JAS MERAH….Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah, demikian ucapan
Presiden Republik Indonesia yang pertama Soekarno yang mengingatkan
generasi penerus untuk jangan terlena dengan kejadian sekarang saja
namun juga harus mengingat Sejarah Perjuangan. Peristiwa saat ini bisa
jadi terkait dengan rangkaian kejadian atau bahkan Design dari peristiwa
yang terjadi di masa lalu. Pada masa Soekarno militer Indonesia cukup
disegani oleh Blok Barat hal ini dikarenakan adanya dukungan alutsista
dari Blok Timur yang disuplai oleh Uni Soviet.
Untuk meruntuhkan kekuatan pemerintahan dan militer Indonesia yang dirasa pro Blok Timur maka dilakukanlah Operasi Rahasia oleh CIA yang mengakibatkan tumbangnya Orde Lama dan diganti dengan Orde Baru. Pergantian arah politik ternyata juga diikuti dengan perubahan suplai alutsista dari Blok Barat dan tentu saja membawa konsekwensi mangkraknya alutsista dari Blok Timur.
Pada masa pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang awalnya didukung Blok Barat namun pada akhirnya dinilai sudah mulai membahayakan Blok Barat. Pendirian PT Nurtanio yang akan memproduksi pesawat sipil dinilai sebagai salah satu kebijakan pemerintahan Soeharto yang berbahaya bagi bisnis Blok Barat. Alhasil melalui IMF Blok Barat meminta IPTN untuk dilikuidasi. Dalam foto diatas yang diambil pada tanggal 15 Januari 1998 tampak tangan Michael Camdessus, direktur IMF, bersedekap sambil mengawasi Presiden Soeharto yang menunduk menandatangani perjanjian IMF.
Perjanjian itu memberikan dana bailout untuk Indonesia yang sedang menghadapi krismon (krisis moneter), dengan syarat Presiden Soeharto harus menjalankan austerity: mengencangkan anggaran nasional. Sekalipun mendapat bantuan dana bailout lima bulan kemudian kepercayaan ekonomi tak kunjung membaik dan Presiden Soeharto selaku pemegang kendali pemerintahan orde baru itu akhirnya jatuh setelah berkuasa 32 tahun.
Sejarah Industri penerbangan Indonesia dimulai sejak perusahaan penerbangan didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Saat itu BJ Habibie memimpin sebagai Presiden Direktur. Nama perusahaan berganti lagi menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Masalah mulai muncul pada masa ini, dimana Indonesia memasuki krisis ekonomi yang parah. Pemerintah meminta bantuan IMF tapi dengan syarat IPTN harus ditutup atau menghentikan produksinya.
Kala itu IPTN sedang menggarap pesawat N-2130, proyek ini terpaksa dihentikan karena krisis finansial. Selain itu pesawat andalannya N250 di tahun 1998 juga terpaksa tidak dilanjutkan. Akibatnya banyak PHK terjadi di tubuh IPTN, dari 16.000 karyawan dipangkas hingga hanya 4.000 karyawan saja. Produktivitas IPTN pun turun drastis. Bahkan perusahaan juga sempat tak mampu membayar gaji dan pesangon karyawan yang kena PHK.
IPTN kemudian setelah dilakukan restrukturisasi berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000. PT. Dirgantara Indonesia tidak hanya memproduksi berbagai bagian pesawat fixed wing saja, tetapi juga rotary wing seperti helikopter, senjata, menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat. Di samping itu perusahaan BUMN ini juga menjadi sub-kontraktor untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Airbus, General Dynamic, Boeing, Fokker, dan lain sebagainya.
Tantangan berat kembali dihadapi PT DI karena dinilai tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun dan jaminan hari tua kepada mantan karyawannya, PT DI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 September 2007. Namun pada tanggal 24 Oktober 2007 keputusan pailit tersebut dibatalkan.
Baru pada tahun 2012 boleh dikata merupakan momen kebangkitan PT Dirgantara Indonesia yang ditandai dengan pengiriman 4 pesawat CN235 pesanan Korea Selatan. Disamping itu PT DI juga sudah menyelesaikan 3 pesawat CN235 pesanan TNI AL, dan 24 Heli Super Puma lisensi dari EUROCOPTER. Dan kini mulai membangun pesawat C295 (CN235 versi jumbo) dan N219, dan memasuki lini kerja sama dengan Korea Selatan dalam membangun pesawat tempur siluman KFX/IFX.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PT Dirgantara Indonesia mulai kebanjiran order baik pesanan pesawat/bagian pesawat Fixed Wing maupun Rotary Wing. Proyek ambisius pesawat fighter nasional IFX/KFX mulai digarap dan mengalami kondisi maju mundur setelah beberapa kali mengalami penundaan oleh pihak pemerintah Korea Selatan. Proyek KFX/IFX ini sebenarnya juga mengandung risiko operasional yang besar karena selaku calon rekanan yang masuk yakni Lockheed Martin dan Airbus adalah sama-sama perusahaan dari anggota NATO yang dapat melakukan embargo sewaktu-waktu.
Dengan mensikapi kondisi geopolitik terkini seperti memanasnya konflik Laut Cina Selatan, perebutan pulau Senkaku antara Jepang dan China hingga masalah eksekusi gembong narkoba yang berdampak pada “ngambeknya” negara sahabat seperti Brazil dan Australia maka jelas harus masuk poin pertimbangan tersendiri untuk pengadaan alutsista.
Persoalan dengan pemerintah Australia sesungguhnya lebih sensitif lagi setelah Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengkaitkan eksekusi mati warga Australia (duo Bali Nine) dengan mengungkit bantuan yang pernah diberikan kepada korban Tsunami di Aceh, hibah pesawat Hercules, bantuan pelatihan militer dan terakhir kasus penyadapan kembali membuka luka lama. Pertimbangan lainnya adalah besar dan jenis belanja alutsista dari negara tetangga, seperti Australia yang telah mengumumkan pengadaan 72 unit pesawat F35 sebagai pengganti F111.
Setelah mengalami masa paceklik alutsista sebagai akibat embargo Blok Barat maka pada masa pemerintahan Presiden Megawati mulai kembali mengingat sejarah kejayaan alutsista Indonesia di masa Presiden Soekarno dan merealisasikan pembelian alutsista pesawat tempur ke Rusia. Presiden Megawati mampu membeli pesawat tempur milik Rusia (2unit SU 27, 2 unit SU 30 dan 2 unit Helicopter MI35), dengan cara melakukan kontrak dan barter hasil CPO dan karet alam Indonesia. Kini sedang dilakukan negosiasi intens untuk pengadaan Sukhoi family yang harus disertai dengan Transfer of Technology (ToT).
Untuk pemberian ToT pastilah tidak mungkin diberikan untuk pembelian dalam jumlah kecil atau terbatas. Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi berkeinginan mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia yang Maju dan Mandiri, maka meskipun dalam jangka pendek Indonesia belum akan membeli kapal induk namun diramalkan akan ada pengadaan Sukhoi 33 versi maritim 1 full skadron untuk TNI AL. Dalam tulisan kali ini penulis meramalkan akan ada Deal Eksekusi yang dilakukan Presiden Jokowi terkait dengan pengadaan Sukhoi Family.
Dengan Deal ini nantinya akan menjadi penyeimbang pengadaan alutsista karena kalaupun ada negara yang mengenakan embargo tetap saja PT. DI masih dapat beroperasi karena menerapkan Dual Lini Operasi Alutsista berbasis teknologi NATO (Barat) dan Teknologi Rusia (Timur).
Dengan memperhatikan makna skuadron sebagai satuan dalam angkatan udara yang biasanya terdiri dari 12, 16 hingga 24 pesawat, tergantung jenis pesawat dan negara, maka di kebanyakan angkatan udara, 2 atau 3 skuadron membentuk satu wing. Dengan adanya Deal Sukhoi family dimaksud maka dimungkinkan dalam 1 wing tempur nantinya terdapat lebih dari 1 skadron dari type pesawat tempur yang sama.
Diposkan : Ayoeng_Biro Jambi/JKGR
Untuk meruntuhkan kekuatan pemerintahan dan militer Indonesia yang dirasa pro Blok Timur maka dilakukanlah Operasi Rahasia oleh CIA yang mengakibatkan tumbangnya Orde Lama dan diganti dengan Orde Baru. Pergantian arah politik ternyata juga diikuti dengan perubahan suplai alutsista dari Blok Barat dan tentu saja membawa konsekwensi mangkraknya alutsista dari Blok Timur.
Pada masa pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang awalnya didukung Blok Barat namun pada akhirnya dinilai sudah mulai membahayakan Blok Barat. Pendirian PT Nurtanio yang akan memproduksi pesawat sipil dinilai sebagai salah satu kebijakan pemerintahan Soeharto yang berbahaya bagi bisnis Blok Barat. Alhasil melalui IMF Blok Barat meminta IPTN untuk dilikuidasi. Dalam foto diatas yang diambil pada tanggal 15 Januari 1998 tampak tangan Michael Camdessus, direktur IMF, bersedekap sambil mengawasi Presiden Soeharto yang menunduk menandatangani perjanjian IMF.
Perjanjian itu memberikan dana bailout untuk Indonesia yang sedang menghadapi krismon (krisis moneter), dengan syarat Presiden Soeharto harus menjalankan austerity: mengencangkan anggaran nasional. Sekalipun mendapat bantuan dana bailout lima bulan kemudian kepercayaan ekonomi tak kunjung membaik dan Presiden Soeharto selaku pemegang kendali pemerintahan orde baru itu akhirnya jatuh setelah berkuasa 32 tahun.
Sejarah Industri penerbangan Indonesia dimulai sejak perusahaan penerbangan didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Saat itu BJ Habibie memimpin sebagai Presiden Direktur. Nama perusahaan berganti lagi menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Masalah mulai muncul pada masa ini, dimana Indonesia memasuki krisis ekonomi yang parah. Pemerintah meminta bantuan IMF tapi dengan syarat IPTN harus ditutup atau menghentikan produksinya.
Kala itu IPTN sedang menggarap pesawat N-2130, proyek ini terpaksa dihentikan karena krisis finansial. Selain itu pesawat andalannya N250 di tahun 1998 juga terpaksa tidak dilanjutkan. Akibatnya banyak PHK terjadi di tubuh IPTN, dari 16.000 karyawan dipangkas hingga hanya 4.000 karyawan saja. Produktivitas IPTN pun turun drastis. Bahkan perusahaan juga sempat tak mampu membayar gaji dan pesangon karyawan yang kena PHK.
IPTN kemudian setelah dilakukan restrukturisasi berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000. PT. Dirgantara Indonesia tidak hanya memproduksi berbagai bagian pesawat fixed wing saja, tetapi juga rotary wing seperti helikopter, senjata, menyediakan pelatihan dan jasa pemeliharaan (maintenance service) untuk mesin-mesin pesawat. Di samping itu perusahaan BUMN ini juga menjadi sub-kontraktor untuk industri-industri pesawat terbang besar di dunia seperti Airbus, General Dynamic, Boeing, Fokker, dan lain sebagainya.
Tantangan berat kembali dihadapi PT DI karena dinilai tidak mampu membayar utang berupa kompensasi dan manfaat pensiun dan jaminan hari tua kepada mantan karyawannya, PT DI dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 September 2007. Namun pada tanggal 24 Oktober 2007 keputusan pailit tersebut dibatalkan.
Baru pada tahun 2012 boleh dikata merupakan momen kebangkitan PT Dirgantara Indonesia yang ditandai dengan pengiriman 4 pesawat CN235 pesanan Korea Selatan. Disamping itu PT DI juga sudah menyelesaikan 3 pesawat CN235 pesanan TNI AL, dan 24 Heli Super Puma lisensi dari EUROCOPTER. Dan kini mulai membangun pesawat C295 (CN235 versi jumbo) dan N219, dan memasuki lini kerja sama dengan Korea Selatan dalam membangun pesawat tempur siluman KFX/IFX.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, PT Dirgantara Indonesia mulai kebanjiran order baik pesanan pesawat/bagian pesawat Fixed Wing maupun Rotary Wing. Proyek ambisius pesawat fighter nasional IFX/KFX mulai digarap dan mengalami kondisi maju mundur setelah beberapa kali mengalami penundaan oleh pihak pemerintah Korea Selatan. Proyek KFX/IFX ini sebenarnya juga mengandung risiko operasional yang besar karena selaku calon rekanan yang masuk yakni Lockheed Martin dan Airbus adalah sama-sama perusahaan dari anggota NATO yang dapat melakukan embargo sewaktu-waktu.
Dengan mensikapi kondisi geopolitik terkini seperti memanasnya konflik Laut Cina Selatan, perebutan pulau Senkaku antara Jepang dan China hingga masalah eksekusi gembong narkoba yang berdampak pada “ngambeknya” negara sahabat seperti Brazil dan Australia maka jelas harus masuk poin pertimbangan tersendiri untuk pengadaan alutsista.
Persoalan dengan pemerintah Australia sesungguhnya lebih sensitif lagi setelah Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengkaitkan eksekusi mati warga Australia (duo Bali Nine) dengan mengungkit bantuan yang pernah diberikan kepada korban Tsunami di Aceh, hibah pesawat Hercules, bantuan pelatihan militer dan terakhir kasus penyadapan kembali membuka luka lama. Pertimbangan lainnya adalah besar dan jenis belanja alutsista dari negara tetangga, seperti Australia yang telah mengumumkan pengadaan 72 unit pesawat F35 sebagai pengganti F111.
Setelah mengalami masa paceklik alutsista sebagai akibat embargo Blok Barat maka pada masa pemerintahan Presiden Megawati mulai kembali mengingat sejarah kejayaan alutsista Indonesia di masa Presiden Soekarno dan merealisasikan pembelian alutsista pesawat tempur ke Rusia. Presiden Megawati mampu membeli pesawat tempur milik Rusia (2unit SU 27, 2 unit SU 30 dan 2 unit Helicopter MI35), dengan cara melakukan kontrak dan barter hasil CPO dan karet alam Indonesia. Kini sedang dilakukan negosiasi intens untuk pengadaan Sukhoi family yang harus disertai dengan Transfer of Technology (ToT).
Untuk pemberian ToT pastilah tidak mungkin diberikan untuk pembelian dalam jumlah kecil atau terbatas. Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi berkeinginan mewujudkan Indonesia Sebagai Poros Maritim Dunia yang Maju dan Mandiri, maka meskipun dalam jangka pendek Indonesia belum akan membeli kapal induk namun diramalkan akan ada pengadaan Sukhoi 33 versi maritim 1 full skadron untuk TNI AL. Dalam tulisan kali ini penulis meramalkan akan ada Deal Eksekusi yang dilakukan Presiden Jokowi terkait dengan pengadaan Sukhoi Family.
Dengan Deal ini nantinya akan menjadi penyeimbang pengadaan alutsista karena kalaupun ada negara yang mengenakan embargo tetap saja PT. DI masih dapat beroperasi karena menerapkan Dual Lini Operasi Alutsista berbasis teknologi NATO (Barat) dan Teknologi Rusia (Timur).
Dengan memperhatikan makna skuadron sebagai satuan dalam angkatan udara yang biasanya terdiri dari 12, 16 hingga 24 pesawat, tergantung jenis pesawat dan negara, maka di kebanyakan angkatan udara, 2 atau 3 skuadron membentuk satu wing. Dengan adanya Deal Sukhoi family dimaksud maka dimungkinkan dalam 1 wing tempur nantinya terdapat lebih dari 1 skadron dari type pesawat tempur yang sama.
Diposkan : Ayoeng_Biro Jambi/JKGR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar