Kairo
 – Keputusan Mesir membeli 24 jet tempur Rafale dari Prancis semakin 
membuktikan tekad mereka memperluas sumber senjata dan sekaligus 
mengurangi ketergantungan pada AS, kata pengamat, Sabtu.
Penjualan
 senilai 5,9 miliar dolar AS (lebih dari 59 triliun rupiah) tersebut 
adalah penjualan pertama jet Rafale bagi Prancis ke negara asing dan 
kontrak penjualannya siap ditandatangi pada Senin mendatang di Kairo.
Tapi,
 kelompok Amnesti Internasional menentang penjualan jet tempur serta 
sebuah kapal frigat itu karena pemerintah Mesir dianggap telah melakukan
 pelanggaran hak azasi manusia.
AS, sahabat lama dan strategi bagi
 Mesir yang telah memberikan bantuan 1,5 miliar setiap tahun, termasuk 
1,3 miliar bantuan militer, menyatakan bahwa perjanjian Mesir dengan 
Perancis itu tidak menimbulkan dampak bagi mereka.
“Mesir adalah 
negara berdaulat. Kami juga mempunyai kerjasana keamanan, jadi pembelian
 jet tersebut tidak mengkhawatirkan kami,” kata Jen Psaki, jurubicara 
Departemen Luar Negeri AS.
Tapi hubungan Mesir-AS terganggu sejak 
pihak militer menjungkalkan pemerintahan Islam pimpinan Muhamed Morsi 
pada Juli 2013 lalu dan pemerintahan yang baru dituduh melancarkan 
serangan brutal untuk memadamkan protes.
Morsi, pemimpin pertama 
yang terpilih dalam pemilu secara bebas di Mesir, dipaksa turun oleh 
pemimpin militer yang sekarang menjadi persiden, yaitu Abdel Fattah 
al-Sisi. Dalam satu tahun usia pemerintahan Al-Sisi, Mesir selalu 
bergejolak dan dilanda aksi demo massal.
Sisi kemudian terpilih sebagai presiden dalam pemilu Mei 2014 lalu dengan perolehan 96,91 persen suara.
Ribuan
 orang dipenjara dan ratusan lainnya dihukum mati, sementara partai 
Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) pimpinan Morsi dicap sebagai 
organisasi teroris dan dibubarkan.
Represi dengan cara brutal 
terhadap pengikut Morsi membuat Washington membekukan sebagian bantuan 
ke Kairo sejak Oktober 2013 dan meminta pemerintahan Mesir yang baru 
untuk melakukan reformasi demokrasi.
“Kontrak dengan Perancis 
merupakan sebuah pesan secara implisit bagi AS bahwa Mesir tidak lagi 
tergantung sepenuhnya dalam pasukan senjata dari AS,” kata pensiunan 
Jenderal Mesir Mohammed Mujahid al-Zayyat.
“Mesir tidak mau lagi 
diperas dalam berhubungan dengan AS,” kata Zayyat, pengamat dari Pusat 
Studi Timur Tengah yang berkedudukan di Kairo.
Menurut Zayyat, 
pejabat AS mempunyai pandangan sendiri tentang bagaimana angkatan 
bersenjata Mesir mesti dibangun dan menolak keyakinan bahwa Israel 
adalah musuh utama.
Mesir menandatangani perjanjian damai dengan 
Israel pada 1979, tapi kedua negara tidak pernah berkembang dan tetap 
tegang akibat politik Israel terhadap Palestina.
Washington 
kemudian mencoba menyeimbangkan kerjasama pertahanan di tengah kecaman 
dari kelompok hak azasi manusia atas pelanggaran yang dilakukan oleh 
Pemerintah Mesir.
Tidak lama kemudian, AS mengirim pesawat 
helikopter tempur yang akan digunakan untuk membasmi aksi teroris, tapi 
pada saat yang bersamaan juga mencela kekerasan terhadap pendukung Sisi.
Ahmed
 Abdel Halim, pengamat militer yang juga mantan tentara Mesir mengatakan
 bahwa Mesir telah “disandera” oleh Washington dengan alasan catatan hak
 azasi manusia, sehingga perlu mencari sumber senjata dari negara lain.
Menurut
 Abdel Halim yang juga mantan Ketua Komisi Keamanan Nasional di Senat 
Mesir, negaranya akan tetap mengimpor senjata dari AS, termasuk juga dan
 Perancis dan bahkan mungkin juga Tiongkok.
“Rusia, bisa menjadi negara pemasok lainnya,” kata Abdel Halim.
Presiden Rusia Vladimir Putin, yang sebenarnya bukan pendukung Sisi, berkunjung ke Kairo minggu ini.
Kedua kepala negara setuju untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertama di Mesir.
Pada tahun lalu, Sisi berkunjung ke Rusia sebanyak dua kali untuk membicarakan pembelian senjata.
Mesir
 saat ini sedang sibuk memerangi kelompok Islam militan di Semenanjung 
Sinai dan juga khawatir dengan kekacauan yang terjadi di negara tetangga
 Libya.
“Mesir akan tetap membeli senjata dari AS, tapi juga akan 
membeli dari Rusia, dan ini sudah dijelaskan selama kunjungan Putin di 
Kairo,” kata Mathieu Guidere, pengamat masalah Arab.
“Kebijakan 
ini akan membuat Mesir berada dalam posisi yang lebih baik saat 
berhubungan dengan AS,” katanya. Demikian laporan AFP.(ANTARA News)


 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar