Ilustrasi Pasukan Marinir di Perbatasan |
Rindu sudah pasti, namun demi Indonesia semua tetap di jalani. Di ujung bagian barat Indonesia, di laut China Selatan, mereka tegar dan bertahan. Salah satunya Kapten Laut (P) Hadi Syafruddin yang harus meninggalkan Surabaya, Jawa Timur ke Tarempa pada Februari lalu.
Padahal saat itu usia kandungan sang istri sudah menginjak 7 bulan. “Sekitar dua bulan di sini, lahir (anak pertama saya), saya pulang sebentar lalu kembali ke sini lagi,” kata Hadi kepada detikcom di Tarempa, Sabtu (23/11) pekan lalu.
Walhasil, pria 33 tahun ini harus rela tidak dapat menyaksikan pertumbuhan sang anak yang kini telah belajar merangkak. Untuk menghibur rasa kangen, sesekali Hadi menelepon istrinya agar bisa mendengar tangis sang anak.
“Karena di sini (Anambas) sinyal sulit, kami mau 3G atau video call tidak bisa, jadi kami telepon, dengar suara anak nangis saja sudah senang,” kata Hadi, lulusan Akademi Angkatan Laut Surabaya tahun 1993 ini.
Hal senada juga dirasakan Letnan Satu, Deni Utama Sukapto. Lajang 26 tahun ini mengaku sulit melepas rindu jika hanya melalui sambungan telepon dengan orangtuanya di Jakarta. Sebab, sinyal telepon di Tarempa bisa hilang berhari – hari.
“Kalau kangen ya dibawa ngobrol, ngopi bareng kalau lagi tidak tugas. Telepon, sinyal juga kurang bagus. Pernah tiga hari gak dapat sinyal, dekat mes bisa hilang tiba – tiba,” kata Kepala Bagian Kesehatan Pangkalan Angkatan Laut Tarempa ini.
Sementara bagi Komandan Angkatan Laut Letnal Kolonel Agung Jaya Saktika, bertugas di perbatasan merupakan sebuah kehormatan. Meski untuk itu dia harus meninggalkan istri dan dua anaknya di Jakarta.
“Kalau kendala-kendala sih wajarlah namanya hidup, pasti kan keluarga tidak mungkin kami bawa semua di perbatasan, karena ada pendidikan, kata Agung.
♞ detik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar