Gripen |
Kemungkinan besar Gripen yang dibeli Indonesia, dimana Typhoon ada
kemungkinan menyalip ditikungan akhir. Lupakan Su-35 ataupun Su – Su
lainnya, tidak akan ada pembelian ataupun penambahan dari varian
tersebut. Petunjuknya sederhana, dari daftar belanja renstra 2015-2020
TNI AU yang telah dipublish Indonesia berencana melakukan pembelian 2
pesawat AWACS. Dimana model yang diminati salah satunya adalah SAAB
Erieye yang diintegrasikan dengan pesawat C295. Dari sini sudah mulai
terlihat kemana arah pembelian pesawat pengganti F-5, dan yang pasti
bukan dari Rusia.
Sukhoi dan kawan-kawannya tidak dapat diintegrasikan dengan jaringan
radar kohanudnas yang notabene sebagian besar buatan barat dan sudah
pasti tidak akan bisa diintegrasikan dengan AWACS barat. Komunikasi
diantara keduanya hanya sebatas radio, menghadapi tantangan pertempuran
udara masa depan hanya bermodal radio itu sama saja dengan bunuh diri.
Tanpa sistem yang terintegrasi darat-laut-udara akan menjadikan setiap
penempur seperti “lone wolf” yang bertempur sendiri-sendiri, hanya
tinggal menunggu detik jatuhnya saja. Lain halnya dengan pesawat yang
memiliki sistem terintegrasi, walaupun terbang sendirian tapi seperti
keroyokan, because he’s not fly alone.
Kemenangan besar Vietnam di udara melawan Amerika salah satunya
karena taktik gerilya udara yang mereka terapkan. Mig-21 dan Mig-17
Vietnam seolah – olah dapat hadir dimana saja dan menyergap kapan saja,
sehingga walaupun secara teknologi keduanya kalah namun mereka tetap
dapat menguasai udara (hanya bermodal pelor tanpa rudal!). Dengan
kemampuan Gripen yang mampu lepas landas pada jarak yang sangat pendek
dikombinasikan dengan ribuan pulau-pulau Indonesia yang dapat berfungsi
sebagai kapal induk dan pangkalan aju + sistem yang terintegrasi di
ketiga matra. Akan menghasilkan kesiapan dan kemampuan tempur strategis
yang sangat luar biasa. Mau itu Su-35, Pakfa atau F-22 dan adik tirinya
F-35 sekalipun, monggo silahkan datang, kohanudnas SIAP menyambut!
Kehadiran Sukhoi di Indonesia pada esensinya adalah sebentuk respon
(baca:ngambek) Indonesia atas embargo AS dan ulah mereka yang sering
melanggar kedaulatan RI. Indonesia secara mendesak membutuhkan pelindung
udara yang dapat dijadikan pemukul “sesaat”, perumpamaannya seperti
“anda boleh menyerang tapi anda tidak akan keluar tanpa berdarah-darah”.
Sukhoi dipilih karena Rusia secara nyata merupakan kontra barat.
Langkah pembelian ini kemudian menjadi sinyal yang jelas bagi AS, “Jika
anda terus mengusik kami, kami akan pindah haluan!” Keputusan Indonesia
untuk membeli Sukhoi inilah yang kemudian memicu insiden pulau Bawean.
Dengan dalih kesasar, AS mengirim kapal induknya masuk kedalam wilayah
Indonesia untuk menguji dan mengejek pertahanan laut dan udara
Indonesia. Sebentuk simbol gertakan dan pesan yang dengan jelas
mengatakan “kami mampu melakukan apa yang ingin kami lakukan, walaupun
anda berkawan dengan Rusia”. Pada intinya, kehadiran Sukhoi di Indonesia
adalah karena kepepet dan bukan bagian dari perencanaan pertahanan
strategis nasional.
Kebangkitan China dan ambisi mereka di LCS disatu sisi membawa
keberuntungan bagi Indonesia. Secara politik tekanan barat serta merta
menjadi sangat melunak terhadap Indonesia, berbagai program kerjasama
dan penawaran strategis tiba-tiba saja mengalir deras dari Amerika dan
Eropa. Amerika dan Inggris yang sebelumnya selalu menyenggol isu Papua
tiba-tiba saja menyatakan dukungannya atas kesatuan Papua dengan NKRI.
Hasilnya berbagai bentuk gerakan Papua merdeka di Amerika, Eropa dan
Australia perlahan lahan meredup dan menghilang gaungnya. Semua itu
karena mereka membutuhkan “peran” Indonesia terkait konflik LCS, hal ini
semakin terbukti dengan kian bersemangatnya AS dalam mendukung program
maritim Jokowi sebab secara tidak langsung program ini membantu
kepentingan AS di ASEAN. Secara tersirat Indonesia menegaskan klaimnya
atas wilayah dan garis perbatasannya termasuk segala nilai ekonomi yang
terkandung didalamnya. Sikap Indonesia ini secara tidak langsung seperti
mendirikan pagar pembatas di tepi LCS, yang mana dengan sedikit
akal-akalan AS dapat memanfaatkan Indonesia seolah menjadi
sekutu/kepanjangan tangan kepentingan AS. Dalam bahasa halusnya barat
membutuhkan Indonesia sebagai “stabilisator kawasan” namun aslinya
mereka hanya membutuhkan jongos untuk melindungi kepentingannya.
Namun semua itu tidak akan berguna jika Indonesia tidak kuat, oleh
karenanya AS dan sekutunya perlu membantu Indonesia untuk menjadi kuat
(kebalikan dari tahun 97-98). Hibah F16 juga merupakan bagian dari
bantuan khusus itu, pada intinya tidak ada yang namanya makan siang
gratis di dunia politik, semua ada imbalannya. Dan karena alasan politik
internal dan masih belum yakinnya AS terhadap Indonesia menyebabkan AS
tidak dapat membuka lebar-lebar kran FMS-nya. Namun mereka masih
memiliki kepanjangan tangan dimana mana, salah satunya SAAB Swedia
melalui JAS-39 Gripen-nya. Ingat, kandungan komponen buatan AS ada
banyak di Gripen bahkan salah satu komponen vitalnya yaitu mesin adalah
buatan AS. Karena Indonesia gigih mempertahankan sikap netralnya, dengan
mendorong dari belakang pembelian Gripen, AS secara tidak langsung juga
membantu menjaga “image sikap netral Indonesia” sembari melancarkan
tujuannya sendiri. Dan bila Indonesia jadi mengoperasikan Gripen bersama
Thailand dan Malaysia, maka akan tercipta rantai pertahanan udara yang
kuat di selatan LCS dan inilah yang menjadi tujuan paling utamanya.
Bagaimana dengan Sukhoi? Jika Indonesia memutuskan untuk menambah dan
mengembangkan armada Sukhoi-nya maka Indonesia harus merubah dan
menyesuaikan sebagian besar sistem pertahanan udaranya agar Sukhoi
tersebut mampu beroperasi secara efektif dan optimal. Namun itu
membutuhkan biaya investasi yang sangat besar, sesuatu yang tidak
mungkin dipenuhi dan dilakukan Indonesia pada masa sekarang ini. Adalah
sangat tidak mungkin bagi Indonesia untuk memulai membangun kembali dari
awal (walaupun itu hanya sebagian) pada saat dan situasi saat ini! Bila
melihat perjalanan Sukhoi di Indonesia dari awal hingga kini, nampaknya
pada akhirnya Sukhoi hanya akan dipelihara agar tetap hidup sekedar
agar tidak mati biar pemerintah dan TNI tidak dituduh menghambur
hamburkan uang rakyat, sekedar menjadi mainan mahal para jenderal pada
saat parade udara, sekedar biar tampak efek busa deterjennya ditelivisi,
sekedar dan sekedar,..
Adakah diantara kita yang bertanya, kemanah keempat Sukhoi yang lama
menghilang itu? Info dari bung Jalo mengatakan mereka saat ini menjadi
pasien sekarat di hanggarnya, statusnya yang tidak kunjung terbang dan
tidak pula segera diperbaiki menjadi bukti nyata ketidakmampuan
Indonesia mengoperasikan/menjaga kesiapan operasi Su-family. Atau ini
juga menjadi menjadi bukti betapa ruwetnya after service Rusia, tidak
heran jika kemudian dubes dan menhan Rusia buru-buru menawarkan layanan
after service yang ditempatkan di Indonesia. Namun jika sparepart-nya
masih diproduksi di Rusia, maka tawaran itu sama saja bohong, hanya
isapan jempol belaka toh selama ini kita juga sudah mendatangkan mekanik
dari Rusia langsung lalu apa bedanya?!
Suatu sistem pertahanan dikatakan kuat jika sistem tersebut mampu
memenuhi poin strategis yang ditetapkan, bukan sekedar untuk memenuhi
gengsi, efek busa melimpah deterjen, fanatik buta atau ambisi sesaat.
Suatu perencanaan sistem pertahanan harus mempertimbangkan aspek dimasa
depan, bukan sekedar apa yang terjadi pada saat ini saja. Bila melihat
pada kemampuan, kekurangan dan kelemahan, kelebihan yang dapat di ekspos
serta tujuan dan kebutuhan Indonesia. Bila kita melihat secara
realistis tanpa berhalusinasi, maka jawabannya sudah pasti bukan Sukhoi
(tapi Rafale, hehe). Badan Sukhoi yang besar dan gripen yang kecil
bukanlah tolak ukur kemampuan mereka yang sesungguhnya, tampang bukanlah
acuan. Sekedar perumpamaan, jika Bruce Lee bertanding dengan The Rock/
Stalone/ Arnold/ Tyson dll yang berbadan besar dan bermuka sangar,,,saya
masih memegang Bruce Lee + fur 10.
Apa yang terpenting saat ini adalah bagaimana mensukseskan tujuan
kemandirian pertahanan nasional sembari membuat sistem pertahanan yang
kuat secara jangka panjang. Jangka panjang disini berarti
berkesinambungan yang salah satunya juga berarti dapat dan mampu
mengoperasikan alutsista yang dibeli secara konstan dan efektif hingga
ke masa depan. Hal ini menuntut lebih dari sekedar efek deterjen sabun
colek tapi juga unsur operasionalitas yang meliputi reliabilitas,
efektifitas, efisiensi, kompatibilitas, readiness dan availability.
Dengan menggandeng Rafale, Gripen dan Typhoon dapat memberikan
semua/sebagian dari aspek tersebut. Dan diantara ketiganya Gripen-lah
yang paling memenuhi kriteria ideal yang sesuai bagi kebutuhan
“rasional” Indonesia. Seperti menyelam sambil minum air dan sekali
dayung 3 pulau terlampaui, kebutuhan pertahanan udara efektif jangka
panjang terpenuhi dan tujuan kemandirian pertahanan nasional pun ikut
sampai melalui ToT yang menyertainya. Lagi pula saat ini secara politik
dalam kerjasama industri pertahanan, setelah Korea Selatan Indonesia
kini juga mulai dekat dengan Swedia. Di darat dan laut aroma Swedia
sudah mulai kental terasa, apakah di udara akan ikut menyusul? Who
knows, kita lihat saja nanti.
Btw, saya penggemar Rafale.
(by: STMJ|JKGR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar