Menhan: TNI AL akan Beli 15 Kapal Selam Baru
Purnomo
Yusgiantoro, Menteri Pertahanan mengatakan akan terus menambah jumlah
kapal selam yang dimiliki TNI Angkatan Laut. Langkah ini merupakan
bagian dari upaya pemerintah untuk menambah kemampuan pertahanan laut
yang dimiliki TNI AL.
"Saat ini kita
kembangkan kapal selam dari Jerman untuk seri 209. Kita juga sedang
bangun tiga kapal selam dari Korea," kata Purnomo, di sela-sela serah
terima Kapal Cepat Rudal (KCR) 60 Meter di dermaga Ujung PT PAL
Surabaya.
Menurut
Purnomo, untuk memenuhi batas minimal kekuatan laut, pemerintah akan
membeli sebanyak 15-18 kapal selam baru. Selain Jerman, beberapa negara
juga telah menawarkan kapal selam baru diantaranya dari Rusia, Prancis,
serta Swedia.
Untuk Rusia,
kapal selam yang ditawarkan adalah jenis Kilo Class dengan efek
penangkal bebas yang cukup baik karena dilengkapi senjata seperti peluru
kendali, torpedo, antiranjau, dan antipeluru kendali, serta rudal
dengan daya jelajah hingga 300 kilo meter.
"Kita sudah
tinjau dan kelihatannya yang dari Rusia ini tidak pas dengan medan yang
kita miliki," kata Purnomo. Karenannya, pemerintah saat ini masih
mengandalkan pembuatan kapal selam dari Korea.
Untuk tiga
kapal selam yang saat ini diproduksi galangan Korea, satu diantaranya
dibangun dengan bekerjasama antara galangan Korea dan PT PAL dengan cara
transfer teknologi.
"Kita lebih
suka jika pemenuhan kapal selam ini diproduksi PT PAL karena ada
kegiatan ekonomi yang menguntungkan bagi tenaga kerja dalam negeri,"
kata Purnomo.
Di tempat yang
sama Laksamana TNI Marsetio, Kepala Staf Angkatan Laut mengatakan saat
ini TNI AL hanya memiliki dua kapal selam. Dia berharap, tiga kapal
selam yang dibangun bekerjasama dengan Korea segera rampung sehingga
bisa menambah kekuatan yang dimiliki TNI AL.
"Kita punya
dua, sekarang bangun lagi tiga, dan nanti akan kita bangun lagi tiga
sehingga kekuatan minimum sudah kita miliki," kata Marsetio.
Indonesia Tertarik Memberli Sukhoi SU-35 BM
Target TNI di
Minimum Essential Force (MEF) I untuk mengantisipasi konflik/sengketa
wilayah dengan negara tetangga di utara, seperti Kasus Ambalat, bisa
dikatakan berhasil. Berhasil dalam artian mengumpulkan senjata yang
mematikan dan memiliki daya gentar yang tinggi. Untuk pertempuran di
garis perbatasan maupun pertempuran anti-gerilya, keberadaan Apache
AH-64E Guardian, Mi-35, MBT Leopard, serta pesawat tempur Super Tucano,
akan menjadi mimpi buruk bagi lawan.
Akan tetapi
Apache AH-64E Guardian, Mi-35, MBT Leopard 2A4 serta Super Tucano
menjadi tidak berarti, ketika ada negara lain yang melakukan serangan
dengan pesawat tempur dan bomber. Keempat Alutsista itu tidak berdaya,
ketika ada skadron pesawat musuh melakukan serangan kilat dan membom
obyek vital di Indonesia.
Australia
sempat berpikir untuk membom Jakarta dengan F-111 Aadvark, ketika
pasukan Untaet yang hendak mendarat di Timor Timur pasca jejak pendapat
1999, hendak dihalangi militer Indonesia. Jika serangan itu terjadi,
bombardir yang mereka lakukan terhadap obyek vital, besar kemungkinan
akan mendapatkan hasil, meski beberapa fighter atau bomber mereka
berhasil dirontokkan fughter Indonesia.
Dalam program
MEF I, TNI terus menambah radar untuk dapat memonitor seluruh wilayah
udara Indonesia. Namun apalah artinya radar, jika tidak bisa menembak.
Indonesia
terlalu luas untuk sekedar memiliki satu skuadron heavy fighter
SU-27/30. Apalagi pesawat-pesawat tempur negara di sekitar Indonesia
akan terus semakin canggih. Australia dan Singapura sebentar lagi akan
memiliki F-35. Malaysia sedang mempertimbangkan untuk membeli F/A 18 E/F
Advance. Singapura juga memiliki F-15 Silent Eagle. Belum lagi
pesawat-pesawat tempur stealth China seperti Chengdu J-20.
Mungkin kita
masih ingat ketika F-16 Indonesia menyergap F/A-18 Hornet USAF di
wilayah Bawean. Namun F-16 Indonesia tidak bisa berbuat banyak, kerena
pesawat lawan memberikan gertakan yang lebih kuat. Kehadiran 24 pesawat
F-16 block 25 eks US Air Guard, tidak cukup signifikan untuk
meningkatkan kemampuan Angkatan Udara Indoesia. AS sendiri hanya
menggunakan F-16 block 25 sebagai armada perang lapis kedua. Pasukan
pemukul udara AS untuk fighter jenis F-16 berkualifikasi Block 40/42 ke
atas.
Coba bayangkan
akan seperti apa bila F-16 block 25 Indonesia berhadapan dengan F-35
Australia dan Singapura ?. Yang ada pesawat tersebut akan balik kanan,
kembali ke markas. Lain halnya jika Indonesia telah memiliki sistem
pertahanan anti-udara jarak jauh – menengah seperti S-300 family. Tidak
akan mudah bagi pasukan asing untuk menerobos wilayah Indonesia dan F-16
bisa menutup lubang yang masih ditinggalkan S-300.
Praktis
sekarang Indonesia hanya memiliki 1 skadron pesawat heavy fighter SU
27/30 untuk mengkover wilayah Indonesia yang demikian luas. Tentu hal
itu tidak mencukupi.
Jangan pernah
berpikir tidak akan ada perang, karena jika perang itu benar-benar
datang, maka porak porandalah kita, karena salah mengambil asumsi.
Inggris tidak pernah berpikir akan berperang dengan Argentina yang
merupakan sahabat perdagangan mereka. Namun faktanya, perang itu
mendatangi Inggris. Begitu pula dengan kasus ancaman Australia maupun
provikasi yang dilakukan Malaysia di Ambalat. Sebelumnya, kita tidak
pernah berpikir hal itu akan dilakukan tetangga kita.
Kabar gembira
muncul dari Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kamis 26 September 2013,
bertempat di Surabaya. Panglima TNI tertarik untuk membeli SU 35, untuk
memperkuat Skadron SU-27/30 yang dimiliki Indonesia saat ini.
“Syukur kali
ini pesawat tempur Sukhoi sudah satu skuadron. Diharapkan akan ada lagi
pembelian jenis SU-35 karena lebih canggih. Semoga perekonomian bisa
semakin membaik, sehingga negara bisa membeli alutsista sebagai
penguatan NKRI,” kata Moeldoko (republika.co.id/ 26/09/2013).
Jika Sukhoi
Su-35 jadi dibeli pada MEF II (2015-2019), kekuatan angkatan udara
Indonesia, cukup gagah untuk meladeni pesawat tempur asing yang mencoba
menyerang Indonesia.
Untuk
mendapatkan air superiority, Indonesia membutuhkan setidaknya tambahan 3
skuadron Sukhoi, yang tentunya keberadaannya lebih powerfull
dibandingkan Helikopter Apache maupun MBT Leopard. Sukhoi akan dapat
bergerak cepat untuk menutup celah yang ada di udara Indonesia ataupun
untuk mengusir pesawat yang menyusup.
Jika radar
Indonesia mendeteksi adanya serangan musuh, Indonesia tidak bisa
menembaknya dengan Apache AH-64E ataupun MBT Leopard, melainkan angan
udara. Apache dan Leopard hanya dibutuhkan Indonesia ketika musuh telah
mendarat ke tanah Indonesia. Hal itu hanya bisa terjadi jika air
superiority dan sistem pertahanan udara Indonesia, telah dilumpuhkan
musuh.
Pasukan
multinasional yang dipimpin AS, hanya melakukan serangan darat ke Irak,
setelah air superiority dan sistem pertahanan anti serangan udara
dilumpuhkan terlebih dahulu. Sementara dalam kasus peperangan di Serbia,
AS tidak berani melakukan serangan udara/ bombardir, karena satelit
mata-matanya menangkap ada beberapa baterai S-300 yang digelar oleh
Serbia. Padahal usai perang diketahui sebagian besar baterai itu
hanyalah dummy alias palsu.
Pada MEF II,
TNI harus bisa membuat Angkatan Udara berada pada level pasukan yang
disegani lawan (having a respectable Air Force), yang bertujuan untuk
membuat pihak asing berpikir puluhan kali jika hendak menganggu wilayah
Indonesia.
Meskipun
Indonesia merasa yakin tidak ada musuh potensial saat ini, namun
mengamankan wilayah udara adalah sangat penting, karena dari situlah
wibawa negeri Indonesia ditegakkan. Rudal pertahanan udara, UAV serta
pesawat tempur modern dibutuhkan Indonesia, walau jumlahnya masih
sedikit. Efek deteren itu antara lain dimunculkan oleh adanya pesawat
tempur yang modern/ up to date, bukan pesawat lawas. Sudah waktunya
Indonesia merogoh sakunya di MEF II, untuk kebutuhan tersebut.
Kegunaan S-300
Jika Indonesia
memiliki sistem pertahanan udara S-300, maka alutsista ini akan secara
efektif menghentikan kemampuan ofensif dari musuh dan tidak memberikan
mereka air superiority.
S-300
digabungkan dengan sistem anti-udara jarak pendek (meski sudah tua),
akan memberikan perlindungan sangat kuat. S-300 tidak akan efektif untuk
menangkal pesawat tempur atau rudal yang sudah terlalu dekat, serta
terbang rendah di bawah 25 meter menelusuri relief bumi. Pesawat tempur
atau rudal yang lolos ini, akan ditangani dengan baik oleh rudal/senjata
anti udara jarak pendek, seperti gabungan starstreak dan Oerlikon
Skyshield atau jenis lainnya, seperti Pantsir.
Gabungan S-300
dengan Pantsir atau rudal anti-udara jenis lainnya, akan menjadi duet
maut, sangat sulit untuk ditembus. Untuk tidak tidak heran negeri yang
memiliki ancaman militer tinggi, seperti Iran dan Suriah, mati-matian
untuk mendapatkan S-300 family.
Jenis Rudal Anti-Udara S-300
S-300P (1978) – 5V55K missile, 47 km range.
S-300PS (1983) – 5V55R missile, 75 km range.
S-300PMU1 (1993) – 4N6E missile, 150 km range.
S-300PMU2 (1997) – 4N6E2 missile, 200 km range.
S-400 modifikasi dari S-300PMU2.
Tiga varian S-300 yakni: S-300V, S-300P dan S-300F :
S-300V. Kode V
yang berarti Voyska ditujukan untuk pasukan darat. Perlindungan udara
untuk pasukan darat ini meliputi: anti rudal balistik, anti rudal
jelajah serta pesawat tempur. S-300V diangkut oleh MT-T transporters
(tracked) dengan amunisi rudal 9M83 “GLADIATOR” berdaya jangkau maksimum
75 km. Sementara 9M82 “GIANT” (SA-12B Giant) dapat mencapai target
hingga 100 km dan mampu menyasar pesawat/rudal di ketinggian (altitude)
32 km (100,000 ft). S-300V lebih ditujukan untuk menangkis serangan
Anti-Ballistic Missile.
Sementara
S-300P merupakan versi orsinil dari sistem pertahanan udara S-300. Huruf
P berarti PVO-Strany (Sistem pertahanann udara negara). Awalnya S-300P
kesulitan untuk menjejak target di bawah 500 meter dari permukaan tanah.
Namun Rusia terus mengembangkan sistem Track Via Missile-nya (TVM)
sehingga kini mampu menjejak target di ketingian 25 meter.
S-300PT-1 dan
S-300PT-1A (SA-10b/c) merupakan versi import maupun kebutuhan dalam
negeri Rusia, hasil pengembangan dari sistem S300PT. Sistem rudal ini
menggunakan rudal 5V55KD dengan jangkauan 75 km. Pada tahun 1985
diperkenalkan S-300PS/S-300PM dengan rudal baru 5V55SR dengan jangkauan
90km dan dilengkapi dengan terminal pemandu semi-active radar homing
(SARH).
Tahun 1992
diperkenalkan S-300PMU untuk versi eksport dengan feature upgrade rudal
5V55U yang bisa menjejak obyek yang lebih kecil serta memiliki jangkauan
hinga 150km.
Jenis peluncur
maupunjenis rudal terus berkembang. Ukuran dan hulu ledak yang lebih
kecil namun memilki janghkauan yang lebih jauh. S-300PMU-2 misalnya
dengan mengusung rudal rudal 48N6E2 mampu menggasak sasaran hingga jarak
195km. Sementara rudal 9M96E2 mampu menggasak sasaran yang sangat dekat
hingga jauh, yakni dari jarak 1 hingga 120 km.
Adapun S-300F
yang berarti Flot (fleet) diperkenalkan tahun 1984 untuk pertahanan
anti-udara kapal perang yang mengacu pada Sistem S-300P. Dilengkapi
rudal baru 5V55RM, jangkauan sistem S-300F bertambah menjadi 7-90 km
dengan kecepatan 4 mach dan mampu menghajar target di ketinggian 25
-25.000 meter (100-82,000 ft). S-300FM adalah versi yang lebih baru dan
diperkenalkan pada tahun 1990. Kecepatan rudal meningkat pesat menjadi 6
hingga 8,5 Mach dengan hulu ledak 150 kg dan mampu menyasar target
5–150 km (3–93 mi) di altitude 10m-27 km (33–88500 ft). Setelah
dilengkapi dengan ultimate track-via-missile guidance method, rudal ini
dapat menyergap short-range ballistic missiles.
Katakanlah anda
memiliki dua Pangkalan Udara yang satu dilindungi oleh S-300 dan satu
lagi dilindungi AAA Gun. Kerusakan keduanya memiliki nilai militer yang
sama. Kira-kira Pangkalan Udara mana yang akan dipilih musuh untuk
dihancurkan ?. Tentunya yang dilengkapi pertahanan udara AAA Gun. Semua
militer akan mencari target yang lebih mudah. Jika S-300 harus diserang
oleh musuh, tentu ada berbagai cara yang mereka lakukan.
S-300 bisa
dilumpuhkan, namun membutuhkan usaha yang besar. Membutuhkan kordinasi
yang tinggi, teknologi jamming- decoy, taktik dan skill. Sistem
pertahanan S-300 memiliki keterbatasan persediaan rudal yang akan
ditembakkan. Ketika persediaan itu sudah habis dilepas, tentu akan mudah
bagi musuh untuk menghancurkannya.
Satu contoh
yang bagus, NATO pada tahun 2011 mengujicoba SEAD fighter mereka
(Supression of Enemy Air Defenses) dengan Early Warning Aircraft
terhadap sebuah sistem pertahanan udara S-300 Slovakia. Usai ujicoba
hanya pesawat Rafale yang mampu keluar dari latihan itu tanpa tertembak.
Pesawat lain rontok disikat S-300. Untuk itulah mengapa NATO dan Israel
sangat resah dengan Suriah yang diduga telah diperkuat oleh Rusia
dengan S-300. Rusia terus memodernisasi sistem pertahanan udara Suriah.
Missile
S-300PMU-2 merupakan tantangan berat bagi seluruh pesawat tempur
generasi 4 atau 4++ dalam jarak 150 km. Kecepatan dari rudal 48N6E2
S-300PMU-2 sekitar 3 km/ detik atau 6 hingga 8 kecepatan suara/ Mach.
Bayangkan saja anda seorang pilot F-16 yang terbang dengan kecepatan 1,8
Mach dihampiri oleh rudal kecepatan 6 Mach.
Katakanlah
negara kita memiliki dua baterai S-300PMU-2 dengan rudal 48N62E yang
setiap baterainya dilengkapi 8 hingga 12 launcher S-300PMU-2.
Masing-masing unit S-300PMU-2 dilengkapi 4 rudal siap tembak. Artinya
ada 16 hingga 24 S-300PMU-2 dikalikan (x) 4 rudal, yakni 64 hingga 96
rudal ditembakkan dalam waktu 10 menit. Harga 64 hingga 94 pesawat
tempur itu sekitar 10 hingga 20 miliar dollar. Kira-kira bagaimana
perasaan atau nyali pihak asing yang hendak mencoba-coba atau mengganggu
wilayah udara Indonesia?. Pada MEF II, kita membutuhkan a respectable
Air Force.
Alangkah bangganya kalau pembangunan kekuatan alutsista sepaerti diatas dapat terwujud
BalasHapusSebenarnya bukan karena Kilo Class tidak cocok dg Geografis Indonesia, melainkan karena intervensi Amerika TNI tdk boleh memilikinya.
BalasHapusCoba ditempatkan di Ambalat / Perairan selatan Papua, sangat cocok itu..!!!