Ibarat jelang Pilpres (Pemilihan Presiden) 2014 lalu, maka kontestan
Sukhoi Su-35 Super Flanker bisa disebut sebagai calon paling kuat untuk
memenangkan kompetisi. Tak ada yang menyangkal bahwa Su-35 adalah
pesawat tempur tercanggih Rusia dengan label keunggulan multirole air superiority fighter dari generasi 4++. Lepas dari seabreg kecanggihannya, sejak awal Super Flanker ini mampu mencuri ‘hati’ publik di Indonesia.
Harus diakui, pandangan masyarakat begitu dominan menginginkan jet tempur ini sebagai pengganti F-5 E/F Tiger II TNI
AU yang segera pensiun. Keinginan menggebu publik di Tanah Air setara
dengan kerinduan datangnya kapal selam Kilo Class yang urung dibeli
Indonesia. Dukungan pada Su-35 di ‘akar rumput’ justru mengemuka ke soal
non teknis, seperti kerinduan akan kejayaan militer Indonesia saat
mesra di era Uni Soviet, hingga ke soal embargo. Rusia disebut-sebut
paling rendah kerawanan dalam hal embargo, bukan lantaran Rusia anti
embargo, namun lebih pada kepentingan politik/ekonomi Rusia yang tak
terlampau besar di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan
kepentingan AS dan Eropa Barat di Indonesia.
Sementara TNI AU sebagai user,
juga menyiratkan keinginannya
untuk bisa mendapatkan pesawat tempur ini, sebagai pertimbangan mulai
dari urusan daya deteren, sampai transformasi teknologi, tentu tak
begitu sulit karena pilot dan teknis TNI AU sudah punya pengalaman dalam
mengoperasikan Su-27SK/Su-30MK yang ada di Skadron Udara 11.
Senjata yang telah dibeli untuk melengkapi Su-27/Su-30 pun dapat
langsung dipasang di Su-35. Beberapa rudal canggih yang telah dimiliki
TNI AU seperti rudal udara ke udara R-73, R-77 dan R-27. Sementara rudal
udara ke permukaan, TNI AU sudah punya Kh-29TE dan Kh-31P.
Lepas dari soal non teknis diatas, Su-35 yang oleh NATO diberi label
Flanker E memang fenomenal. Su-35 yang terbang perdana pada 19 Februari
2008, sejatinya adalah derivatif heavy upgrade dari Su-27 Flanker, single seat fighter
yang juga telah dimiliki TNI AU. Meski bukan identitas resmi, versi
yang ditawarkan ke Indonesia ada yang menyebut sebagai Su-35BM.
Keunggulan thrust vectoring yang memungkinkan manuver cobra pughachev dapat dilakukan dengan mudah, dan memberi keunggulan tersendiri saat dog fight.
Thrust vectoring nozzle Su-35. |
Kemunculan Su-35 Super Flanker pertama di muka publik internasional
yakni pada Paris Air Show di Le Bourget tahun 2013. Di Paris Air Show,
Su-35 unjuk kemampuan dengan melakukan manuver yang mencengangkan dan
menurut banyak pengamat sulit ditandingi jet tempur keluaran Eropa
Barat, konon yang mampu menandingi hanya F-22 Raptor yang sama-sama
ditenagai mesin dengan nosel pengarah daya dorong mesin (thrust vectoring engine).
Meski secara desain bak pinak dibelah dua dengan Su-27, namun secara
struktur Su-35 berbeda dengan Su-27, terlebih untuk jeroan elektronik
yang dibenamkan. Bicara tentang airframe, struktur Su-35 diperkuat agar
memiliki usia pakai lebih lama ketimbang Su-27, serta perkuatan airframe
dimaksudkan agar pesawat mampu menahan gaya akibat manuver ekstrim.
Meski avionik dan sensornya baru, tapi radarnya masih mengadopsi Irbis-E
PESA (passive electronically scanned array), tapi jangkauannya
terbilang jauh dan secara teknologi masih lebih baik dari mechanically
scanned radar, atau radar konvensional. Radar Irbis-E di Su-35 dapat
mendeteksi 30 sasaran di udara secara simultan, dan mampu melakukan
serangan ke delapan target secara bersamaan. Jangkauan radar ini
disebut-sebut mampu mengendus sasaran hingga jarak 400 Km.
Radar Irbis-E |
Dan sebagai produk teknologi, Su-35 pun tak lepas dari plus minus,
dan berikut plus minus Sukhoi Su-35 dari perspektif Indonesia.
Plus
– Su-35 sampai saat ini baru dimiliki Rusia, itu pun masih terbatas karena tergolong pesawat baru. Faktor ini ditambah masih misteriusnya kapabilitas Super Flanker yang masih dirahasiakan.
– Karena masih banyak yang berbau rahasia, sontak Su-35 punya daya deteren paling tinggi dibanding Eurofighter Typhoon, Dassault Rafale, dan JAS 39 Gripen NG.
– Daya angkut senjata (tonase dan jumlah) tergolong tinggi dengan 12 hard point.
– Mesin punya usia pakai yang lebih panjang ketimbang Flanker sebelumnya.
– Paling rendah kerawanan terhadap adanya embargo.
– Bisa memanfaatkan/membawa bekal senjata Flanker generasi sebelumnya.
– Mampu beroperasi dari landasan pendek berkat mesin yang dilengkapi TVC (thrust vectoring control), bahkan konfigurasi rodanya menjadikan Su-35 dapat dioperasikan dari landasan yang agak kasar.
– Pihak user (TNI AU) sudah menyatakan pilihannya pada Su-35.
Minus
– Hanya tersedia dalam varian kursi tunggal, alhasil proses latih tempura atau konversi hanya bisa dilakukan di simulator. Atau bisa juga mengandalkan Su-30MK2 Flanker yang juga telah dimiliki TNI AU.
– Biaya operasional per jam terbilang paling tinggi, ada yang menyebut Sukhoi sebagai ‘ATM terbang.’ Mengutip informasi dari defence.pk, biaya operasional per jam (cost of flying per hours) Su-27/Su-30 mencapai US$7.000, sementara untuk Su-35 biaya operasi per jam bisa mencapai US$14.000. Sebagai perbandingan biaya operasional per jam F-16 hanya US$3.600.
– Belum ada kejelasan untuk detail skema ToT (Transfer of Technology) yang ditawarkan kepada pihak PT Dirgantara Indonesia. (Ram|Indomiliter)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar