Minggu, 05 Oktober 2014

Inovasi di Tangan Sendiri, di Tanah Sendiri



 
Tatkala separuh dekade lalu “Zizhu chuangxin” dicetuskan Hu Jintao, Presiden China, bagaikan tengah meluruskan telunjuk ke masa depannya. “Zizhu chuangxin” atau “inovasi di tangan sendiri, di tanah sendiri”. Inilah mimpi yang tengah di kejar Negeri Semiliar Wajah. “Zizhu chuangxin”, menurut Hu, bukan saja satu-satunya pilihan agar China meraih kemakmuran berkesinambungan (sustainable prosperity) di abad-abad mendatang, tetapi juga taktik merebut tongkat kepemimpinan dunia (global leadership) ambisi China yang lain.

Di Beijing, Shanghai dan Shenzen, tiga kota sentra klaster teknologi-tinggi, keping-keping mimpi “Zizhu chuangxin” disusun. Zhongguancun Technology Center di distrik Haidian, Beijing, misalnya. Inilah hub teknologi yang telah sukses membidani kelahiran Loongson, prosesor mikro pertama karya ilmuwan China. Semula habitat terpenting di benua Asia dan bukan mustahil kelak dunia : 12.000-an perusahaan high-tech berkantor di klaster IT yang dihampari tujuh taman raksasa ini, termasuk perusahaan high-tech grup Fortune 500 seperti Microsoft, Intel, Google, ata NEC. Ribuan perusahaan IT lokal tumbuh bagai jamur musim hujan di hub teknologi yang tenaga ahlinya disuplai oleh dua perguruan tinggi prestisius, Tsinghua dan Peking University.
Zhongguancun jelas meniru pola sukses yang dilakoni hub teknologi Silicon Valley di California, AS, yang disokong Stanford University. Jadilah Zhongguancun Silicon Valley-nya China. Selain prosesor mikro Loongson, dari Zhongguancun,China mengorbitkan Lenovo. Inilah PC terbesar ketiga di dunia saat ini.

Ilustrasi ( rgsmanagement.com )
Jalan ‘Paten’ China
Lewat jargon “Zizhu chuangxin” China berambisi menanggalkan predikatnya sebagai ‘pabrik dunia’. Tak cukup label ‘made in China’, negeri tirai bambu mengejar label “innovated in China’ untuk produk-produk high-tech-nya di masa medatang.
Pemerintah China membuat dana riset kian tinggi, dari semula 1,49% GDP (102 miliar dolar AS) pada tahun 2007 ditargetkan menjadi 2,5% GDP pada 2020. Lewat cara ini, pemerintah sebenarnya ingin merangsang masyarakat agar gemar akan riset. Yang tak kalah penting, Insentif untuk penemuan-penemuan baru disemai, bahkan dibuat jorjoran (berlimpah). Iming-iming bonus menggiurkan ditebar kepada individu atau perusahaan yang mampu menciptakan paten, mulai dari perpanjangan masa pensiun, pemberian izin tinggal (residence permit) di kota-kota utama, hadiah kontrak kerja dari pemerintah, hingga pemotongan pajak hingga 25%. Singkat kata ekosistem inovasi diperbaiki secara serius.

Anggaran Belanja Litbang terhadap PDB ((Sumber : UNESCO 2012))
Hasilnya cukup spektakuler. Pada tahun 2008, misalnya, tak satu pun perusahaan di dunia yang mampu menandingi Huawei, perusahaan IT China, dalam perolehan paten baru. Sebagaimana dilaporkan Dinas Hak Cipta China, terjadi peningkatan 73% jumlah paten di seantero China dari semula 99.278 menjadi 171.619 sepanjang 2001-2005.
Ada yang meragukan memang, bahwa paten-paten China bener-bener mampu menyajikan ide-ide baru. Toh, negeri ini sudah cukup merasa suka cita dengan fakta meroketnya ekspor produk-produk high-tech mereka lebih dari 40% tiap tahun sepanjang 2002-2007. Di bidang teknologi Hankam (pertahanan keamanan), sudah tidak diragukan sejumlah negara membeli produk-produk China salah satunya adalah “Indonesia”.

Potensi : Perlu Dibangkitkan Kembali
Gelar Indonesia sebagai “macan” ekonomi Asia sebelum krisis juga ditempuh melalui langkah-langkah terobosan penting. Untuk memperkuat ketahanan pangan, kandungan teknologi (biotek) sektor pertanian mulai dari pembibitan, pembudidayaan sampai ke tahap agro industri ditingkatkan dan diperkuat penerapannya.
Hasilnya kita dapat mencapai swasembada beras yang membuahkan pengakuan FAO (Food and Agriculture Organization atau Organisasi Pangan dan Pertanian di bawah naungan PBB) di tahun 1984. Kemampuan manufaktur sektor industri untuk menghasilkan produk-produk bernilai tambah tinggi terus diupayakan. Produk hasil industri dalam negeri ini kemudian diberi peluang untuk berkembang. Lapangan kerja menjadi terbuka lebar.
Dirgantara Indonesia (dulu IPTN) menandatangani kontrak dengan Boeing untuk membuat 8.000 komponen air-frame Boeing 737. IPTN memperoleh kontrak 10 tahun dari General Dynamic untuk memproduksi 3.462 komponen air-frame F-16. Hal serupa dilakukan dengan Airbus setelah Garuda membeli 9 unit A-330.

Kapal buatan PT PAL
PAL memroduksi kapal tanker 30.000 LTDM untuk Pertamina dan kapal barang Star 50 yang berbobot mati 50.000 ton untuk pelayaran Jerman. Hingga tahun 2008, pemesanan kapal niaga PT. PAL sudah penuh merampungkan 21 kapal berbobot besar. 80% dari pemesanan itu datang dari luar negeri, seperti : Jerman, Italia, Portugal, Hongkong, dan Turki. Gambaran ini menunjukan bahwa kita adalah bangsa yang bisa berproduksi bila saja diberi peluang untuk berkembang.
Bagi tenaga ahli terdidik kita, termasuk lebih kurang 5.000 tenaga ahli yang dikirim ke berbaai perguruan tinggi terbaik di luar negeri, tersedia pusat-pusat keunggulan seperti Puspitek serta perusahaan-perusahaan industri strategis sebagai wahana untuk mereka berkiprah mengembangkan talenta. Sayangnya, jangankan meloncat kedepan menuju ekonomi inovasi, kita malah mundur ke belakang, kembali ke ekonomi SDA yang mengandalkan ekspor bahan mentah dan barang-barang bernilai tambah rendah.

“Change is the process by which the future invades Our Lives” Alvin Toffler (1992)
Sekarang kembali kepada kita, apakah akan mundur atau tetap maju, “Anda percaya, Kami pasti bisa”.
Ini ditulis oleh Prof. Dr. Ir. Muhammad Zuhal, MSc, EE, adalah seorang ilmuwan dan mantan Menristek era Kabinet Refomasi Pembangunan yang pernah meniti karir di ITB dan UI. Saya edit beberapa biar bisa menjadi beberapa artikel dan ditambah beberapa karya ilmuwan kita, semoga bisa dimengerti teman-teman. Kalau ada kritik atau saran sangat saya harapkan, semoga bisa beranfaat. Salam Perjuangan, Jalo. Bersambung…..

JKGR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar