Pesawat siluman Amerika F-35 Lightning II mungkin hanya
akan menjadi sasaran empuk pesawat Sukhoi Rusia, demikian disampaikan
laporan yang diliris Agustus lalu oleh National Security Network (NSN)
yang berbasis di AS.
Dalam laporan ‘Thunder without Lightning: The High Costs
and Limited Benefits of the F-35 Program’ (Lightning II: Program F-35
Biaya Mahal dan dan Keuntungan Terbatas ), analis kebijakan Bill French
dan peneliti Daniel Edgren menyebutkan F-35 sepertinya akan dengan mudah
‘dikalahkan’ dan ‘ditaklukan’ oleh ‘teman sebayanya’ seperti jet tempur
Rusia seri Su-27 Flanker.
Laporan tersebut mendukung pernyataan sejumlah pakar aviasi
independen yang menyebutkan bahwa F-35 adalah pesawat yang benar-benar tak berguna, yang akan menjadi sasaran empuk pesawat musuh dalam pertempuran udara.
“Karakteristik kinerja F-35 sungguh buruk dibanding
pesawat tempur generasi keempat dari negara lain seperti pesawat Rusia
MiG-29 Fulcrum dan Su-27 Flanker misalnya,” terang laporan tersebut.
“Kedua pesawat itu merupakan musuh potensial F-35 dalam
pertempuran udara. Dibanding Su-27 dan MiG-29, F-35 sangat inferior
dalam beberapa hal, termasuk percepatan transonik. F-35 juga sangat
lambat, hanya bisa mencapai kecepatan maksimum Mach 1,6 cukup jauh
dibanding Su-27 (Mach 2,2) dan MiG-29 (Mach 2,3).
Simulasi pertempuran udara telah menunjukan hal tersebut. “Pada
2009, Angkatan Udara AS dan analis Lockheed Martin mengindikasikan
bahwa kemampuan F-35 dalam mengalahkan musuh seperti MiG-29 yang sudah
tua dan Su-27 ialah tiga banding satu.”
Hasil simulasi bahkan jauh lebih buruk. “Dalam satu
simulasi yang dilakukan oleh RAND Corporation, F-35 memiliki rasio
kekalahan 2,4 banding 1 berhadapan dengan pesawat AU Tiongkok SU-35s.
Ini berarti, setiap Su-35 dapat mengalahkan lebih dari dua pesawat
F-35.”
“Meski simulasi ini memperhitungkan sejumlah faktor
lain, termasuk asumsi lokasi pertempuran, mereka tetap menggarisbawahi
bahwa kemampuan udara-ke-udara F-35 perlu disikapi dengan skeptis.”
Pertempuran Udara Jarak Jauh atau Dekat?
Laporan tersebut sesuai dengan filosofi pertempuran udara
Rusia: pilot lebih suka melakukan pertempuran jarak dekat dibanding
bergantung pada kemampuan jangkauan visual jarak jauh (beyond visual
range/BVR) misil udara-ke-udara. “Untuk sukses dalam pertempuran
udara, F-35 harus bisa mengalahkan musuh yang berada di jarak pandang
(within-visual-range/WVR) seperti pertempuran udara jarak dekat,”
kata laporan tersebut. Namun, F-35 tak terlalu andal melawan pesawat
musuh dalam pertempuran jarak dekat, karena pertempuran tersebut
membutuhkan kelincahan dan manuver.
Uji coba telah menunjukan buruknya kemampuan manuver
pesawat tempur ini dibanding pesawat tempur generasi keempat milik
Amerika yang akan ia gantikan, seprti F-16, F-15, dan F-18. “Data
yang tersedia mengindikasikan kemampuan manuver F-35 jauh lebih rendah
dibanding pesawat tempur asing. F-35 didesain untuk bertempur jarak
jauh, sehingga kemampuan manuvernya seharusnya tak terlalu signifikan,
namun sejarah menunjukan pertempuran udara selalu berlangsung di jarak
dekat. Di luar preferensi perancang F-35 untuk pertempuran jarak jauh,
menghindari pertempuran jarak dekat terbukti sulit.”
Militer India menyimpulkan hal tersebut setelah menjalankan
latihan tempur udara dengan pilot AU Inggris di Waddington pada 2007.
Pilot Barat yang tak mengasah kemampuan tempur mereka akan
mendapat kejutan tak menyenangkan saat berhadapan dengan pilot andal
dari AU Rusia, India, atau Tiongkok.
Misil yang Hilang
Menurut French dan Edgren, rencana Amerika untuk
menggunakan F-35 sebagai platform tempur jarak jauh – yang dilengkapi
misil BVR – bukan rencana yang baik, karena misil udara-ke-udara AS tak
punya catatan baik dalam berperang. “Di masa Perang Dingin,
persentase keberhasilan rudal jejalah memusnahkan musuh pada pertempuran
jarak jauh ialah 6,6%. Persentase tertinggi diraih oleh Israel pada
1982 dalam Perang Lebanon, kesuksesan mereka mencapai 20%. Di era
pasca-Perang Dingin, efektivitas misil BVR mengalami peningkatan.
Sepanjang 2008, efektivitas rudal jelajah AS meningkat menjadi 46%,
dengan menggunakan AIM-120AMRAAM (markas misil BVR AS). Namun, angka ini
didapat dari sampel yang kecil, yakni hanya enam pertempuran”.
Laporan tersebut mengingatkan, AS tak bisa berharap angka
tersebut akan meningkat saat menghadapi konflik melawan ‘kompetitor
sebaya’ yang diperkirakan termasuk Rusia, Tiongkok, dan India, serta
negara-negara yang memiliki pesawat tempur canggih Rusia. “Menurut
analisis RAND, jejak rekam AIM-120 AS menunjukan mereka tak pernah
berhasil menaklukan musuh yang memiliki rudal BVR yang sama; pilot yang
jatuh tidak bisa melakukan perlawanan, dalam beberapa kasus mereka harus
melarikan diri, tanpa manuver, atau dalam kondisi tak punya radar.”
Kondisi tersebut menunjukan AS tak bisa berharap mereka
bisa lebih mudah menang melawan musuh yang tangguh dalam pertempuran
jarak jauh. “Serangan elektronik jelas merupakan ancaman, menurunkan
potensi pesawat AS menghancurkan musuh seperti pesawat tempur Rusia dan
Tiongkok, yang saat ini memiliki teknik serangan elektronik balasan
menggunakan gangguan memori frekuensi radio digital (digital radio
frequency memory/DRFM). Serangan tersebut yang dikabarkan benar-benar
menghambat efektivitas rudal jelajah.
“Kami, AS, belum memiliki metode yang cukup untuk melawan serangan elektronik selama bertahun-tahun,”
demikian disampaikan pejabat senior di AU AS yang berpengalaman
mengendalikan F-22 (pesawat tempur siluman AS yang paling mahal), pada The Daily Beast. “Jadi,
meski kita memiliki kemampuan siluman, kita masih kesulitan mencari
cara untuk melakukan serangan elektronik terhadap target seperti Rusia
dan misil kami kesulitan mengalahkan mereka.”
Gangguan DRFM yang dimiliki pesawat Rusia dan Tiongkok
dilaporkan ‘efektif mengingat sinyal radar yang masuk dan mengulangnya
ke pengirim, menghambat kinerja radar secara serius. Lebih buruk lagi,
gangguan tersebut bisa membutakan radar kecil yang dimiliki misil
udara-ke-udara seperti Raytheon AIM-120 AMRAAM, yang merupakan senjata
jarak jauh utama untuk semua pesawat tempur AS dan sebagian besar
sekutu.’
Akhir Permainan
Laporan itu menyimpulkan, “Meski rencana F-35 menggantikan
sebagian besar pesawat tempur dan serang Amerika, platform ini terlalu
mahal untuk melawan militer asing yang setara dengannya. Pesawat ini
memiliki kekurangan dalam kemampuan manuver, besar muatan, kemampuan
melakukan serangan mendadak, serta jangkauan untuk berkompetisi secara
efektif dengan kompetitornya, padahal biaya operasional yang harus
dikeluarkan sepanjang hidupnya mencapai 1,4 triliun dolar AS.
“Kemampuan bertahan pesawat sangat bergantung pada
karakteristik siluman, namun hal itu berisiko karena dalam 50 tahun
mendatang musuh akan meningkatkan sistem radar dan deteksi infra merah
mereka, dan F-35 akan menjadi pesawat usang. Melihat faktor-faktor
kegagalan yang sangat mendasar pada program F-35, dan mengingat harganya
sangat mahal, pesawat ini merupakan sebuah investasi yang buruk.
Realisasi program pembelian sekitar 2.500 unit pesawat – atau skala
besar yang mendekati jumlah tersebut – harus dihindari.”
Penemuan lembaga tersebut meramalkan implikasi serius bagi pertahanan Amerika. “Dengan
tetap mempertahankan program F35, Amerika menginvestasikan sumber
dayanya untuk pesawat yang salah, di saat yang salah, untuk alasan yang
salah,” terang laporan tersebut.
Jika AS tetap melanjutkan produksi skala penuh, yang
dijadwalkan pada 2019, F-35 akan menjadi penemuan besar paling tak
berguna dalam sejarah militer, membuat AS dan sekutu harus menghadapi
berbagai risiko dan posisi berbahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar