Jumat, 03 Juli 2015

Ketika Berita Musibah Disiarkan



Cermin buruk muka kita adalah, jika ada peristiwa musibah yang mengejutkan publik bersama korban yang besar, kejadiannya dramatis dengan frekuensi siar yang luas maka selalu ada omongan emosional yang berlebihan “kapasitas air liurnya”. Contoh terakhir adalah musibah jatuhnya pesawat militer angkut berat Hercules TNI AU di Medan 30 Juni 2015 lalu yang menewaskan lebih seratus jiwa warga bangsa  ini.



Belum lagi selesai evakuasi, masih mengalir deras airmata duka keluarga korban, komentar yang dilontarkan mereka yang merasa sok tahu menyudutkan pemilik alutsista. Yang bilang pesawat tua lah, lalu ngomong pesawat hibah, lalu komentar kurang perawatan, dikomersialkan, kelebihan beban dan sebagainya. Padahal musibah baru hitungan jam dimana prioritas adalah evakuasi korban dan pemberitahuan kepada keluarga korban.

Hercules Indonesia

Itulah kita, begitu banyak stasiun penyiaran TV, Radio dan media cetak hanya mengejar kecepatan siar dan terbit dimana nilai kecepatan itu mengabaikan akurasi dan kelayakan. Sodoran pertanyaan yang diajukan ke wakil rakyat dan pengamat abal-abal, jawabannya seperti “firman tuhan” dengan mengatakan musibah itu karena alutsista renta dan jompo. Jadi dia sudah memastikan bahwa penyebabnya alutsista tua bangka.
 Padahal penyelidikan dan penelitian belum dimulai.  Lalu kecelakaan pesawat militer angkut berat Airbus A400M di Spanyol baru-baru ini, apakah karena alutsista itu sudah tua. Jelas tidak, itu pesawat baru, gress yang mau dikirim ke Turki sebagai negara pembeli.  Jatuh juga.



Pihak media juga punya andil dalam menyodorkan rekaman wawancaranya, mestinya jika ada berita musibah, kunjungilah pemuka agama, apakah dia ulama, pendeta, bikshu, setidaknya komentar mereka akan memberikan opini yang menyejukkan sebagai media muhasabah, merenungkan diri lalu bergegas memperbaiki diri. Kalau selalu orang parlemen dan pengamat sentimen berbasis oppsisi yang dihubungi pasti jawabannya tidak mengedepankan dukacitanya tetapi lebih kepada selalu menyalahkan pemilik asset atau yang punya inventaris. Setidaknya numpang populer diatas penderitaan orang lain.



Pesawat Hercules yang dimiliki TNI AU semua ada dalam kontrol perawatan yang ketat. Meski pesawat yang jatuh itu buatan tahun 1964 tetapi hampir seluruh komponen mesin, instrumen perkabelan, avionik sudah berganti, sudah di retrofit. Yang jelas hanya rangkanya saja yang lama, tetapi jeroannya tidak lagi keluaran tahun 1964.  Jika kecelakaan itu disebabkan sayapnya patah atau ekornya lepas atau yang dikenal dengan “keletihan logam” barulah bisa disebut penyebabnya karena uzur.  Tidak ada pesawat uzur karena komponennya selalu diganti sesuai umur teknisnya.

A400M, yang sedang digadang-gadang TNI AU

Saat ini TNI AU sedang berupaya meningkatkan jumlah armada Herculesnya dengan mendatangkan 9 pesawat “Badak” itu dari Australia.  TNI AU saat ini memiliki 2 skuadron angkut berat Hercules yang bermarkas di Halim Jakarta dan Abdurrahman Saleh Malang dengan kekuatan 28 pesawat. Dalam lima tahun ke depan akan ditambah 1 skuadron lagi dan ber home base di Makassar.  Hercules bagaimanapun dikenal sebagai pesawat yang tangguh dan berjasa dalam perjalanan bangsa ini.  Sebagai negara kepulauan yang besar frekuensi jalan pesawat gagah ini cukup tinggi mengarungi berbagai pulau di tanah air.



Harapan kita, program pengadaan alutsista 9 Hercules dari Australia ini tetaplah berlangsung.  Saat ini kita sudah menerima 4 pesawat yang sebelum dikirim diretrofit dulu disana. Pengadaan pesawat angkut berat baru menguras duit anggaran pertahanan.  Soalnya kita baru sadar diri lima tahun belakangan ini untuk memodernisasi alutsista kita. Selama dua puluh lima tahun sebelumnya tidak ada sama sekali pengadaan alias pembelian pesawat angkut Hercules atau penggantinya.




Kementerian Pertahanan sudah menjajaki rencana pembelian pesawat angkut berat Airbus A400M dari Spanyol.  Harga pesawat baru ini seperti yang dipesan Malaysia untuk 4 unit nya mencapai US 1,1 milyar.  Cukup mahal, jadi realistis dengan anggaran pertahanan yang disedot untuk beli alutsista lain seperti jet tempur, kapal perang, kapal selam, untuk pesawat angkut berat kita percaya Hercules tetap masih menjadi andalan.  Mudah-mudahan dalam lima tahun ke depan kita sudah dapat memiliki 2-3 pesawat baru A400M yang secara bertahap mengantikan peran Hercules.



Musibah adalah media muhasabah dan selayaknya kita mendoakan para korban dan keluarganya. Kecelakaan yang dialami jelas karena berbagai faktor.  Biarlah tim yang berwenang yang akan melakukan tugasnya untuk memastikan penyebabnya.  Drama pemberitaan yang menjadi perhatian itu semoga dapat kita saring dan filter sendiri.  Kita tidak bisa menyuruh media bicara akurasi, fakta, opini. Kita yang menjadi penentu nilai berita yang disampaikan. Kita yang mengobyektifkaan nilai berita itu pada relung hati kita. Korban Hercules itu adalah tentara dan keluarga tentara serta penumpang sipil.  Tentara yang sedang bertugas untuk menjaga republik itu pantas dianugerahi penghargaan.  Kepada keluarga besar TNI AU, tetaplah tegar sebagai pengawal kedaulatan dirgantara.

****

Jagarin Pane / 02 Juli 2015 / http://analisisalutsista.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar