"Kita harus bertindak untuk membuat kemajuan dalam penerapan perdamaian yang dilandasi atas kehadiran dua negara demokratis yang berdaulat dan saling berdampingan dalam kedamaian serta keamanan," kata Fabius kepada Parlemen Prancis.
"Jika upaya terakhir untuk berunding gagal, maka Prancis nantinya harus melakukan apa yang diperlukan dengan mengakui tanpa penundaan Negara Palestina," ia menambahkan.
Anggota Parlemen Prancis sedang membahas satu rancangan undang-undang, yang diajukan oleh Partai Sosialis yang sedang berkuasa, untuk mengakui Negara Palestina guna mendorong keamanan dan perdamaian di Timur Tengah.
Fabius berbicara untuk mendukung "Negara Palestina sesungguhnya", yang harus diikuti dengan tindakan nyata setelah 25 tahun proses perdamaian tanpa hasil.
Dalam upaya menekan kedua pihak untuk mengatasi kebuntuan, Prancis mengusulkan resolusi yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menetapkan kerangka waktu dua-tahun guna mencapai penyelesaian melalui perundingan bagi konflik selama satu dasawarsa di wilayah tersebut.
"Kami mendukung perundingan tapi kami menolak kenyataan bahwa pembicaraan akan menjadi metode penanganan status-quo yang tidak adil," kata diplomat senior Prancis itu seperti dilansir kantor berita Xinhua.
Majelis Rendah Parlemen Prancis, Majelis Nasional, pada Jumat (28/11) memulai pembahasan mengenai apakah akan mengakui Negara Palestina dan pemungutan suara akhir dijadwalkan pada 2 Desember.
Pada Oktober, Inggris, Iralndia dan Swedia melakukan pemungutan suara melalui mosi simbolis untuk mengakui Negara Palestina.
Menurut harian Le Figaro, sebanyak 150 pemrotes pro-Israel telah berkumpul di luar Majelis Nasional untuk mencela pemungutan suara yang dijadwalkan dan diduga akan "mendorong aksi teror" serta "menjadi pesan bagi masyarakat Yahudi untuk meninggalkan Prancis".
antaranews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar