WASHINGTON – Pemerintah Kerajaan Arab Saudi membantah bahwa Yaman jadi medan perang proxy antara Saudi dan Iran. Hal itu disampaikan Duta Besar Arab Saudi untuk Amerika Serikat (AS), Adel Ahmed al-Jubeir.
Menurut Jubeir, agresi militer Saudi dan koalis Teluk dengan nama
“Operation Decisive Storm” murni untuk menyelamatkan pemerintah sah
Yaman dari pemberontakan milisi Houthi. ”Kampanye (agresi) ini dilakukan
terhadap kelompok (Houthi) yang didukung oleh Iran dan Hizbullah,” kata
Jubeir seperti dilansir NBC News.Jubeir menegaskan, agresi di Yaman bukan sebagai perang proxy antara Riyadh dan Teheran. Perang proxy adalah perang di mana kedua pihak menggunakan pihak ketiga sebagai objek perang.
Ditanya soal kemungkinan Arab Saudi dan Iran bisa hidup berdampingan secara damai di Timur Tengah. Jubeir mengatakan, bahwa Kerajaan Arab Saudi selama ini telah menghadapi banyak permusuhan dari pihak Iran.
”Kami telah mengulurkan tangan persahabatan kepada Iran, tetapi mereka menolak untuk 35 tahun terakhir; kami ingin hubungan persahabatan dengan mereka karena akan baik untuk wilayah (Timur Tengah). Tapi apa yang terjadi adalah akibat dari tindakan Iran, dan bukan dari Kerajaan (Saudi),” ujar diplomat Saudi itu, seperti dilansir Arab News, Selasa (31/3/2015).
Menurut Jubeir, agresi militer Saudi dan koalisi Teluk adalah tindakan terpaksa setelah semua upaya damai gagal dilakukan. Dia mengklaim Saudi sudah mencoba segala cara untuk menghindari perang, tapi milisi oposisi Houthi terus melakukan serangan untuk menguasai kota-kota di Yaman.
”Ketika Houthi mengambil kendali Kota Aden, permintaan pemerintah sah Yaman untuk campur tangan sesuai Pasal 51 PBB harus diperhatikan,” imbuh Jubeir. (sindonews.com)
.
Perang Yaman dan Perseteruan Sengit Saudi-Iran
.
SANAA – Perang
di Yaman antara kelompok Houthi dan pasukan pemerintah Yaman tak bisa
lepas dari peta politik perseteruan sengit antara Arab Saudi dan Iran.
Rivalitas sektarian antara kaum Sunni dan Syiah dalam perebutan kekuasan
di Yaman juga mulai tampak.
Hari ini (26/3/2015), Saudi dan sembilan negara Teluk resmi
meluncurkan agresi militer di Sanaa, Yaman. Mereka berdalih, agresi itu
untuk memerangi kelompok Houthi dan menyelamatkan pemerintah sah Yaman
di bawah kepemimpinan Presiden Mansour Hadi.Kelompok Houthi yang didominasi kaum Syiah dikenal sebagai sekutu utama Iran. Pemerintah Iran sendiri belum bereaksi setelah sekutunya di Yaman dikeroyok 10 negara Teluk.
Para analis melihat rivalitas Saudi dan Iran ikut mewarnai perang di Yaman. Iran yang hampir mencapai kesepakatan nuklir dengan enam negara kekuatan dunia sudah membuat Saudi resah.
”Ini tidak biasa bahwa Saudi mengambil langkah militer. Pada saat ini, saya tidak berpikir harga minyak sangat mungkin akan melejit hanya karena ini. Namun hal ini menjadi seperti perang proxy antara Sunni dan Syiah sehingga merupakan sumber keprihatinan,” kata Norihiro Fujito, analis investasi senior di Mitsubishi UFJ Morgan Stanley Securities, seperti dikutip Reuters, Kamis (26/3/2015).
“Sekarang, reaksi Iran akan menjadi fokus. Saya hanya berharap Iran tidak akan bereaksi berlebihan terhadap hal ini. Jika perang proxy ini menjadi perang nyata, seluruh Timur Tengah akan dilalap perang, meskipun saya berpikir itu tidak mungkin terjadi,” lanjut Fujito.
Jang JI-hyang, Direktur Middle East and North Africa Center di Asan Institute For Policy Studies yang berbasis di Seoul, juga sependapat bahwa perang di Yaman tak bisa lepas dari ketegangan Saudi dan Iran.
”Kenapa sekarang? Arab Saudi tidak puas dengan pembicaraan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat yang tampaknya menghasilkan kemajuan,” ujarnya.
“Namun Iran tidak mungkin untuk menanggapi Saudi dalam operasi (militer) di Yaman, karena mereka tidak ingin menjadi pengacau dengan terlibat dalam konflik, sementara kesepakatan nuklir masih tertunda,” imbuh Ji-hyang.(sindonews.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar