Selasa, 19 Agustus 2014

Mampukah Indonesia Membuat Drone?




PENKOPASSUS (MI) : Selama ini, kendala yang dihadapi oleh bangsa kita adalah sebagian alutsista yang dimiliki diperoleh dengan membeli dari luar negeri. Sementara itu, akhir-akhir ini kita mulai mengenalkan salah satu alutsista baru, yaitu drone atau Unmanned Combat Aerial Vehicle (UCAV). Sebenarnya, sejak beberapa tahun terakhir ini pihak TNI sudah memiliki pesawat nir awak ini.
Salah satumya, yang sekarang digunakan oleh Dinas Topografi Angkatan Darat, yaitu UAV (Unmanned Aerial Vehicle) Skywalker dan Hexacopter. Jenis yang digunakan adalah UAV, bukan UCAV yang ada unsur ‘Combat’ didalamnya.
 
Biaya pengoperasian diklaim murah, juga menggunakannya tak rumit. Penggunaan drone itu selain berguna untuk pertahanan, juga disebutkan bermanfaat untuk melindungi kekayaan Indonesia. Sebelas tahun lalu, AS yang mendominasi penggunaan pesawat tanpa awak ini. Namun sekarang bukan lagi monopoli AS, karena makin banyak negara yang berminat mengembangkan atau membelinya, termasuk Indonesia.

Ketika mantan Presiden AS George W Bush mengumumkan “Perang Atas Teror”, CNN menyebutkan Pentagon hanya memiliki kurang dari 50 pesawat tanpa awak. Kini, negara adidaya itu memiliki lebih dari 7.500 pesawat, dan pesawat-pesawat tersebut telah memiliki kemampuan seperti pesawat tempur biasa yang bisa menggempur sasaran menggunakan rudal-rudal, baik untuk serangan darat maupun udara. Berbeda dengan negara lain yang hanya bisa untuk tugas mata-mata.

Sejauh ini, baru AS, Israel dan Inggris yang diketahui telah menggunakan pesawat tanpa awak atas musuh mereka. Belakangan ini banyak negara sudah menggunakan drone, seperti Korea Utara yang dilaporkan telah mengirimkannya ke wilayah Korsel. Bahkan pesawat tanpa awak juga digunakan Republik Rakyat Cina untuk memantau suatu kepulauan tak berpenghuni di Laut Cina Selatan yang disengketakan oleh Jepang, Cina, dan Taiwan.

Karena biayanya cukup murah dan efektivitas lebih tinggi, yang menyebabkan banyak negara mengembangkan pesawat tanpa awak. Misalnya harga pesawat militer berawak seperti F-35C mencapai US$ 63 juta. Pesawat supersonik itu memang memiliki multi fungsi, seperti pertempuran udara ke udara, dukungan udara jarak dekat dan pengeboman taktis. Di sisi lain, harga drone jauh lebih murah, padahal sebagian peran pesawat berawak itu sudah diambil alih drone.

Pengoperasian “drone” tak menimbulkan risiko kehilangan awaknya meski dioperasikan di medan yang sangat berat, sementara risiko kehilangan pilot cukup besar di pesawat tempur berawak. Di masa depan, penyerangan dan perang udara (dog fight) bukan tidak mungkin akan diperankan oleh pesawat-pesawat tempur tanpa awak ini unmaned combat aerial vechile (UCAV), bukan lagi pesawat tempur konvensional. Seperti jenis ‘Predator’ yang digunakan oleh Amerika Serikat.

Predator adalah UAV yang dirancang dan dibangun oleh General Atomics Corporation di San Diego, California. Pada saat diperkenalkan pada tahun 1995, kemampuan teknologi dan peran Predator masih terbatas pada pengawasan dan misi intelijen untuk Central Intelligence Agency (CIA).
Sejak tahun 2001, misi Predator milik AU AS berkembang menjadi misi menyerang “Buru dan Bunuh”. Predator menjadi wahana tak berawak tempur utama di Irak, Afghanistan dan Pakistan.

Sementara itu, jenis kedua yang dimiliki AS adalah MQ-9 Reaper merupakan konsep UAV tempur yang berevolusi dari varian Predator B. Pada saat Reaper pertama kali diluncurkan oleh General Atomics pada tahun 2001, penampilannya sudah berbeda dengan spesifikasi desain asli Predator, sehingga pada dasarnya Reaper adalah UAV yang sama sekali berbeda. MQ-9 lebih berat dan lebih ampuh dibandingkan Predator. Meskipun demikian masih tetap bisa dikendalikan dengan sistem pengendali lama untuk Predator.

Kedua jenis ini UAV memiliki ketinggian operasional normal 25.000 kaki, tapi Reaper mampu mencapai ketinggian operasional maksimum 50.000 kaki. Predator dilengkapi dua rak senjata dan dapat membawa kombinasi dua rudal Hellfire, empat rudal Stinger kecil dan enam rudal udara-ke-udara Griffin. Sedangkan Reaper memiliki tujuh rak senjata dan dapat membawa kombinasi senjata hingga 14 rudal Hellfire, dua bom panduan laser Paveway 500 pon dan dua bom JDAM 500 pon.

Sebagai mesin perang di udara, pesawat “drone” sudah terbukti keampuhannya. Pesawat “Predator” milik AS yang berpangkalan di Afghanistan, menjadi mesin perang andalan negara itu di Afghanistan dan Yaman. Harga Predator jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pesawat pengebom B-2 Stealth yang harganya berkisar US$ 737 juta hingga US$ 2,2 miliar per unit.

Semakin maraknya konflik bersenjata dan sengketa perbatasan antarnegara, terutama di perbatasan yang kaya akan sumber daya alam, akan mendorong banyak negara untuk mengembangkan pesawat tanpa awak untuk keperluan pengintaian maupun misi militer lainnya. Indonesia sendiri memiliki masalah perbatasan dengan negara tetangganya, sementara kekayaan maritimnya banyak dicuri nelayan asing.

CNN menyebutkan lebih dari 70 negara kini memiliki pesawat tanpa awak, meski hanya sebagian kecil dari negara itu yang memiliki pesawat puna yang dipersenjatai. Lonjakan kemajuan teknologi pesawat tanpa awak, akan mengubah cara pandang suatu negara menghadapi perang dan ancaman, yang tentunya memacu perlombaan senjata. AS serta Israel sejauh ini merupakan eksportir utama teknologi dan pesawat drone ke banyak negara.

Melihat konflik perbatasan yang makin rawan di masa depan, terutama yang berkaitan dengan sumber daya alam yang semakin terbatas, merupakan langkah tepat yang diambil Indonesia untuk mengembangkan pesawat puna (tanpa awak) sendiri.

Indonesia Mampu

Indonesia sudah melakukan kajian dan rekayasa teknologi untuk mengembangkan drone. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), pernah menguji terbang prototipe pesawat tanpa awak terbaru di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Meski dinilai sukses, namun performa pesawat itu masih jauh dari memuaskan, seperti suara mesinnya yang masih terlalu bising. Dengan kata lain, pesawat nirwana semestinya tidak berisik atau tidak mengeluarkan suara besar. Pesawat puna buatan Indonesia, diberi nama Luwung yang mempunyai bentang sayap 6,36 meter, dan terbuat dari bahan komposit.

Pesawat ini mampu terbang empat jam pada ketinggian 8.000 kaki, dapat lepas landas pada jarak 300 meter, serta memiliki kecepatan operasional 52-69 knot. Sistem pengintaian yang dipunyai adalah peralatan “target lock camera system” untuk misi pengintaian, serta mampu terbang hingga 73,4 km.

Hanya saja, penelitian dan pengembangan pesawat tanpa awak Indonesia memang masih harus terus ditingkatkan, seperti bagaimana mengembangkan jarak tempuh operasionalnya, menambah daya angkutnya serta bagaimana meminimalkan tingkat kebisingannya. Indonesia baru memasuki fase pengembangan teknologi, setelah itu baru masuk ke tahapan “engineering manufacturing”, kemudian yang terakhir adalah tahap produksi.

Mulai tahun 2011, BPPT dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sudah bekerja sama mengembangkan drone untuk misi pemantauan dari udara. BPPT telah mengembangkan pesawat udara nir awak sejak tahun 2004, dan telah menghasilkan berbagai prototipe puna, seperti Gagak, Pelatuk, Seriti, Alap-alap dan terakhir “Wulung” atau burung elang. Kesemuanya untuk mendukung patroli di perbatasan Indonesia. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigjen TNI Sisriadi mengatakan, saat ini Kemenhan bahkan sudah memiliki program pengadaan pesawat tanpa awak.

Sisriadi menambahkan, saat ini Kemenhan sudah memiliki empat unit pesawat tanpa awak yang disebut Wulung. Program pembuatan pesawat itu, kata dia, merupakan kerja sama konsorsium antara Kemenhan, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), dan PT Dirgantara Indonesia.

Selain itu, Sisriadi menjelaskan, pihaknya juga mendatangkan dua pesawat tanpa awak dari Filipina. Rencananya pesawat tanpa awak dari dalam dan luar negeri itu akan digabungkan dalam satu skuadron atau 16 unit dengan komposisi 50:50.







Sumber : KOPASSUS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar