiwa setelahnya yang membuat Bryant tercekat.

"Asapnya memudar, dan mayat dua pria tergeletak di kawah ledakan. Lalu ada pria lain di sana, dia kehilangan kakinya di atas dengkul," kata Bryant.

"Pria itu memegangi kakinya yang buntung, berguling-guling, lalu darah memuncrat dari kakinya, dan dia jatuh. Butuh waktu lama untuk dia untuk mati. Saya hanya melihatnya. Saya hanya melihatnya berubah warna, sama dengan tanah tempat dia terbaring," lanjut Bryant, mengisahkan saat-saat dia menyaksikan horor itu dari layar pemindai panas.

Hasil wawancara Bryant itu dirilis saat muncul kontroversi penggunaan drone di Timur Tengah yang lebih banyak memakan korban sipil ketimbang target sasaran.

Mode Zombie

Bertugas sebagai pilot pembunuh pesawat nirawak, Bryant mengaku harus bekerja dalam "mode zombie" alias tanpa ampun dan belas kasihan, di depan kamera dan sistem pengincar dengan laser.

Sebelum menempati posisi itu, dia telah didoktrin bahwa pekerjaannya itu sangat penting dalam menyelamatkan nyawa tentara dan negara AS dari terorisme.

Namun yang terjadi malah sebaliknya, serangan itu malah memakan banyak korban sipil.

Dalam misi penerbangan selama 6.000 jam yang telah diikutinya, korban tewas mencapai 1.626 orang.

"Itu membuat perut saya mual," kata Bryant.

Satu kali di tahun 2007, dia menyerang sebuah gedung di Afganistan. Beberapa detik sebelum rudal ditembakkan, dia melihat sesosok bayangan masuk ke gedung itu, seperti anak kecil.

Lantas dia melaporkannya pada pengawas mereka. Jawabannya, "berdasarkan pemantauan saya, itu cuma anjing."

Bryant mengaku tidak yakin itu anjing atau anak kecil, keduanya sama sekali tidak disinggung dalam laporan penyerangan tersebut.

Dia memutuskan mengundurkan diri dari AU pada 2011, setelah bekerja selama enam tahun, dan menolak bonus US$109 ribu untuk terus mengoperasikan drone.

Sejak Barack Obama terpilih presiden AS pada 2008, jumlah pilot drone telah meningkat hingga tiga kali lipat, dan saat ini berjumlah 1.300 orang.


Pesawat nirawak Amerika Serikat telah menewaskan ribuan orang di Yaman, Pakistan dan Afganistan. (Getty Images/Ethan Miller)


Kejahatan perang

Amnesty International dan Human Right Watch pada 2012 lalu mengatakan bahwa serangan yang menewaskan warga sipil itu merupakan kejahatan perang.

Organisasi Biro Jurnalis Investigasi, TBIJ, Januari lalu mengatakan bahwa dari tahun 2009 hingga 2014 pada pemerintahan Barack Obama, drone telah menewaskan lebih dari 2.400 orang, sedikitnya 273 di antara mereka adalah warga sipil.

Berdasarkan wawancara terhadap para korban, TBIJ melaporkan drone telah menciptakan ketakutan dan trauma bagi warga di Pakistan dan Afganistan.

"Sebelumnya kami hidup bahagia. Tapi setelah serangan drone ini, banyak orang jadi korban dan kehilangan keluarga. Banyak dari mereka jadi gila," kata seorang warga di wilayah utara Pakistan yang tidak disebut namanya.

Sekarang drone tidak hanya dimiliki negara, namun juga oleh kelompok militan yang masuk dalam daftar terorisme, seperti Hizbullah di Libanon dan ISIS di Suriah, menyiratkan akan adanya perubahan pola peperangan di masa mendatang.

"Monopoli negara menggunakan kekuatan militer mulai terkikis, dan sekarang teknologi baru sama-sama digunakan oleh negara dan kelompok militan," kata Peter Bergen, pengamat keamanan nasional CNN sekaligus direktur New America Foundation.  (CNN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar