Dengan pertimbangan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi mencanangkan
kepentingan maritim sebagai target utama pembangunan, maka pihak
pabrikan yang ingin berkompetisi memenangkan tender pengadaan jet tempur
pengganti F-5 E/F Tiger II TNI AU, harus pintar-pintar meracik strategi
untuk mencari celah pemasaran yang mengena pada kebutuhan yang
bersinggungan dengan elemen maritim.
Meski kodrat jet tempur seperti Typhoon lebih mengedepankan air
superiority dan ground attack. Tapi sifatnya yang multirole, ditambah
dukungan kapabilitas twin engine menjadikan Typhoon yang telah
beroperasi di 20 skadron di tujuh negara amat mumpuni untuk tugas yang
jauh dari daratan. Terlebih pilihan senjata yang tersedia cukup lengkap.
Mengingat kondisi geografis Indonesia yang demikian luas, kemampuan
jarak tempuh (range) dan radius tempur (combat radius) menjadi faktor yang harus benar-benar diperhitungkan dalam memilih jet tempur, terlebih pada tugas intercept.
Persoalan range dan combat radius tambah krusial lagi, mengingat
pangkalan udara (lanud) yang bisa menjadi tumpuan jet tempur di
Indonesia masih terbatas.
Paul Smith, pilot demo Eurofighter Typhoon. |
Estimasi combat radius Typhoon dengan CFT. |
Dalam paparannya kepada Indomiliter.com, Paul Smith,
pilot demo Eurofighter Typhoon memberikan simulasi gelar radius tempur
Typhoon bila pesawat ini lepas landas dari lanud Iswahjudi – Madiun,
lanud Supadio – Pontianak, lanud Hasanuddin – Makassar, dan lanud
Roesmin Nurjadin – Pekanbaru. Keempat lanud tersebut merupakan pangkalan
utama TNI AU tempat home base dari skadron tempur. Dalam radius tempur (lihat di gambar estimasi),
nampak Typhoon dapat menjangkau titik potensial hotspot untuk melakukan
intercept yang cukup jauh dari pangkalan. Di sisi selatan, bahkan
Typhoon mampu menerobos sisi Australia bagian utara, dan di sisi utara,
Typhoon dapat menjangkau daratan Thailand serta meng-coverage hingga wilayah Samudera Hindia.
“Simulasi
radius tempur tersebut sudah di kalkulasi tanpa dukungan
air refuelling (pengisian bahan bakar di udara),” ujar Paul Smith.
Skenario tanpa air refuelling memang perlu dikedepankan, mengigat
kemampuan TNI AU amat terbatas untuk menunjang air refuelling. Pasalnya
hingga saat ini, TNI AU hanya punya dua unit pesawat tanker tua, yakni
KC-130B Hercules di skadron udara 32 yang melayani armada Sukhoi Su-30MK
dan Hawk 200. Meski demikian, Smith memastikan Typhoon dapat
melaksanakan proses air refuelling dengan KC-130B Hercules lewat hose-drogue pods. Justru gambaran radius tempur Typhoon pada gambar dapat dicapai lewat adopsi CFT (conformal fuel tanks).
Eurofighter Typhoon milik AU Italia laklukan air refuelling dengan KC-130 Hercules. |
Conformal Fuel Tanks
Ini merupakan terapan solusi bahan bakar modern yang pertama kali diperkenalkan pada jet tempur F-15 C/E Eagle. CFT berupa tanki bahan bakar tambahan yang dipasang pada pundak bodi pesawat, dirancang mengikuti kontur desain, sehingga CFT terlihat menyatu dengan bodi. Dengan adopsi CFT, jarak tempuh dan radius tempur otomatis terdongkrak. Meski pada sisi lain, bobot pesawat ikut naik, ditambah berkurangnya sisi aerodinamis pesawat.
Peran CFT bisa saling melengkapi dengan tanki bahan bakar eksternal
(drop tanks) yang bisa ‘dibuang’ saat terbang. CFT punya sisi kelemahan,
yakni tak dapat dilepaskan di udara, untuk melepasnya perlu waktu yang
tak oleh ground crew, terutama guna melepas sambungan pipa ke bodi
pesawat. Keberaan CFT juga bisa melimitasi kapasitas “g” dari pesawat.
Meskipun masalah berat tambahan selalu ada, penalti drag dan “g” tidak
selalu menjadi isu yang absolut. CFT di pesawat F-15 malah mengurangi
drag dan memungkinkan kecepatan maksimum yang lebih tinggi.
Tampilan bodi Typhoon dengan CFT. |
Typhoon AU Inggris tanpa CFT |
Varian senjata andalan Typhoon, |
CFT pada F-16 Block 52+. |
Bagaimana dengan CFT di Eurofighter Typhoon? Dengan adopsi dua CFT,
dimana setiap CFT dapat memuat 1.500 liter, maka combat radius Typhoon
dapat meningkat 25%, tentu tergantung pada konfigurasi persenjataan yang
dibawa. Dengan 5 ton bahan bakar, standarnya Typhoon punya jangkauan
2.900 Km. Sementara bicara combat radius, bergantung pada misi yang
diemban, semisal antara ground attack dan air defence punya perbedaan
yang amat kentara. Di luar adopsi CFT dan air refuelling, dengan membawa
3 drop tanks, Typhoon dapat terbang ferry hingga 3.790 Km.
Nah, komponen CFT inilah yang ditawarkan Eurofighter untuk nantinya
bisa diproduksi di PT Dirgantara Indonesia, bila kelak pemerintah
memutuskan membeli Typhoon. Produksi CFT bisa jadi skenario yang
ditawarkan dalam sistem offset terkait kewajiban ToT (transfer of technology)
dari manufaktur. Sayangnya, pihak AU Inggris yang banyak menugaskan
Typhoon dalam misi ground attack di Libya, belum menjadikan pemasangan
CFT sebagai prioritas.
Tampilan close up kokpit. |
Hardpoint options |
Namun, untuk Indonesia adopsi CFT layak dipertimbangkan, mengingat
daya jangkau jet tempur dapat terdongkak tanpa perlu dukungan pesawat
tanker. Keunggulan Typhoon lainnya ada di supercruise capability, jet ini dapat terbang menjelajah di kecepatan supersonic tanpa afterburner dengan
membawa persenjataan penuh. Di kawasan Asia Tenggara, baru Singapura
yang mengusung teknologi CFT, yakni dipasang pada jet tempur F-16 Block 52+.
Sonic Boom
Terkait tugas maritim, semisal untuk misi penindakan yang membutuhkan reaksi cepat. Typhoon punya adonan senjata yang mutakhir hingga low level. Bila yang dihadapi misi anti kapal, Typhoon bisa membawa rudal Harpoon atau RBS-15. Tapi bila yang dihadapi perompak, Typhoon cukup terbang rendah sembari melepaskan sonic boom, dijamin perompak akan kocar kacir. Bila masih membandel, ada kanon Mauser BK-27 kaliber 27 mm yang siap menyalak. (Haryo Adjie|Indomiliter)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar