Selasa, 15 Juli 2014

Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia Melalui Isu: Indosat, WTO dan Laut China Selatan



Penulis : Agus Setiawan, Pegiat Sosial Politik & Research Associate GFI

Dunia kini telah menjelma menjadi sebuah kampung kecil. Teknologi satelit telah menembus batas-batas negara. Status negara bangsa kini telah semakin kehilangan makna digerus oleh eksistensi organisasi-organisasi internasional yang semakin arogan dan bahkan cenderung otoriter.


 

PENDAHULUAN

TEMPO Interaktif, Jum’at, 13 Desember 2002: Dari 4 calon investor yang ada, hanya 2 investor saja yang telah memasukkan penawaran akhir (final bid) penawaran tender pembelian saham PT Indonesian Satellite Corporation Tbk. (INDOSAT) sesuai waktu yang ditentukan.

Kedua penawar tersebut adalah Singapore Technologies Telemedia (STT) dan Telekom Malaysia Bhd. Sedangkan kandidat lainnya, Desa Mahir Sdn. Bhd (dari Malaysia) dan Gilbert Global Equity Partner (dari Hongkong), kemungkinan besar dipastikan gugur.

Hal ini diungkapkan Gita Wirjawan dari Goldman Sach, penasehat keuangan (financial adviser) STT kepada wartawan yang mencegatnya, usai bertemu dengan pihak kantor menteri negara BUMN, pihak Indosat, dan PT Danareksa sebagai penasehat divestasi Indosat, di gedung Danareksa Jakarta. ....

Dalam proses penjualan saham Indosat kepada Temasek, Gita Wiryawan adalah konsultan perusahaan Singapura itu, pada waktu itu Gita masih mengasah ilmu di Goldman Sach, perusahaan hedgefund dari Amerika Serikat (AS), masih diluar struktur kabinet pemerintahan SBY. Setelah sukses mengambil alih INDOSAT, karir Gita Wirjawan pun melesat semakin cemerlang sebagai spesialis jual beli aset negara. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila AS sangat berkepentingan menempatkan “sang spesialis”  dalam struktur pemerintahan Indonesia. Bahkan kalau perlu mendudukkannya sebagai Presiden RI.

Salahkah Gita Wirjawan sebagai seorang konsultan mengatur pembelian Indosat oleh Temasek? Tentu saja tidak. Gita hanya bekerja secara profesional sesuai dengan keahliannya. Dan dibayar mahal tentunya. Dan masih banyak Gita-Gita Wirjawan yang lain di negeri kita tercinta ini yang bekerja secara profesional dengan gaji yang menggiurkan. Mau! Dasar komprador!

Perkembangan teknologi satelit komunikasi, menguatnya peran WTO dalam era globalisasi serta tampilnya China sebagai Super Power baru dengan kekuatan ekonomi yang dahsyat merupakan fenomena yang menarik di abad 21. Indonesia sendiri, sejak awal tahun 1970-an sudah aktif memasuki dunia antariksa dengan satelit Palapa. Membangun industri dalam negeri, sempat surplus beras pada tahun 1984, bahkan siap tinggal landas di abad 21. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Satelit dijual, ekonomi nasional dikuasai asing, justeru China yang menyalip untuk tinggal landas di abad 21. Apa yang terjadi dengan pembagunan ekonomi Indonesia sesungguhnya? Untuk menjawabnya, penulis mencoba untuk melihat dari pendekatan skema Perang Asimetris melalui isu Indosat, WTO dan Laut China Selatan.

MENGENANG SATELIT PALAPA


Abad 21 adalah abad ruang angkasa dengan teknologi satelit sebagai tulang punggungnya. Satelit telah menjadi teknologi strategis karena memiliki fungsi sebagai indera pendengaran, indera komunikasi, juga indera pengelihatan, bahkan bisa menjadi kaki dan tangan sebuah negara bangsa. Satelit merupakan aset strategis dunia masa depan – bahkan dengan teknologi militer bisa menjadi alutsista yang mematikan. Seperti program “Star Wars” AS dan Uni Soviet dimasa Perang Dingin.

Tidak mengherankan bila pada 1969, Presiden Soeharto sudah memiliki visi yang jauh kedepan dengan membangun “Stasiun Bumi” di Jatiluhur, Jawa Barat, sebagai infrastruktur pendukung satelit. Bukan itu saja, dengan memberi nama “PALAPA” kepada satelit geostasioner Indonesia jelas menunjukkan bahwa Presiden Soeharto adalah seorang visioner, seorang negarawan ahli strategi yang berpikir jauh melampaui zamannya dalam membangun masa depan NKRI.

Pemberian nama PALAPA yang diambil dari "Sumpah Palapa" pada zaman kerajaan Majapahit itu bukanlah tanpa maksud dan tujuan. Sumpah Palapa yang diucapkan oleh seorang Maha Patih yang bernama Gajah Mada pada abad ke 14 merupakan simbol kekuatan negara dalam menyatukan seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dengan angkatan laut yang kuat, Majapahit berhasil menjadikan Nusantara sebagai “poros maritim” dunia sebagaimana Kerajaan Sriwijaya pada abad ke 7.

Penguasaan lautan pada zaman dahulu sama strategisnya dengan penguasaan angkasa pada abad 21 ini. Indonesia belum mampu menggarap secara maksimal potensi ekonomis kekayaan angkasanya. Padahal dengan teknologi satelit yang didukung dengan teknologi komunikasi – wilayah udara Indonesia menjadi “jalan tol” lalu lintas saluran TV, TELPON dan INTERNET bagi milyaran akses dan transaksi antar manusia, perusahaan maupun negara setiap tahunnya. Jauh melebihi jumlah wisatawan yang datang mengunjungi Indonesia. Belum lagi lalu lintas pesawat-pesawat udara komersial yang lalu lalang melintas. Bayangkan berapa nilai rupiahnya dalam setahun.

Oleh karena itu, satelit adalah aset negara yang strategis. Satelit telah menjadi bagian dari hajat hidup orang banyak oleh karena itu harus dikuasai oleh Negara. Karena satelit yang terintegrated dengan teknologi komunikasi dan teleskop merupakan pancaindera suatu negara. Satelit dapat dipakai meramalkan iklim, memetakan daratan, memotret lokasi, mengindera sumber kekayaan alam, dan menjadi alat navigasi seperti GPS, dan lain sebagainya.

Bagi kepentingan asing yang sudah lama mengincar Indonesia, satelit PALAPA merupakan aset strategis pertama yang harus dilumpuhkan dan direbut untuk melemahkan Indonesia. Tanpa satelit, Indonesia menjadi buta dan tuli. Peluang itu datang di era pemerintahan Presiden Megawati yang tidak punya visi. Presiden Megawati diangkat menggantikan Presiden Gus Dur yang dijatuhkan melalui Sidang Istimewa MPR pada 2001. Dengan kepiawaian Gita Wirjawan yang pada saat itu bekerja sebagai konsultan Temasek Singapura – berhasil mengatur penjualan aset strategis itu dengan mulus. Maka beralih tanganlah INDOSAT dengan harga yang murah. Sejak penjualan itu, Indonesia menjadi ajang penyadapan antek-antek asing. Dan pemilik baru Indosat meraup untung milyaran dolar.

Dan yang paling menyakitkan adalah privasi kita sebagai bangsa diketahui oleh orang lain, bayangkan seluruh komunikasi, transaksi perbankan bahkan rahasia negara bisa dimonitor secara transparan oleh kekuatan asing, jadi untuk memata-matai Indonesia tidak perlu repot-repot mengadakan penyadapan dan operasi intelejen, karena Indonesia memang sudah telanjang bulat termasuk dalam sistem pertahanan dan keamanan negara. Jika kondisi telanjang bulat tersebut terus dibiarkan berlarut-larut maka integritas NKRI akan porak-poranda diserbu predator-predator korporasi transnasional yang kelaparan di era global.

MENGUATNYA PERAN ORGANISASI INTERNASIONAL

ORGANISASI INTERNASIONAL kini telah menjadi aktor-aktor utama dunia yang menggusur peranan negara bangsa menjadi figuran dalam hubungan internasional. Disadari atau tidak, diplomasi kini hanya sekedar protokoler antar negara kalau tidak mau dikatakan sekedar basa-basi pergaulan internasional yang dilakukan oleh para diplomat atas nama negara bangsa. Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20, APEC, ASEM dan sebagainya sesungguhnya hanya merupakan jalan sistematis bagi korporasi transnasional untuk menguasai suatu negara melalui perjanjian-perjanjian yang mereka paksakan, kalau ada negara yang menolak maka tidak segan-segan mereka akan mengenakan sanksi.

Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam Putaran Uruguay (1986-1994), IMF melalui GATT telah berhasil menanamkan skema liberalisasi perdagangan dunia terhadap negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Skema multilateral trade agreement GATT tersebut kemudian menjelma menjadi sebuah sistem keamanan tingkat tinggi dunia bernama WTO pada 1 Januari 1995, di Jenewa Swiss.

WTO kini sudah beranggotakan 154 negara anggota, dimana 117 di antaranya adalah negara berkembang. Dengan lahirnya WTO, maka lengkaplah sudah tiga serangkai organisasi internasional penakluk negara bangsa, yakni IMF, WORLD BANK dan WTO. Bahkan mereka memiliki pasukan tentara swasta yang didukung alutsista canggih dengan sandi NATO.

Dengan perkembangan teknologi satelit yang ditopang dengan teknologi komunikasi dan teknologi teleskop – membuat batas-batas negara menjadi hilang. Dunia kini telah menjelma menjadi sebuah kampung kecil. Teknologi satelit telah menembus batas-batas negara. Status negara bangsa kini telah semakin kehilangan makna digerus oleh eksistensi organisasi–organisasi internasional yang semakin arogan dan bahkan cenderung otoriter.

Benarkah status negara bangsa telah kehilangan makna? Mungkin saja! Mari cermati sebuah peristiwa kecil, dikampung kecil yang menimpa Pak Tukirin, 62 tahun, yakni seorang petani sederhana dari Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Dia dituduh mencuri benih induk oleh perusahaan produsen benih jagung hybrida, PT. BISI, anak perusahaan Charoen Pokphand, Korporasi pertanian terbesar di Asia. Padahal Pak Tukirin memperoleh benih dari penyalur benih resmi yang dijual bebas. Dengan pengetahuan “lokal” yang dimilikinya, Pak Tukirin  ternyata berhasil membudidayakan tanaman jagung yang dimilikinya sehingga dapat digunakan menjadi benih setelah melakukan inovasi penyerbukan silang antar tanaman jagung. 

Tanaman jagung hibrida yang dipanen oleh para para petani selama ini memang tidak dapat digunakan lagi sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. Kalaupun digunakan sebagai benih, hasilnya pasti jelek. Jagung hibrida hanya bisa dipakai satu kali tanam, setelah panen kalau tidak dijual, ya dimakan aja. 

Pak Tukirin kemudian menjual bibit jagung hasil kreatifitasnya dengan harga yang jauh lebih murah kepada sesama teman petani. Peristiwa keberhasilan orang kampung kecil itu justru menjadi masalah besar bagi sang produsen benih – karena para petani menjadi tidak tergantung lagi kepada anak perusahaan asal Thailand itu. Maka dengan arogan anak perusahaan Charoen Pokphand tersebut menuduh Pak Tukirin dengan menggunakan jurus TRIPS (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights) WTO. Pengadilan akhirnya memenangkan perusahaan produsen benih Thailand tersebut. Pak Tukirin dan teman-temannya masuk penjara karena karyanya yang kreatif dan inovatif. Negara diam, tidak terusik, padahal Pak Tukirin adalah warga negara Indonesia yang harus dilindungi dari konspirasi korporasi asing yang arogan dan monopolistik di era globalisasi.

Dunia telah menjadi kampung kecil. Kasus yang menimpa Pak Tukirin, dan kasus serupa lainnya juga banyak terjadi di negara-negara berkembang lain. Peristiwa ini menunjukkan bahwa seorang warga negara kini telah menjadi orang asing di negeri sendiri – seorang diri harus menghadapi kekuatan korporasi transnasional yang menggurita. Nah itulah contoh gambaran dampak Putaran Uruguay bagi seorang warga negara Indonesia yang kreatif dan inovatif dalam sistem keamanan tingkat tinggi WTO.

SKEMA IMF DI INDONESIA

Masih ingat di era 1980–an, tepatnya tahun 1984 ketika Indonesia pernah mengalami swasembada beras. Ketika Indonesia berhasil meningkatkan kapasitas produksi dari 12,2 juta ton beras pada 1969 – meningkat menjadi 25,8 juta ton beras pada 1984. Bahkan pada 1985 dengan murah hati Indonesia membantu 1 juta ton beras kepada negara-negara Afrika yang sedang mengalami kelaparan. Sehingga Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari PBB.

Sebagai catatan saja, bahwa produksi beras petani kita pada 2013 ini sebesar 38,1 juta ton dengan jumlah penduduk kurang lebih 250 juta orang. Sedangkan pada 1984 jumlah penduduk indonesia baru sekitar 161,6 juta orang dengan hasil produksi 25,8 juta ton. Nah secara sederhana, bila kita coba membandingkan seharusnya kapasitas produksi beras kita pada 2013 ini paling sedikit 50 juta ton. Baru surplus.

Tapi kondisi gagah perkasa itu tidak berlangsung lama. Presiden Soeharto lupa bahwa teknologi industri Indonesia dimasa orde baru, seperti kilang minyak, kilang gas, pembangkit listrik, pabrik-pabrik, dan industri strategis lainnya masih sangat bergantung kepada teknologi negara-negara maju yang sekaligus juga sebagai negara donor bagi Indonesia.

Keberadaan pabrik-pabrik pupuk BUMN kita, seperti Pupuk Sriwijawa (1959) Petrokimia Gresik (1972), Pupuk Kujang (1975) Pupuk Kaltim (1977), dan Pupuk Iskandar Muda (1982) dibuat dengan tujuan untuk kemandirian dan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Yang jadi masalah adalah untuk memproduksi pupuk, Indonesia masih tergantung dengan beberapa komponen impor seperti kallium, fosfat, dan masih banyak lagi – impor dibayar dengan dollar. Bayangkan kalau ada salah satu komponen bahan baku pupuk kita dimonopoli oleh AS, kemudian harga komponen tersebut dinaikan 500%, maka yang terjadi adalah harga produksi pupuk kita menjadi sangat tinggi. Akibatnya biaya produksi beras oleh para petani kita pun menjadi naik dan tidak layak lagi secara hitungan bisnis. Maka hancurlah pertanian kita – karena dihantam produk impor yang harganya lebih murah.

Bukan itu saja, persoalannya adalah apakah pabrik-pabrik pupuk BUMN itu meraih untung dari hasil produksinya? Karena pembangunan pabrik-pabrik pupuk tersebut berasal dari hutang. Kalau kinerja pabrik-pabrik pupuk itu merugi, ditambah para petani juga merugi, bisa dibayangkan bagaimana ketahanan pangan dan devisa kita! Ketergantungan teknologi dan bahan baku ini menjadi titik lemah strategi pembangunan jangka panjang Indonesia dalam menciptakan kemandirian bangsa, khususnya dalam menciptakan kedaulatan pangan nasional. Jadi tidak mengherankan bila sekarang kita mengimpor 29 produk pertanian cuma karena ketinggalan teknologi dan ketergantungan bahan baku strategis. Kalau pabrik pupuk rugi, petani rugi, devisa tersedot impor, ujung-ujungnya membebani APBN, yang pada gilirannya menghambat jalannya roda pembangunan Indonesia.

Nah, yang lebih jahat lagi adalah ketika Organisasi Internasional itu menjadi alat untuk menghancurkan ekonomi suatu negara – dengan istilah bantuan pemulihan ekonomi suatu negara. Kasus pemulihan ekonomi Indonesia oleh IMF sejak 1997 adalah contoh paling jelas dari kerja sistematis kekuatan asing menghancurkan kedaulatan ekonomi Indonesia. Sebuah bentuk Perang Asimetris yang dilancarkan Presiden Clinton untuk menggusur Presiden Soeharto.

Krisis moneter yang menimpa Indonesia pada 1997, benar-benar tidak terprediksi sebelumnya. Furman dan Stiglitz (1998), melihat bahwa di antara 34 negara bermasalah yang diambil sebagai sample penelitian, Indonesia adalah negara yang paling stabil bila terkena krisis. Fundamental ekonomi Indonesia diyakini cukup kuat untuk menahan efek krisis moneter tersebut.

Menurut Dr. Steve Henke, salah satu dari 25 tokoh yang paling berpengaruh di dunia versi majalah Forbes 1988, mengatakan bahwa krisis moneter Indonesia dimulai ketika jatuhnya nilai rupiah pada 14 Agustus 1997, ketika pemerintah mengambangkan nilai rupiah, suatu kebijakan yang disambut dengan tepuk tangan meriah dari IMF. Tekanan terhadap rupiah semakin meningkat pada bulan-bulan berikutnya, dan kemudian Indonesia secara resmi mengundang IMF dengan perjanjian pertama pada akhir Oktober 1997.

Sebenarnya, kebijakan pertama dalam persetujuan itu adalah menutup beberapa bank, yang menyebabkan kepanikan finansial yang memicu pelarian modal ke luar negeri (capital flight) dengan cepat. Pada mulanya rupiah sedikit melemah setelah pemerintah mengambangkannya pada bulan Agustus, sehingga banyak perusahaan swasta dengan utang dollar mulai membeli dollar dan menjual rupiah. Dengan demikian, rupiah mulai melemah. Pada awal Oktober, Indonesia mulai menampilkan IMF ke atas panggung. Aksi pertama IMF adalah menutup 16 bank pada 1 November 1997 – yang nota bene adalah bank yang sahamnya dimiliki oleh keluarga cendana dan kroninya. Misalkan, sebut saja putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, sebagai pemegang saham Bank Andromeda. Ada Ponco Sutowo, putra bekas dirut Pertamina Ibnu Sutowo yang menjadi pemegang saham Bank Pacific. Selain itu, ada pula pengusaha pribumi kondang Probosutedjo, yang juga saudara Pak Harto, pemilik Bank Jakarta. Ada juga Titiek Prabowo yang menjadi salah satu pemegang saham Bank Industri, dan seterusnya. Tetapi, langkah itu justeru menyebabkan kepanikan finansial dan mempercepat pelarian modal ke luar negeri. Dengan demikian, rupiah semakin tertekan.

Kemudian, pemerintah menandatangani perjanjian kedua dengan IMF, yang seharusnya bisa menstabilkan rupiah, pada Januari. Perjanjian ini, seperti yang pertama, tak berisi satu pun usaha untuk menstabilkan rupiah. Semua perjanjian itu dirancang untuk mematahkan kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) Soeharto dengan reformasi struktural ekonomi makro dalam jangka panjang. Tapi, memang tak ada satu pun poin yang ditujukan untuk menstabilkan rupiah.

Krisis berkepanjangan yang terjadi di Indonesia ternyata memang diciptakan oleh AS melalui tangan IMF dengan tujuan menjatuhkan Presiden Soeharto. Hal tersebut di akui sendiri oleh Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus dalam wawancara dengan The New York Times, bahwa IMF berada di balik krisis ekonomi yang melanda Indonesia. "Kami menciptakan kondisi krisis yang memaksa Presiden Soeharto turun." Pengakuan Camdessus ini menjadi bukti bahwa ada kekuatan asing yang tidak ingin melihat Indonesia menjadi negara maju dan kuat ekonominya.

Sejak awal, Presiden Soeharto ternyata sudah menyadari ada ketidakberesan dengan program pemulihan IMF dan kemudian mencoba mencari solusi lain. Pada akhir Januari 1998, Presiden Soeharto mengundang Dr. Steve Hanke yang menawarkan proposal CBS. Soeharto sangat senang, dan segera menginstruksikan Menteri Keuangan Mar`ie Muhammad, Gubernur BI Soedradjad Djiwandono, untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemberlakuan "Currency Board System."

Solusi CBS langsung ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Clinton dan IMF dengan alasan akan mengganggu konsistensi reformasi ekonomi Indonesia. Michel Camdessus mengancam Presiden Soeharto bahwa dia akan menangguhkan pinjaman IMF sebesar US$ 43 miliar apabila tetap melanjutkan program CBS. Tapi anehnya, pelaksanaan CBS di negara lain, seperti Argentina yang juga pasien IMF, dibolehkan. Begitu juga kontrol devisa yang dijalankan oleh Chili, berjalan dengan baik. Begitu pula seandainya waktu itu Indonesia menjalankan skema CBS mungkin perekonomian Indonesia bisa selamat.

Merton Miller, seorang penerima Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi, mengatakan bahwa penolakan Presiden Clinton dan IMF terhadap CBS di Indonesia, "Bukan karena program CBS itu tidak berjalan, tapi justru kalau program itu berjalan maka Presiden Soeharto akan tetap berkuasa". Dan pernyataan itu diamini oleh mantan Perdama Menteri Australia Paul Keating. Keating mengatakan bahwa, "AS memang sengaja menggunakan krisis ekonomi sebagai alat untuk menjatuhkan Soeharto."

Nah, apa akar permasalahan sesungguhnya yang membuat kemarahan besar AS kepada Presiden Soeharto. Penulis melihat ada tiga sebab yang bisa diperdebatkan. Pertama adalah ulah keluarga Soeharto yang mulai membangun oligarki bisnis bersama kroni-kroninya yang menggurita hampir disegala bidang usaha termasuk pertahanan keamanan. Kedua, tender-tender dan bisnis yang selama ini dimonopoli oleh korporasi transnasional AS mulai disingkirkan. Pak Harto mulai mengatur penunjukan langsung tender-tender yang strategis yang bernilai milyaran dollar untuk keluarga dan kroni-kroninya. Dan terakhir, Presiden Soeharto mulai membangkitkan kekuatan Islam di Indonesia melalui simbol ICMI.

Jadi jatuhnya Presiden Soeharto, bukan karena pecahnya elit perwira militer atau gerakan mahasiswa, tapi lebih karena skema perang asimetris yang dilancarkan AS melalui IMF. Dan seperti biasa, AS selalu menyiapkan siapa tokoh-tokohnya, serta figurannya, karena AS tidak ingin operasi kotornya diketahui publik. Meski begitu, pecahnya elit tentara menjadi kelompok “Merah Putih” dan kelompok “Hijau” memiliki koneksitas yang kuat dengan pensiun dininya Pangkostrad Letnan Jenderal Prabowo Subianto dari TNI.

Bahwa ada kepentingan Jenderal LB. Moerdani lewat tangan Letnan Jenderal (Purn) Harsudiono Hartas, mantan Kasospol ABRI, untuk menyingkirkan Prabowo Subianto dari TNI. Kekhawatiran Jenderal Moerdani merupakan representasi dari sang komandan besar AS, yang sangat khawatir bila Prabowo Subianto yang di cap “tentara hijau” akan menjadi pucuk pimpinan TNI dimasa depan – bahkan bisa menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia. LB Moerdani sendiri sejak awal sudah menyadari karir cemerlang Prabowo Subianto yang memang bukan seorang prajurit tempur biasa, tapi lebih kepada karakter seorang tentara revolusioner dan visioner. Apalagi setelah Prabowo Subianto menikah dengan putri Presiden Soeharto. Hal tersebut menambah kecemburuan banyak seniornya di TNI yang ingin tampil menjadi Presiden RI, seperti Profesor kita misalnya. Wah ngelantur.

Kembali kepada IMF. Bayangkan AS melalui tangan IMF menaklukkan Indonesia tanpa senjata dan peluru, cukup dengan memakai skema hutang yang melumpuhkan Bank Sentral Indonesia (BI) – yang memang merupakan titik lemah dalam strategi pembangunan Orde Baru. Dan untuk menghancurkan struktur dan fondasi ekonomi Indonesia IMF kemudian menggunakan skema Putaran Uruguay dengan alasan reformasi ekonomi – yakni liberalisasi, privatisasi dan kebebasan investasi. Akibat reformasi ala IMF ini, Indonesia pun langsung bangkrut menjadi negara miskin. Bukan itu saja, proteksi dan subsidi kepada pengusaha kecil harus dicabut karena haram hukumnya dalam kitab WTO. Bank-bank domestik yang dianggap sakit ditutup, dan sebagai gantinya didirikan cabang bank-bank asing. Disusul dengan semakin banyaknya restoran-restoran asing, perusahaan multinasional asing, dan sebagainya.

Seperti uraian diatas, AS gusar dengan ulah Presiden Soeharto yang berani menyerobot monopoli bisnis mereka di Indonesia, bahkan mulai membangkitkan kekuatan Islam, yang nota bene adalah musuh nomor satu AS. Nah, kepentingan inilah yang menyebabkan AS mendukung perlunya reformasi di Indonesia. Bukan karena masalah korupsi atau sikap otoriternya Presiden Soeharto. AS tidak peduli dengan semua itu. Karena  AS memiliki “standar ganda” dalam politik luar negerinya. Bagi AS yang paling penting adalah bisa bekerjasama untuk keuntungannya atas nama kepentingan nasional. Jadi waspadalah dengan kedatangan Clinton ke Indonesia pada 16 – 23 Juli mendatang. Clinton adalah sang aktor intelektual yang sukses menggusur Presiden Soeharto dengan perang asimetrisnya. Oleh karena itu, buat etnis Tionghoa, segera kabur, beli tiket. Biang kerusuhan etnis Mei 1998 akan datang ke Indonesia. Sekali lagi, waspadalah!

KEBANGKITAN CHINA DAN WTO

Ilmu Ulat Sutera, ya begitulah mungkin menggambarkan kebangkitan China di akhir abad 20. Kembalinya Deng Xioping ke panggung politik China dengan tangan dingin berhasil mengubah perjalanan sejarah China menyongsong abad 21. Dalam waktu singkat (1978-1987) China keluar dari kepompong untuk menantang dominasi AS dengan kekuatan ekonomi yang menakjubkan. Kebangkitan China yang begitu cepat ini memang mengejutkan banyak pihak, terutama kalangan intelektual dan ahli ekonomi yang tidak mampu menemukan kata-kata yang pas untuk melukiskan peristiwa metamorfosis negeri komunis tulen itu.

Deng Xioping, sang kreator berhasil meciptakan iklim investasi yang sangat kondusif bagi para investor dengan kebijakan regulasi yang memudahkan investor asing menanamkan modalnya di China bahkan ditambah paket insentif bagi investor yang mendirikan pabriknya.
Dengan iklim investasi yang baik, paket insentif yang menarik, dan dukungan infrastruktur yang memadai, China berhasil menyuburkan pertumbuhan ekonomi sangat fantastis, rata-rata tumbuh diatas 10% pertahun. Oleh karena itu dengan kepercayaan diri yang tinggi, ditopang kemajuan industri dalam negeri yang stabil – China mulai bergerak melakukan ekspansi pasar.

Setelah lama menjadi penonton, China akhirnya berani mengintegrasikan ekonominya ke dalam WTO meski ditolak oleh AS pada 2001. Dan kekhawatiran AS ternyata menjadi kenyataan. China dengan menunggangi WTO berhasil membuka dan memperluas ekspansi pasarnya ke daratan Asia, Eropa, Amerika, Afrika dan Autralia. PDB China melesat mencapai US$ 5.700 miliar melewati Jepang yang berada pada urutan kedua. China berhasil mengurangi angka penganguran rakyatnya dari 40% hingga tinggal 5%. Baru-baru ini berdasarkan rilis Fortune, China telah menempatkan 3 perusahaan yakni China National Petroleum, Sinopec dan State Grid dalam 10 besar perusahaan raksasa dunia. Padahal masih banyak lagi perusahaan China yang jauh lebih besar dari ketiga perusahaan tersebut.

WTO tidak mampu membendung melesatnya kekuatan ekonomi China. China sudah berhasil mendobrak hegemoni AS. Bahkan perusahaan-perusahaan China semakin efisien dalam mengorganisasikan perusahaan dan layanannya sehingga semakin lama semakin kompetitif. Bahkan mampu menghasilkan out put produk yang jauh lebih murah yang tidak mungkin dilakukan oleh negara-negara kapitalis.

Dengan memanfatkan skema multilateral trade agreement hasil Putaran Uruguay – China melakukan ekspansi ke negara-negara ASEAN dengan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) di Laos, November pada 2004. Dan setelah itu barang-barang produksi China yang berharga murah mulai membanjiri Indonesia. Industri dalam negeri terpukul, defisit neraca perdagangan Indonesia-China semakin dalam. Akibat banjirnya produk impor asal China membuat pelaku industri dalam negeri banting stir menjadi pedagang sehingga mulai bermunculan pusat-pusat perdagangan made in China.

AS dan Eropa yang sudah kewalahan menghadapi banjirnya produk China mulai melakukan tindakan proteksi untuk melindungi industri dalam negeri dan memaksa China untuk mematuhi aturan WTO. Namun China tidak peduli, terus bergerak menjunjung “pasar bebas” sebagaimana hasil kesepakatan Putaran Uruguay. Bahkan China sempat menyindir AS yang dianggap mengingkari globalisasi dan pasar bebas karena tidak mampu berkompetisi.

Sindiran China bukan tanpa alasan, karena belakangan banyak para pengusaha Cina yang tengah berupaya menanamkan modalnya di AS dibuat kecewa – lantaran pemerintah AS mulai memproteksi perusahaan –perusahaannya yang dianggap strategis untuk diambil alih perusahaan China. Seperti dalam kasus Hawker Beechcraft Inc. yang baru-baru ini gagal dibeli oleh Cina karena kekhawatiran pemerintah AS atas isu keamanan nasional. Di Oregon, langkah perusahaan Cina untuk mengerjakan proyek pembangkit listrik tenaga angin terhenti, cuma karena alasan dekat dengan pangkalan militer AS. Pengambilalihan produsen baterai, A123 Systems Inc. oleh perusahaan pembuat suku cadang kendaraan Cina pun batal. Pemerintah China gusar dengan tingkah pemerintah AS yang memandang investor Cina penuh prasangka, dan dianggap mengancam keamanan nasional AS.

JALUR SUTERA MARITIM ABAD 21

Sejak jaman dahulu para pedagang dari negeri China melintasi Laut China Selatan, sampai ke Semenanjung Malaya, melintasi Selat Malaka dan Selat Sunda, dan terus menyeberangi Samudera Hindia hingga ke Arabia. Rute ini kemudian dikenal dengan sebutan Jalur Sutera Maritim.

Jalur Sutera Maritim memang berawal dari Laut Cina Selatan yang kini menjadi isu terpanas di kawasan Asia tenggara, khususnya di gugusan kepulauan Spratly yang terletak di sebelah utara pulau Kalimantan. Kawasan ini diperebutkan oleh lima negara, yakni China, Vietnam, Brunei, Malaysia dan Filipina – karena diyakini kaya akan cadangan minyak dan gas bumi. Disamping itu, Laut China Selatan sampai Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas ekonomi barang dan jasa yang padat dengan nilai lebih dari US$ 1 trilyun per tahun. Dan setiap hari dilewati lebih dari 200 kapal tanker minyak dan gas.


Peta Klaim Setiap Negara di Laut China Selatan
Peta Klaim Setiap Negara di Laut China Selatan

 Kepentingan China sendiri sebenarnya adalah untuk mendorong integrasi ekonomi antar negara di Jalur Sutera, sehingga mempercepat koneksitas sistem ekonomi atar negara baik lewat darat maupun laut. Bila China berhasil mengintegrasikan sistem ekonominya maka batas teritorial antar negara sudah tidak penting lagi – karena dengan sistem ekonominya yang konstan – secara alamiah China akan dengan mudah mendominasi kawasan. Perang Asimetris adalah pilihan yang logis. Apalagi bila investasi dan relokasi industrinya berjalan lancar dan mampu meningkatkan pembangunan di Jalur Sutera – maka Imperium China akan segera berdiri lagi membelah dunia di abad 21.

Oleh karena itu, Jalur Sutera Maritim abad 21 memiliki arti sangat strategis bagi kepentingan nasional China. Tidak mengherankan bila untuk menguasai Jalur Sutera Maritim, China berusaha keras mengintegrasikan sistem ekonominya dengan seluruh negara-negara Asia Tenggara melalui ACFTA. Dengan integrasi sistem ekonomi ini, China berhasil membangun koneksitas ekonomi yang kuat dengan seluruh negara-negara dikawasan Jalur Sutera Maritim. Bahasa indonesianya: menjajah ekonomi negara-negara Melayu Asia Tenggara untuk dikuras bahan bakunya dan dijadikan kuli di negerinya atas nama investasi, pembangunan dan pasar bebas. Ingat jurus sakti penakluk dunia WTO!

Posisi Laut China Selatan memang sangat strategis disamping dikelilingi oleh banyak negara juga merupakan pintu perlintasan pelayaran ke Timur Jauh. Negara-negara Asia Tenggara pun dihubungkan oleh Laut China Selatan ini. Secara historis China memandang semua negeri yang terletak di Laut China Selatan itu dengan sebutan Nanhai atau Laut Selatan – oleh karena itu dalam peta, kawasan ini disebut Laut China Selatan.

Dengan kekuatan ekonominya saat ini, China sangat berkepentingan untuk memperkuat posisinya dikawasan jalur sutera, baik jalur darat maupun jalur laut. Terutama guna meningkatkan hubungan koneksitas ekonomi kawasan yang lebih intens – disamping memperkuat basis ideologis tentunya. Mumpung Beruang Merah Rusia sedang hibernasi.

Secara alamiah pendekatan historis, etnis dan ideologis China telah berhasil membangun iklim yang kondusif di negara-negara sepanjang Jalur Sutera Maritim, khususnya di Asia Tenggara, mulai dari Vietnam, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan seterusnya. Di Thailand, China bahkan berhasil menampilkan Thaksin Shinawatra dan Yingluck Shinawatra menjadi Perdana Meneri di negeri gajah putih tersebut – sehingga membuat kelompok nasionalis marah, Raja pun bertindak. Jadi tidak mengherankan kalau kudeta sering terjadi di Thailand, perang asimetris yang dilancarkan China menjadi salah satu gamenya. Nah, iklim ipoleksosbud Indonesia ternyata tidak cocok bagi metamorfosis kepompong ulat sutera. Masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi ganjalan serius bagi perkembangan imperium China di Jalur Sutera. Mengapa? Dengan bahasa sara, ternyata alam bawah sadar masyarakat Indonesia memiliki perasaan anti China yang bersifat reflek. Ya, reflek. Jadi perang asimetris yang dijalankan China untuk menguasai bangsa Indonesia seutuhnya merupakan pekerjaan rumah yang belum ketemu skemanya. Berkali-kali dilancarkan selalu terbentur dengan skema Glodok. Jadi yang meraka takutkan adalah bila meledak skema Grase (gerakan rakyat Semesta).

PENUTUP

Presiden Soeharto bukan Maha Patih Gajah Mada dari Majapahit. Tapi dengan memberi nama “PALAPA” pada satelit-satelit Indonesia di angkasa, Presiden Soeharto telah memulai langkah untuk membangkitkan kejayaan Nusantara. Membangkitkan Indonesia Raya abad 21. Terlepas dari kelemahannya, Presiden Soeharto telah membangun visi Indonesia jauh ke masa depan melewati zamannya. Bukan dengan bicara, tapi dia beli sepuluh “Satelit Palapa” dan membangun puluhan “Stasiun Bumi” di seluruh penjuru negeri. Tapi sayang, cita-cita itu dikhianati. INDOSAT dijual oleh pemimpin negeri yang tidak memiliki visi. NKRI pun telanjang. Menjadi ajang penyadapan asing.

Memang perjalanan Indonesia sebagai suatu negara bangsa tidaklah mudah. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah telah mengundang berbagai pihak asing untuk menguasainya. Tidak mengherankan bila korporasi transnasional kapitalis liberalis serta komunis berusaha untuk menguras sumber daya alam Indonesia sampai habis, sambil menjadikan Indonesia sebagai pasar produk-produk mereka. Dan berhasil. Inilah paradoks Indonesia, negara kaya tapi rakyatnya miskin. Bahkan menjadi kuli di negeri sendiri.

Fenomena bangkitnya ekonomi China, bubarnya Uni Soviet, berdirinya WTO, krisis moneter dunia hingga tampilnya IMF dan World Bank sebagai aktor penyelamat krisis moneter dunia telah menggeser peran negara bangsa sebagai aktor utama hubungan internasional abad 21. Dan dengan kemajuan teknologi satelit komunikasi yang mampu menembus batas-batas negara, telah merubah peradaban umat manusia. Bumi telah menjadi kampung kecil. Negara bangsa pun kehilangan makna. Pak Tukirin pun masuk penjara – difitnah korporasi transnasional yang menggurita.

Dalam sejarah perkembangan negara bangsa modern memang belum ada kebangkitan suatu negara yang begitu cepat seperti China. Kecuali Jerman dibawah kepemimpinan Hitler yang berhasil membawa Jerman menjadi negara super power. Hitler mampu membangkitkan kekuatan industri dalam negeri berdiri diatas kaki sendiri. Hitler juga berhasil membuka lapangan kerja bagi rakyatnya, dan mensejahterakan rakyatnya dalam waktu singkat. Sayang Jerman terjebak dalam Perang Dunia II, dan dikalahkan sekutu.

Seperti halnya Jerman, China kini muncul sebagai kekuatan super power ekonomi dunia. Sebagai anggota WTO, China  berhasil mengguncang dunia melalui mekanisme dan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang telah disepakati dalam Putaran Uruguay. Bukan itu saja, China mulai ahli menggunakan jurus-jurus andalan WTO untuk menaklukan dunia. Imperium China abad 21 mulai manampakkan wujudnya. Hegemoni AS dan dollar pun mulai digoyang.

Sumber : GFI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar