JAKARTA (MI) :
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Jaleswari Pramodhawardani mengatakan menyikapi aksi penyadapan yang
dilakukan Australia hendaknya Pemerintah Indonesia melaporkannya ke PBB
seperti yang dilakukan negara-negara lainnya.
"Pemerintah Indonesia hendaknya melaporkannya ke PBB, tapi malah mengirimkan surat ke Perdana Menteri Australia," kata Jaleswari Pramodhawardani pada diskusi "Dialog Kenegaraan: Menakar Hubungan Indonesia-Australia Pasca Penyadapan," di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Rabu.
Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah anggota DPD RI Poppy Dharsono dan anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya.
Menurut
Pramodhawardani yang akrab disapa Dani, negara-negara lainnya
melaporkan aksi penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan
Australia terhadap 35 pemimpin dunia ke Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB).
Negara-negara
yang melaporkan ke PBB, kata dia, adalah Jerman, Brasil, Spanyol, dan
sejumlah negara lainnya, sehingga PBB menerbitkan resolusi anti
penyadapan karena melanggar privasi pemimpin negara dan melanggar hukum
internasional.
"Namun
reaksi Indonesia menyikapi aksi penyadapan yang dilakukan Australia
cukup unik, yakni marah-marah dan kemudian mengirimkan surat kepada PM
Australia Tonny Abbot," katanya.
Dani menilai, langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengirimkan surat kepada PM Asutralia adalah kurang tepat.
Menurut
dia, Pemerintah Indonesia bis ameninjau kembali perjanjian dengan
Australia yakni "Lombok Treaty" yang isinya menitikberatkan pada
kerjasama di bidang pertahanan, keamanan, kontra terorisme, maritime
security, dan intelijen. "Dalam perjanjian itu, Australia lebih banyak
diuntungkan secara strategis dan politik," katanya.
Peneliti
bidang pertahanan LIPI ini menjelaskan, penyandapan itu bisa dipandang
dari tiga aspek yakni yaitu hukum, psikologis dan politik.
Dari
aspek hukum, kata dia, ada konvensi Wina yang terkait etika hubungan
antarnegara, pada aspek politik ada etikanya dalam hal spionase,
intelejen, mata-mata dan sebagainya.
"Penyadapan
memang biasa dilakukan sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi
strategis dan tergantung bagaimana negara bekerja dalam operasi hitam
tersebut, tapi ada etika, hukum internasional, dan hubungan politik
antarnegara," tegasnya.
Soal
reaksi masyarakat dan parlemen Australia yang justru marah dengan PM
Tony Abbott dan mendesak agar meminta maaf kepada Indonesia, menurut
Dani, karena Austrlia banyak diuntungkan oleh posisi geografis dan
hubungannya dengan Indonesia.
Sumber : REPUBLIKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar