Di tengah keretakan hubungan dengan Barat dan gempuran sanksi yang
diluncurkan sepanjang 2014, Rusia tetap mampu mempertahankan posisinya
di pasar senjata global. Pasar negara-negara Asia Pasifik dinilai lebih
prospektif dan menguntungkan.
Kesepakatan yang paling menjanjikan adalah
negosiasi yang tengah dilakukan dengan Indonesia untuk memasok pesawat
jet tempur Su-35.
Bertahannya posisi Rusia dalam pasar senjata global terbukti dalam
laporan penjualan senjata dunia, baik yang dipublikasikan oleh Rusia
maupun lembaga asing—meskipun terdapat perbedaan angka pada nilai
keseluruhan teknologi militer yang dijual oleh Rusia.
Namun, tren yang
terjadi di pasar yang sangat dipolitisasi ini punya tendensi untuk
berubah, dan angin yang mendorong kapal layar industri pertahanan Rusia
bisa saja bertiup ke arah yang salah.
Berdasarkan laporan IHS Jane's Annual Defence Budgets Review, total
penjualan senjata Rusia sepanjang 2014 mencapai sepuluh miliar dolar AS,
meningkat sembilan persen dibanding tahun sebelumnya.
Namun, pada
laporan Rosoboronexport nilai ekspor senjata Rusia pada 2014 lebih
tinggi tiga miliar dolar AS dibanding angka yang diterbitkan IHS Jane's.
Namun bagaimanapun juga, melihat pencapaian Amerika Serikat pada
periode yang sama, angka itu masih jauh dari mengagumkan.
Pada 2014,
total penjualan senjata AS mencapai 23,7 miliar dolar AS, meningkat 19
persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan kata lain—bahkan jika kita
membuat penyesuaian dengan menghitung nilai absolut (senjata Amerika
dijual lebih mahal)—peningkatan jumlah penjualan senjata AS mencapai
lebih dari dua kali lipat dibanding Rusia.
Di Balik Angka
Mengapa penjualan senjata AS mengalami
peningkatan yang sangat signifikan? Alasannya sederhana: kekacauan
situasi di Timur Tengah.
AS telah menjadi kekuatan dominan dalam perpolitikan dunia selama
bertahun-tahun.
Mereka terus memperkuat posisinya dan sekutu mereka pun
menikmati keuntungan dari tidak stabilnya harga minyak. Sementara,
sekutu Rusia warisan Uni Soviet (seperti Suriah dan Irak) malah tengah
didera sanksi dan perang sipil.
Dengan kondisi demikian, industri militer AS dapat mengambil
keuntungan maksimal dari kekacauan yang diciptakan oleh pemerintah
mereka di Timur Tengah. Hasilnya, penjualan senjata AS di pasar senjata
global pada 2014 melampaui Rusia berkali-kali lipat, 8,4 miliar dolar AS
berbanding 1,5 miliar dolar AS.
Rusia bahkan berada di bawah Inggris
dan hanya sedikit berada di atas Prancis. Target pasar Rusia, seperti
Suriah misalnya, tengah dirongrong oleh perang sipil, sangat kontras
dengan mitra kunci AS di wilayah tersebut, Arab Saudi, yang menurut
laporan HIS Jane's merupakan pembeli senjata yang paling boros pada
2014. Arab Saudi menghabiskan 6,4 miliar dolar AS pada 2014 untuk
pembelian senjata dan berencana meningkatkan angka tersebut hingga 50
persen pada 2015.
Pilih India Atau Tiongkok
Angka pembelian senjata Arab Saudi yang fantastis membuat negara
tersebut bahkan mengungguli importir senjata terbesar di dunia, India.
Dan hal tersebut menciptakan perdebatan mengenai situasi di pasar utama
Rusia tersebut.
Tahun lalu, industri pertahanan Rusia paling banyak menjual senjata ke Tiongkok
(2,3 miliar dolar AS), disusul India (1,7 miliar dolar AS), dan Vietnam
serta Venezuela (masing-masing satu miliar dolar AS).
Prospek masa
depan target pasar Rusia dirundung sejumlah pertanyaan. "Kami
memprediksi akan terjadi penurunan jumlah ekspor senjata Rusia karena
banyak program pembelian senjata yang telah terpenuhi, dan hal ini akan
diperparah oleh kehadiran sanksi," tulis Jane's dalam laporannya.
India, meski memiliki sejumlah proyek gabungan bersama Rusia seperti
pengembangan BrahMos dan pembuatan pesawat tempur generasi kelima FGFA,
mulai menunjukan ketertarikan pada senjata Barat.
Mereka kini sedang
memperluas kerja sama dengan Israel, AS, dan Uni Eropa. Hal tersebut
jelas terlihat pada kunjungan terbaru Barack Obama ke India.
Strategi
ini membuat India, yang telah mendeklarasikan kebijakan "Made in India"
untuk mendapatkan teknologi yang lebih canggih dan mendiversifikasi
produk impor mereka.
Selain itu, kerja sama dengan India sulit dilakukan bersamaan dengan
upaya untuk mendekati Tiongkok. Keputusan untuk memasok sistem
pertahanan udara S-400 ke Tiongkok menimbulkan reaksi yang sangat
menyakitkan dari mitra Rusia di India.
Sedangkan Venezuela, Iran, dan
Algeria, daya beli mereka—sama seperti Rusia sendiri—tengah sengsara
karena jatuhnya harga minyak dan gas.
Target Pasar Masa Depan
Pada Januari, dalam pertempuan dengan Komisi Kerja Sama Militer Teknis, Presiden Rusia Vladimir Putin
mengingatkan perlunya mencari pasar baru untuk senjata Rusia di Amerika
Latin, Afrika, dan Asia Tenggara. Di Amerika Latin, Rusia tengah
mengerjakan sejumlah proyek dengan Brasil.
Negara tersebut sedang
mempertimbangkan untuk membeli sistem pertahanan udara Rusia dan
membangun kerja sama di bidang helikopter. Selain itu, Rusia juga sedang
menatap kemungkinan kerja sama dengan Peru, Argentina, dan Nikaragua.
Di Afrika, Uni Soviet
tak hanya mewariskan tagihan utang-utang yang belum dibayar oleh negara
di wilayah ini untuk Rusia, tapi juga dalam lingkup kerja sama
militer-teknis. Namun, komunikasi antara Rusia dan Afrika telah nyaris
putus selama hampir 20 tahun.
Kini, mereka harus membangun kembali
jaringan baru di pasar yang tak terlalu kaya ini, sambil berkompetisi
mati-matian dengan suku cadang murah buatan Tiongkok.
Pasar yang lebih prospektif dan
menguntungkan adalah pasar di
negara-negara Asia Pasifik. Kesepakatan yang paling menjanjikan adalah
negosiasi yang tengah dilakukan dengan Indonesia untuk memasok pesawat
jet tempur Su-35, yang akan menggantikan pesawat tempur tua Amerika F-5
milik Angkatan Udara Indonesia.
Sumber : RBTH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar