Australia merupakan negara paling selatan di belahan bumi ini dan
boleh dibilang terisolir dari dunia luar. Indonesia sejatinya merupakan
satu-satunya negara besar yang melindunginya dari serangan dunia luar.
Seharusnya dengan berdamai dan menjadi sekutu/mitra yang baik dengan
Indonesia maka Australia dipastikan akan aman sejahtera. Namun entah
kenapa negeri kangguru ini lebih cenderung menganggap Indonesia sebagai
musuh. Militer Australia telah merencanakan memiliki sedikitnya 4 kapal
LHD Canberra Class yang didesain untuk melakukan serangan amfibi dengan
Helikopter Serbu dan bisa saja ada rencana terselubung untuk mengisinya
dengan F35C. Rencana terselubung ini bisa dibaca dari adanya Ski Jump
pada LHD Canberra Class yang dapat difungsikan untuk mendukung F-35
Lightning II bisa take-off dengan beban maksimum.
Indonesia hingga saat ini satu-satunya negara yang memegang teguh
prinsip Non-Block. Kalo sekedar mau cari aman saja sebenarnya cukup
condong ke kanan maka Amerika dengan FPDA akan “melindungi.” Ancaman
NKRI melalui Langit Nusantara kedepan dapat timbul dari proyeksi koleksi
pesawat tempur Australia yang setidaknya meliputi F 35 berbagai varian,
F/A-18 Super Hornet dan EA-18G Growler, Singapura yang memiliki
setidaknya F35 berbagai varian, F15 varian Strike Eagle dan Silent
Eagle, belum lagi koleksi pesawat tempur milik New Zealand, Malaysia dan
Amerika yang disiagakan di seputar Australia dan Kapal Induk.
Melihat potensi konflik dikawasan asia yang semakin besar terutama
dikaitkan dengan gejolak klaim LCS oleh China dan serangan dari selatan
maka diperlukan segera perubahan manajemen KOOPSAU yang saat ini boleh
terbilang sangat rentan. Sebaran dan kualitas radar milik TNI AU perlu
segera ditambah dan dilakukan peremajaan serta penjagaan oleh PASKHAS
dengan peralatan yang mumpuni seperti Skyshield, Starstreak, dan S300
family (S400 dan S500).
Australia sendiri hingga saat ini masih mengoperasikan radar Jindale
(Radar Over The Horizon) yang dapat meliputi wilayah Indonesia. Apabila
suatu ketika terjadi perang terbuka antara militer Indonesia Vs
Australia maka sekalipun Skadron Sukhoi TNI AU dapat meladeni Dog Fight
namun dengan komposisi koleksi pesawat tempur saat ini akan kesulitan
meladeni puluhan bahkan ratusan serangan pesawat tempur dari Australia
plus FPDA.
Bilamana suatu ketika terjadi eskalasi konflik dengan tetangga
sebelah selatan maka strategi terbaik adalah melakukan pukulan telak
dengan melakukan Preemtive Strike ke pusat komando militer, Radar, kapal
LHD dan kapal permukaan milik militer Australia. Melakukan serangan
pukulan telak ke Singapura atau Malaysia adalah hal yang paling mudah
dilakukan oleh TNI, namun serangan dadakan ke jantung musuh di selatan
akan menjadi pengingat bagi negara kawasan agar tidak macam-macam dengan
NKRI. Agar Indonesia disegani dikawasan Asia dan dapat menjalankan
fungsinya sebagai Leader dari negara-negara Non-Block maka minimal
segera memiliki 2 skadron SU 27/30, 4 Skadron SU 35, 2 Skadron Strike
Bomber SU 34, 1 Skadron SU 33 dan 1 Skadron Siluman SU T-50 PAK FA.
Melihat jangkauan misi operasi yang cukup jauh maka disamping penambahan
tangki eksternal pesawat yang melakukan Preemtive Strike masih
diperlukan dukungan beberapa Pesawat Tanker.
Apabila suatu ketika Indonesia menyerang Australia maka anggota FPDA
tidak akan tinggal diam. Dalam siaran wawancara TVRI Jakarta dengan Duta
Besar Rusia Mikhail Yurievich Galuzin menegaskan “Jika terjadi
penyerangan bersama Sekutu (AS, Inggris, Australia, New Zealand,
Singapura, Malaysia dan Papua Nugini) tanpa diminta maka Rusia tahu apa
yang harus dilakukan untuk sahabat kami Indonesia, ini sikap resmi
Pemerintah Rusia.” Dia melanjutkan “Jika Indonesia menghadapi sebuah
Persekutuan maka Rusia adalah sahabat Indonesia yang akan melakukan
tugas sebagai sahabat yang baik yang tidak akan membiarkan sahabatnya
diserang dalam sebuah ketidakadilan, Indonesia adalah sahabat kami yang
tempatnya LEBIH TINGGI DARI SEBUAH SEKUTU. Dan tentu kami melakukan HAL
YANG LEBIH dari apa yang kami lakukan terhadap sekutu kami, melindungi
dan membantu Sahabat, adalah idiologi kami.”
Artikel ini ditulis tidak dengan maksud membuat panas kawasan namun
didedikasikan untuk menggugah kesadaran akan sejarah dan potensi konflik
kedepan dikawasan dan skenario yang perlu diambil. Potensi Konflik Head
to Head bisa saja terjadi dari Utara ataupun Selatan. Menjadi Negara
Non-Block bukanlah pilihan yang mudah. Pernyataan Petinggi Militer
Indonesia yang mengatakan hanya akan menambah Peralatan/Alutsista SAR
bisa jadi hanya pernyataan terselubung mengingat tatkala Presiden SBY
hendak membeli Kilo Class saja negara FPDA sudah pada “Nguping.” Si Vis
Pacem Para Bellum yang berarti Kalau Mau Damai Maka Bersiaplah Untuk
Berperang perlu diperhitungkan dengan matang baik Skenario, Strategi
maupun kesiapan dan kelengkapan Alutsista yang Deterent.
Diposkan : Ayoeng_Biro Jambi/JKGR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar