Sabtu, 19 Juli 2014

Tak Hanya Romantisme Poros Maritim, Indonesia Butuh Shipping Corporated

Doktrin Indonesia menjadi poros maritim dunia sudah mendapat perhatian luas. Ide ini dilontarkan Calon Presiden Joko Widodo dalam beberapa kesempatan dan menjadi bagian integral dari visi misi pencapresan.


Pelabuhan Bitung
Pelabuhan Bitung


Ide tentang poros maritim dunia itu berangkat dari pemahaman geostrategis Indonesia yang mayoritas wilayahnya didominasi lautan dan berada di alur laut pelayaran dunia yang sangat strategis. Sayangnya, selama ini potensi itu belum dimanfaatkan secara maksimal.

Pengamat pelayaran dan maritim Indonesia, Siswanto Rusdi, ikut mengomentari doktrin poros maritim tersebut. Menurutnya, sebelum bicara poros maritim dunia, perlu ada penyamaan persepsi mengenai apa yang disebut sebagai istilah maritim. Karena, titik tekan istilah maritim terletak pada bidang pelayaran, pelabuhan, dan kepelautan.

“Bahasa maritim itu adalah bahasa pelayaran, bahasa pelabuhan, dan bahasa pelaut,” katanya.

Saat ini, seolah-olah maritim hanya disempitkan pada perbaikan nasib nelayan dan perikanan. Sedangkan jika ingin menjadi kekuatan poros maritim maka pelayaran dan pelabuhan-lah yang harus dikuatkan.

Menurut Rusdi, kondisi pelayaran saat ini masih jauh dari harapan. Pelayaran hanya jago kandang. Seharusnya bisa didorong agar pelayaran bisa berbicara di level internasional. Jika itu bisa diwujudkan, baru bisa berbicara kekuatan poros maritim.

“Yang lebih riil sekarang, berapa banyak jumlah kapal kita yang ke luar negeri? Bisnis pelayaran ini adalah bisnis global. Tidak ada yang mainnya hanya di dalam negeri saja,” ujar Rusdi.

Kerja Konkret

Ia tidak melihat ada program yang mengarah kepada penguatan pelayaran nasional dalam program Jokowi, sehingga yang terlihat hanya romantisme belaka.

“Mari kita bicara pada tataran konkret. Jangan bicara pada tataran abstrak,” ajaknya.

Menurutnya, Kebijakan konkret yang bisa dibuat, misalnya dengan membuat Indonesia Shipping Corporated, semacam pull kapal yang melayani rute internasional. Pesertanya adalah perusahaan-perusahaan pelayaran yang mampu dan mau, serta pemerintah harus bisa memberikan insentif kepada perusahaan pelayaran tersebut.

“Ini yang lebih konkret,” tegasnya.

Adapun konsep Tol Laut yang digadang-gadang kubu Jokowi sebagai solusi konektivitas nasional, menurut Rusdi, belum bisa secara substansi menjawab masalah konektivitas di Indonesia. Pasalnya, tanpa konsep tersebut pun sudah ada trayek-trayek tetap petikemas yang melayani rute yang ada dalam Tol Laut.

“Pada kenyataannya, yang ada sekarang ini pun kondisinya banting-bantingan harga,” tuturnya.

Ia menganggap, ada kesalahan anggapan dari para penggagas ide Tol Laut ketika menganggap bisnis petikemas tidak memiliki jadwal dan rute tetap. Padahal, salah satu karakter dasar dari bisnis petikemas selalu terjadwal.

“Sudah ada jadwal dan rute tetap dari pelayaran yang ada sekarang, seperti yang dilakukan Meratus atau Tempura Mas. Kalau maksud Tol Laut hanya ingin memastikan jadwal dan rute, bisa marah mereka,” ucap Rusdi.

Menurutnya, para penggagas ide Tol Laut tidak mengetahui sejarah bisnis petikemas. Ia menjelaskan, dahulu sebelum ada petikemas, orang memakai general cargo. Sistem pada general cargo tidak berjadwal. Maka dari itu dibuatlah sistem petikemas berjadwal. (JMOL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar