Sukarno, M Hatta, Moshe Sharett, Chaim Weizmann, Ben Gurion. |
INDONESIA baru saja memperingati hari kemerdekaannya ke-68. Ingatan
publik kembali pada masa-masa awal lahirnya Republik Indonesia, termasuk
bagaimana ia mendapat pengakuan de jure dari dunia internasional.
Dunia Arab, terutama negeri-negeri Muslim, yang mula-mula memberi pengakuan setelah adanya anjuran dari Dewan Liga Arab pada 18 November 1946. Namun ternyata Israel, negara yang dikenal kerap memicu konflik di Timur Tengah, turut mengakui. Harapannya, Indonesia memberi pengakuan serupa kepada Israel.
Pada Desember 1949, tak lama setelah pemerintah Belanda menandatangani penyerahan kedaulatan Indonesia, Presiden Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion mengirim telegram kepada Presiden Sukarno dan Menteri Luar Negeri (kemudian Wakil Presiden) Mohammad Hatta. Mereka menyampaikan ucapan selamat. Pada Januari 1950, Menteri Luar Negeri Moshe Sharett mengirim telegram ke Hatta, memberitahukan bahwa Israel telah memutuskan untuk memberikan pengakuan penuh kepada Indonesia.
“Hatta menanggapi apa yang dilakukan Sharett dan Ben-Gurion dengan ucapan terima kasih, namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik,” tulis Colin Rubenstein, direktur eksekutif Australia/Israel and Jewish Affairs Council (AIJAC), dalam “Indonesia And Israel: A Relationship In Waiting”, dimuat Jewish Political Studies Review, Maret 2005.
Merasa sikapnya bertepuk sebelah tangan, Sharett kembali menulis surat soal rencana pengiriman misi muhibah ke Indonesia. Dalam sebuah surat balasan yang dikirim pada Mei 1950, Hatta menyarankan supaya misi tersebut ditunda untuk waktu yang tak ditentukan.
Keengganan Indonesia untuk berurusan dengan Israel terus berlanjut. Pada Juni 1952, kantor berita Antara melaporkan bahwa pemerintah Indonesia tak berniat mengakui Israel. Berita ini dikutip pers di negara-negara Arab dan Pakistan. “Sebabnya, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dan karena negara-negara Arab telah memberikan dukungan kepada Indonesia selama perjuangan untuk kemerdekaan,” tulis Rubenstein.
Pada 1953, Sukarno mulai menggagas konferensi negara-negara Asia dan Afrika yang akan digelar di Indonesia. Dalam sebuah pertemuan para calon peserta, negara-negara seperti Burma, India, dan Srilanka, mendukung supaya Israel diikutsertakan. Namun, Indonesia bersama Pakistan bersikeras menolaknya. Akhirnya saat digelar Konferensi Asia Afrika pada April 1955, Israel tidak ikut berpartisipasi.
Pada 1957, ketika tim nasional Indonesia lolos di zona Asia dan tinggal menghadapi Israel untuk ikut ke Piala Dunia 1958 di Swedia, Indonesia menolak untuk main di Jakarta atau Tel Aviv, ibukota Israel. Indonesia hanya mau main di tempat netral, tetapi ditolak oleh Federasi Sepakbola Dunia (FIFA). Indonesia pun mengundurkan diri. Tak hanya itu, Sukarno bahkan dengan lantang menentang keikutsertaan Israel –dan Taiwan– dalam Asian Games pada 1962 di Jakarta.
Sikap antiimperialisme Sukarno juga mempengaruhi sikap Indonesia. “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel,” kata Sukarno dalam pidatonya pada 1962. Hubungan diplomatik antara Indonesia-Israel memang tak terwujud, hingga kini.
OLEH: FAJAR RIADI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar