Berganti era, berganti pemimpin, AS dan Rusia terkadang "mesra", namun tak jarang bersitegang. Termasuk di era saat ini, ketika AS dipimpin Barack Obama dan Rusia dipimpin Vladimir Putin. Dalam kasus krisis Suriah misalnya, AS terbukti tidak bisa leluasa untuk menyerang negara sekutu Rusia itu layaknya menggempur negara-negara Timur Tengah sebelumnya.
Kini, krisis Ukraina kembali menjadi ajang pamer pengaruh kedua negara itu. Dicaploknya Crimea dari Ukraina oleh Rusia cukup membuat jengkel negeri Paman Sam itu. Namun, di balik krisis Ukraina, getar-getar genderang “Perang Dingin” baru kedua negara itu sejatinya mulai terasa.
Mantan Asisten Menteri Keuangan AS, Paul Craig Roberts, yang selama ini kritis terhadap negaranya juga merasakan hal serupa. Mantan pejabat AS di era pemerintahan Reagan itu mencium gelagat AS untuk menabuh genderang “Perang Dingin” baru. Tujuannya, salah satunya untuk memastikan kondisi militer dan keamanan Washington terjamin.
”Hal terbaik bagi Pemerintah Rusia yang bisa dilakukan hanya mengabaikan (retorika Washington) dan pergi untuk membuat hubungan dengan China, India, Brazil, dan Amerika Selatan. Mulai meninggalkan sistem dolar dan berhenti berusaha untuk diterima oleh Washington,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Russia Today, yang dilansir Selasa (13/5/2014).
Manfaatkan krisis Ukraina
Krisis Ukraina, ujar dia, sejatinya juga dimanfaatkan AS untuk memotong kekuatan militer Rusia. Caranya, dengan meraih simpati Ukraina yang bersitegang dengan Rusia. Setelah itu, masih menurut Roberts, AS berusaha menguasai pangkalan angkatan laut Rusia di Crimea dan memotong akses militer Rusia ke Mediterania.
“(Namun) sekarang, Washington kehilangan permainan itu. Mereka mencoba untuk mengambilnya dengan memulai Perang Dingin baru, dan itulah yang terjadi pada semua permasalahan ini,” lanjut dia.
Lantas bagaimana dengan tuduhan bahwa Rusia hendak menguasai Baltik dan negara-negara Eropa timur untuk mengulang kejayaan Soviet? Menurut Roberts, tuduhan itu berasal dari NATO dan tidak logis bagi Putin untuk melakukannya.
Terlepas benar atau tidak analisis itu, namun fakta tetap menunjukkan AS dan Rusia dalam beberapa pekan ini pamer kekuatan militer. Retorika Perang Dingin pun sempat dimunculkan para pejabat AS, salah satunya Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, yang dalam sebuah acara di AS mengingatkan awal tujuan pembentukan Pakta Pertahanan Atlantik utara atau NATO, yakni membendung pengaruh Soviet.
Belum lama ini, Wakil Sekretaris Jenderal NATO, Alexander Vershbow, terang-terangan menyatakan, bahwa Rusia kini telah menjadi musuh mereka. Alasannya, karena Moskow terlalu intervensi dalam krisis di Ukraina.
“Kelompok sekutu telah dipaksa untuk mengobati Rusia, karena lebih banyak (terlihat sebagai) musuh daripada pasangan,” katanya seperti dilaporkan Associated Press.
Saling pamer nuklir
Puncak getar-getar genderang “Perang Dingin” baru itu adalah pamer kekuatan nuklir. Hal itu dimulai, ketika Rusia menggelar latihan perang besar-besaran salah satunya pamer cara menangkis serangan senjata nuklir. Latihan yang disaksikan langsung Presiden Putin itu berlangsung menjelang “Victory Day” atau hari kemenangan Rusia dalam Perang Dunia II yang jatuh 9 Mei 2014 lalu.
”Kami sedang melakukan tes kesiapan angkatan bersenjata Rusia. Ini diumumkan November lalu. Latihan akan melibatkan semua cabang angkatan bersenjata di seluruh negeri,”kata Putin di kantor Departemen Pertahanan Rusia.
Tak mau kalah, AS pun akan melakukan hal serupa. Komando Strategi Amerika Serikat (AS), badan yang bertanggung jawab untuk penggunaan bom nuklir di negara itu akan menggelar latihan perang besar-besaran pada pekan ini.
Dalam latihan perang itu, AS akan mengerahkan 10 pesawat jet tempur boeing B-52 Stratofortress dan pesawat pembom B-2, serta peralatan tempur lain yang dimiliki militer AS. Pesawat jet tempur Boeing B - 52 Stratofortress adalah pesawat subsonik yang digunakan untuk mengangkut senjata atau bom nuklir.
Latihan perang besar-besaran akan digelar dari 12-16 Mei 2014. ”Untuk mencegah dan mendeteksi serangan strategis terhadap Amerika Serikat dan sekutunya,” bunyi pernyataan Komando Strategi, seperti dilansir Russia Today, Senin (12/5/2014) kemarin.
Kendati sinyal-sinyal “Perang Dingin” baru itu mulai terasa, baik Obama maupun Putin mengklaim tidak akan perang terbuka. Obama misalnya, pernah mengklaim kekuatan militer AS jauh lebih hebat ketimbang militer Rusia, sehingga dia tidak berniat perang dengan Rusia.
Begitu halnya Putin yang tetap santai, ketika para pejabatnya dijatuhi sanksi oleh AS dan Uni Eropa. Putin berkali-kali menegaskan negaranya tidak akan perang, termasuk dengan Ukraina sekalipun. (Sindo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar