Minggu, 24 Agustus 2014

Saran Ilmuwan RI yang Mendunia Soal ‘Armada Drone’ Jokowi


Mungkin bila direalisasikan merupakan pertama di dunia yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk Hankam (Pertahanan dan Keamanan), pengamatan lalu lintas darat dan laut, lingkungan, dan lain-lain,”

Jakarta - Dalam debat capres pada Minggu 22 Juni 2014, Joko Widodo memunculkan impian soal ketangguhan ketahanan nasional. Salah satunya penggunaan pesawat nirawak (drone) atau pesawat terbang tanpa awak (PTTA) untuk mengawal negara kepulauan yang besar ini. Ada dua manfaat, dalam bidang pertahanan juga ekonomi.
 

Wacana Jokowi menuai pro-kontra, ada yang setuju dan menolak rencana tersebut. Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, ahli PTTA atau UAV dan radar dunia asal Indonesia, pun ikut bicara mengenai wacana ini.

Guru Besar Universitas Chiba, Jepang ini mengatakan perlu rencana matang agar rencana ini bisa terlaksana. Pria asal Bandung ini menuturkan, jika Jokowi jadi mengaplikasikan drone, alangkah baiknya pengembangannya dilakukan dari dalam negeri.

“Proses pengembangan drone sendiri memerlukan perlengkapan yang berhubungan dengan keamanan dan security. Sedangkan perlengkapan tersebut saat ini banyak didapatkan dari luar negeri. Di mana berbagai proses security perlu harus dilewati, misalnya izin mendapatkan perangkat dengan power tertentu, perangkat yang dapat dioperasikan pada ketinggian tertentu, akurasi, posisi, dan lain-lain,” ucap Josh –sapaan Josaphat– kepada Liputan6.com, Jakarta Jumat (22/08/2014).

Jika diperlukan Pemerintah Indonesia, Josh akan membantu membangun teknologi ini. Pria yang telah mengantongi ratusan hak paten ini pun telah menyiapkan rencana teknologi drone yang cocok dengan kondisi geografis Indonesia.

“Ada drone yang saya pikirkan untuk Indonesia berikut perangkatnya yang saya kira cocok untuk pengamatan Indonesia yang luas ini secara real time dan only one di dunia. Mungkin bila direalisasikan merupakan pertama di dunia di dunia yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk Hankam (Pertahanan dan Keamanan), pengamatan lalu lintas darat dan laut, lingkungan, dan lain-lain,” ungkap Pria berumur 44 tahun ini.


Drone Asli Indonesia
Josh mengatakan, wacana yang beredar di Indonesia masih mengenai bentuk drone. Ia menambahkan, dalam teknologi drone, masih banyak yang harus dikembangkan seperti aplikasi yang ada di pesawat pintar tersebut. “Perihal langkah-langkah pengembangan drone dalam negeri, saat ini Indonesia banyak pembicaraan difokuskan pada drone saja. Padahal fungsi dari drone hanya sebagai alat angkut saja, sedangkan bagian lainnya adalah “accessories” yang dibawa, yaitu sensor dan persenjataannya yang akan dibawa. Bila kita ingin mandiri, maka kita perlu kembangkan perangkat-perangkat tersebut sendiri,” imbuhnya.

(Ilustrasi)
Josh menuturkan, saat ini memang masih jauh merealisasikan teknologi drone yang khas untuk kebutuhan Indonesia. Akan tetapi tidak ada kata terlambat untuk memulai pengembangan teknologi drone berikut perangkatnya yang cocok dengan kondisi lingkungan Indonesia.
“Saya kebetulan kemarin baru saja dari Universitas Surya, TNI AD, TNI AU, UNS, UGM, Lanud Adi Sumarmo (Satuan Radar), dan lain-lain. Dan sejak kemarin di Bali. Saya beri masukan ke mereka bila ingin mengembankan sendiri di Indonesia, disamping kita perlu siapkan fasilitas dasar pengembangannya,” tutupnya.
Profesor Josaphat, terkenal di dunia berkat pengembangan pesawat terbang tanpa awak bernama Josaphat Laboratory Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX) series. Dalam eksperimennya ini, ia bersama beberapa rekannya memasukan sejumlah perangkat seperti Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR), GNSS-Reflectometry, GPS-RO, Hyperspectral Camera, Telemetry and Data Handling (TDH), dan lain-lain.
Perangkat buatannya ini pun mendapat kepercayaan Mongbukagakusho atau Kementrian Pendidikan dan Teknologi Jepang, seperti diminta mengembankan dua microsatellite yang membawa sensor GNSS-RO dan CP-SARuntuk melakukan observasi lapisan ionosfer dan permukaan Bumi.
Teknologi ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui fenomena-fenomena sebelum terjadinya bencana di permukaan Bumi, khususnya gempa bumi, sehingga teknologi diharapkan dapat mengurangi
jumlah korban akibat bencana yang terjadi di permukaan planet, khususnya tempat tinggal manusia ini di masa depan.

Setelah berhasil melakukan uji coba UAV seri pertama yaitu JX-1, kini Josh bersama rekan dan mahasiswanya mengembangkan JX-2. UAV jenis baru ini masih melakukan pengujian berbagai sensor maupun uji target.
Dibanding seri pertama, JX-2 dikembangkan lebih ringan karena dibuat menggunakan komposit karbon sehingga mengurangi berat total UAV serta meningkatkan kinerja dalam berbagai misi. Untuk rentang sayap berukuran 610 cm, body length 510 cm dan dapat mengangkut muatan seberat 25 kg. (Ein)

JKGR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar