Pendahuluan
Masih teringat dulu ketika peristiwa lepasnya Timor Timur, Australia secara serius mempertimbangkan serangan udara ke Jakarta, bahkan rencana serangan ini dibahas di media termasuk media televisi ABC. Pada waktu itu diperkirakan serangan akan berhasil (meskipun ada kerugian di pihak Australia), mengingat kekuatan udara kita yang lemah sedang terkena embargo.
Bagaimana bila serangan serupa dilakukan sekarang? Pada kesempatan ini penulis mencoba untuk membahasnya sebagai berikut di bawah ini.
Beberapa singkatan kata
AMRAAM – Advanced Medium-Range Air-to-Air Missile
JDAM – joint defence air munition
TVC – thrust vector control
MRTT – Multi Role Tanker Transport
VLO – very low observables (siluman/ stealth)
LO – low observables (siluman/ stealth)
ARH – active radar homing seeker rudal
SARH – semi-active radar homing seeker rudal
DL – datalink for midcourse guidance corrections rudal
IMU – inertial package for midcourse guidance rudal
IRH – heatseeking, single or dual colour scanning seeker rudal
RF – passive radio frequency anti-radiation seeker rudal
WVR – within visual range
BVR – beyond visual range
EOS/DAS – electro optical system/ distributed aperture system
AAR – air-to-air refuelling
AEW&C – airborne early warning & control
CAP – combat air patrol
Skenario
Asumsinya adalah Australia telah mempunyai 72 F-35A dan Indonesia telah mempunyai 32 SU-35 plus 16 SU-27/SU-30.
Diasumsikan juga kekuatan udara Australia yang digunakan adalah 60 F-35A, 48 sebagai penyerang dan 12 sebagai CAP MRTT. Penyerang disertai Wedgetail mengiring di belakangnya, dan peran vital MRTT dikawal CAP. Formasi penyerang diasumsikan terdiri dari 24 pesawat sebagai sweeper, dan 24 pesawat sebagai bomber. Persenjataannya masing-masing sweeper dan CAP dipersenjatai 2 AMRAAM AIM-120C7 dan 2 AIM-9X, dan 24 pesawat sebagai bomber dipersenjatai 2 JDAM dan 2 AIM-9X. Ini sesuai dengan data terakhir kapasitas internal weapons load dari F-35A. Total senjata penyerang adalah seoerti ditunjukan pada Tabel 1.
Diasumsikan kekuatan udara kita yang digunakan adalah 32 SU-35A dan 16 SU-27/30. Dibagi dalam 2 kelompok, kelompok (1) bertugas merontokkan MRTT dan kelompok (2) interceptor. Kuncinya adalah rontokkan MRTT, dan Australia sudah kalah. Kelompok (1) terdiri dari 8 SU-35 dan 8 SU-27/30, dan mungkin bisa berangkat dari Lanud Adisucipto. Kelompok (2) terdiri dari 24 SU-35 dan 8 SU-27/30, dan mungkin bisa berangkat dari Lanud Halim Perdanakusuma.
Persenjataan kelompok (1) masing-masing SU-35 dipersenjatai 2 rudal BVR/ Kh-31P ARH atau 2 rudal R-172 ARH/DL/IMU, dan 4 rudal BVR/ R-77 serta masing-masing SU-27/30 dipersenjatai 4 rudal BVR/ R-77 dan 2 rudal WVR/ R-73. Total senjata kelompok (1) adalah seperti ditunjukan pada Tabel 2.
Persenjataan kelompok (2) masing-masing SU-35 dipersenjatai 6 rudal BVR/ R-77 dan 2 rudal WVR/ R-73. Dan masing-masing SU-27/30 dipersenjatai 4 rudal BVR/ R-77 dan 2 rudal WVR/ R-73. Total senjata kelompok (2) adalah seperti ditunjukan pada Tabel 3.
Estimasi data kemampuan dan lain-lain rudal BVR maupun WVR dari SU-35 dan F-35A ditunjukkan pada Tabel 4 dan 5. Kelihatan bahwa pilihan rudal SU-35 lebih banyak dari F-35A.
Kekuatan udara Australia berangkat dari pantai Barat Australia menuju sebelah Selatan Pulau Jawa dengan target arah Jakarta, dan pada radius 1000 km dari Jakarta melakukan AAR terakhir sebelum ke sasaran, ditunjukkan pada Gambar 1.
Bagaimana kita bisa mendeteksi kelompok pesawat ini pada posisi tersebut? SatRad kita di Tanjung Kait hanya mempunyai aksi jangkauan 440 km. Mungkin pada radius ini kita dapat mendeteksi dan scramble SU-35, akan tetapi waktu yang tersedia sangat sempit sehingga kita tidak dapat menerapkan taktik yang tepat, akibatnya sejumlah bomber F-35A akan lolos, serangan Australia dapat dikatakan berhasil.
Agar supaya kita menang, maka ada jalan lain (idenya dari Bung Danu), yaitu menggunakan radar pasif. Radar aktif adalah alat yang memancarkan pulsa yang direfleksikan kembali oleh sasaran sehingga kita menerima informasi. Sedangkan radar pasif adalah sebaliknya, bersifat pasif, hanya menerima pulsa yang dipancarkan oleh sasaran, secara tipikal berupa pulsa dari transponder secondary surveillance radar (SSR), identify friend or foe (IFF), tactical air navigation (TACAN) , dan airborne radar, distance measurement equipment (DME) beacons, digital communications signals serta pulsed jamming signals. Memang kalau lawan menerapkan complete radio silence jadi agak susah, tetapi apakah mungkin demikian? Dalam AAR terakhir pasti ada pulsa komunikasi, dalam perjalanan ke sasaran meskipun radar dimatikan pasti ada pulsa dari EOS/DAS, data link, ECS dan lain-lain, yang dapat dideteksi.
Jadi kita bisa pasang radar pasif semacam VERA-E dengan jangkauan yang besar misalnya di Pelabuhan Ratu dan Nusawiru/ Pangandaran, seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Dengan radar pasif kita dapat mendeteksi dan memantau pergerakan siluman F-35A. Satu lagi alat penangkal siluman selain IRST.
Sifat siluman F-35A
Seorang jenderal USAF penah menyatakan bahwa RCS F-22 adalah sama dengan luas penampang marble/ kelereng dari metal, dan RCS F-35 adalah sama dengan luas penampang bola golf dari metal. Adapun kelereng dengan ukuran diameter yang paling umum (14.4mm dan 16mm diameter), luas penampang rata-ratanya adalah 0,00018 m2. Diameter standar bola golf saat ini adalah 1,68 inci (4,2672 cm). Luas penampangnya adalah 0,00143 m2.
Tabel 6 mentabulasi informasi bahwa radar SU-35 Irbis-E dapat mendeteksi sasaran RCS 3 m2 pada jarak 400 km; RCS F-22 dibaratkan sebagai metal marble; RCS F-35 dibaratkan sebagai metal golf ball; dan jangkauan radar Irbis-E yang berbanding lurus dengan akar 4 dari RCS, dihitung sesuai classical radar equation.
Semua pakar dan komentator, di luar USAF dan pabrik pembuatnya Lockheed, telah menganalisa dan sampai sekarang telah sampai pada kesimpulan bahwa sesungguhnya F-35A adalah bukan VLO (seperti F-22) melainkan hanya LO. Salah satu kesimpulannya adalah bahwa sifat silumannya hanya baik dilihat 30º dari depan, kurang dari belakang, serta lemah dari samping kiri dan kanan. Demikian pula lemah apabila dipandang dari sebelah atas atau bawah.
Gambar 3 adalah estimasi radar Irbis-E vs Target RCS. Dapat dilihat bahwa estimasi radar Irbis-E vs Target pada RCS 0,01 m2 adalah kira-kira 50 nm. Ini kira-kira sama dengan estimasi Tabel 6.
Dengan demikian, secara teoritis dapat dipostulasikan sebagai berikut :
- Tepat dari depan, SU-35 dapat mendeteksi F-22 pada jarak 35 km, dan F-35 pada jarak 59 km (kerucut 30º).
- Dari samping kiri dan kanan, SU-35 dapat mendeteksi F-35 pada jarak 59 – 96 km.
- Selain itu, semua pesawat jet, siluman atau tidak, bila terbang pada ketinggian akan menghasilkan panas dari gesekan dengan udara, dan panas dari gas buang mesin jet. Panas ini dapat dideteksi oleh IRST seperti yang dipunyai oleh SU-35. Demikian pula semua pesawat jet, siluman atau tidak, dapat dideteksi oleh radar pasif, karena menghasilkan pulsa dari peralatannya.
Gambar 4 menunjukkan postulasi tersebut secara grafis.
Taktik
Taktik paling baik SU-35 adalah menyerang dari samping, kiri dan/ atau kanan, dan dari atas. Lihat Gambar 5. Kelompok (1) bertugas merontokkan MRTT terdiri dari 8 SU-35 dan 8 SU-27/30, berangkat dari Lanud Adisucipto.
Kelompok (2) terdiri dari 24 SU-35 dan 8 SU-27/30, dan berangkat dari Lanud Halim Perdanakusuma.
Serangan kalau bisa dilakukan dengan supercruise. Tinggi terbang F-35A yang hanya mampu 43,000 ft sangat menguntungkan SU-35, karena apabila meluncurkan rudal pada ketinggian 59,100 kaki pada kecepatan supercruise akan menambah jangkauan rudal 30% dari normalnya . Disamping kemampuan SU-35 yang dapat mengusung jumlah banyak rudal dengan masih mempunyai aksi radius yang besar, yang tidak dipunyai oleh lawannya. Lihat Tabel 6, dan Gambar 4, 5 dan 6.
Hasil
Asumsinya, dalam BVR, Pk rudal SU-35 adalah 0,60 karena meluncurkan dari atas ketinggiaan sehingga mendapat bonus tambahan 30% jangkauan. Dan Pk. Rudal F-35A adalah 0,40 karena menembak dari bawah ke atas. Untuk WVR, menurut data statistik Pk rudal WVR adalah 0,73.
Kelompok 1 :
BVR : Jumlah rudal yang ditembakan oleh SU-35 dan SU-27/30 adalah 80 rudal. Karena doktrin Rusia, yang juga dipakai kita, adalah penembakan salvo rudal ARH + IR seeker untuk satu sasaran maka hasilnya adalah (80/2)*0,60 = 24 F-35A & MRTT rontok kena ditembak. Artinya semua 12 F-35A dan 9 MRTT kena tembak tidak ada yang lolos.
Sedangkan jumlah rudal yang ditembakan oleh F-35A adalah 24 rudal BVR/ AMRAAM dengan hasilnya adalah 24*0,40 = 10 SU-35 dan SU-27/30 kena ditembak. Sisanya tinggal 6 SU-35/ SU-27/30.
WVR : sudah tidak relevan lagi karena tidak ada sisa F-35A. Dengan demikian Australia kalah.
Kelompok 2 :
BVR : Jumlah rudal yang ditembakan oleh SU-35 dan SU-27/30 adalah 176 rudal. Karena doktrin Rusia, yang juga dipakai kita, adalah penembakan salvo rudal ARH + IR seeker untuk satu sasaran maka hasilnya adalah (176/2)*0,60 = 53 F-35A rontok kena ditembak. Artinya semua 48 F-35A kena tembak tidak ada yang lolos.
Sedangkan jumlah rudal yang ditembakan oleh F-35A adalah 48 rudal BVR/ AMRAAM dengan hasilnya adalah 48*0,40 = 20 SU-35 dan SU-27/30 kena ditembak. Sisanya tinggal 12 SU-35 & SU-27/30.
WVR : sudah tidak relevan lagi karena tidak ada sisa F-35A. Wedgetail yang masih terbang bisa dengan gampang dikejar dan dihabisi. Dengan demikian Australia kalah.
Diskusi Dan Kesimpulan
Variasi-variasi dari skenario di atas tentunya bisa saja dibuat, namanya juga teoritis. Tetapi jangan lupa bahwa kuncinya adalah merontokkan MRTT, pertempuran sudah selesai. 1 skadron gabungan SU-27/ SU-30 yang telah kita miliki menjadi tambahan yang menentukan. Operasi gabungan SU-35 dengan SU-27/ SU-30 tidak menjadi masalah karena berasal dari gen yang sama.
Mengapa F-16 C/D Blok 52ID punya kita tidak dilibatkan? Karena selain aksi radiusnya kecil, juga apakah Amerika mau izinkan kita beli AIM-C5 atau C-7? Kalau tidak, F-16 kita itu ompong karena tidak punya rudal BVR!
SatRad kita di p. Jawa jangkauannya sangat tidak mencukupi untuk antisipasi serangan udara dari selatan/ lautan Hindia. Kalau serangan udara dilakukan pada kondisi sekarang, dipastikan beberapa bomber F-35A dapat lolos menghantam Jakarta. Meskipun kerusakan yang ditimbulkan relatif kecil, akan tetapi konsekwensi dan implikasi politiknya bisa sangat besar.
Untung ada alternatif radar pasif untuk mengatasi kekurangan ini. Radar pasif ini masih baru dan sedang dikembangkan, baru ada 3 merek/ manufaktur, VERA-E, Cassidian dan Kolchuga. Apakah mereka mampu mendeteksi pulsa pada jarak jauh (1000 km) masih menjadi pertanyaan.
Fitur siluman yang sangat diandalkan oleh Amerika makin lama makin terkuak dan kelihatan kelemahannya. Airborne radar X band yang sangat kuat seperti Irbis-E, L band radar, radar darat VHFdari S300/400/500, dan radar pasif serta IRST secara perlahan mengorek dan memperlihatkan kelemahannya. Waktu akan membuktikan.
Sedikit tentang Combat SAR : ada kebutuhan untuk SAR pilot + awak yang jatuh ke laut. Kita sudah beli helikopter EC-725, akan tetapi laut kita luas dan jaraknya jauh dari daratan. Saya rasa perlu dipertimbangkan membeli specialized SAR fixed wing aircraft semacam HC-130J Hercules.
Sebagai kesimpulan, adalah sebagai berikut :
- Pertahanan udara kita/ Kohanudnas memerlukan radar pasif sebagai tambahan radar yang sudah ada
- Operasi gabungan SU-35 dengan SU-27/30 tidak menjadi masalah karena berasal dari gen yang sama : kinematik yang tinggi, aksi radius yang besar, dan kesanggupan membawa rudal yang banyak.
- Fitur siluman, paling tidak pada F-35, tidak perlu ditakuti.
Dipersilahkan bahkan diharapkan dari pembaca untuk memberikan komentar dan kritik atas artikel ini. Tetapi, please, mohon hindari komentar yang sama sekali tidak terkait dengan isi artikel.
Sebagai penutup, mohon maaf bila ada kesalahan disengaja maupun tidak, dan diucapkan terima kasih kepada para pembaca. (by Antonov). JKGR
SU-35 Harga Mati..!!!
BalasHapusGa ada kata lain....SUKHOI HARGA MATI...!!!!
BalasHapus