Kamis, 05 Maret 2015

Hukuman Mati, Hipokrisi Indonesia dan Kuping Tipis Australia

Kendaraan khusus baracuda dan rantis milik Brimobda Polda Bali akhirnya tiba di Lembaga Pemasyarakakatan Kerobokan, Denpasar, pada Rabu, 4 Maret 2015 sekitar pukul 04.29 WITA untuk menjemput terpidana mati Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Para napi lain langsung berteriak riuh rendah ketika kendaraan itu masuk ke dalam lapas.

Chan dan Sukumaran pun mulai meninggalkan lapas pukul 05.18 WITA. Mereka diantar menuju ke Bandara Ngurah Rai dengan dikawal ratusan petugas polisi. Pesawat charter Lion Air jenis ATR 72 telah menanti mereka di bandara.


Hukuman Mati, Hipokrisi Indonesia dan Kuping Tipis Australia

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Hukum dan HAM Provinsi Bali, Nyoman Putra Surya, menuturkan jelang eksekusi tidak sedikit pun ada raut takut terlihat dari wajah Chan dan Andrew. Keduanya tetap tersenyum sumringah walau ajal siap menjemput.



"Tadi, saat diajak masuk ruangan bertemu Kapolda, Wagub, dan pemimpin lainnya. Dia malah senyum-senyum," ujar Putra di Lapas Kerobokan pada Rabu pagi kemarin.

Dia menambahkan kedua pria asal Sydney itu terlihat siap menghadapi eksekusi mati. "Mereka begitu siap. Tidak ada ketakutan sama sekali. Itu yang saya lihat," imbuh dia.

Putra mengatakan tak ada perlakuan khusus kepada keduanya. Tangan Chan dan Sukumaran diborgol di depan. "Tak dipakaikan penutup kepala dan lainnya. Tidak ada perlakuan khusus," kata dia.

Chan dan Sukumaran akan bergabung dengan delapan terpidana mati lainnya yang juga akan diterbangkan ke Pulau Nusakambangan. Di sana, mereka akan menghadapi regu tembak untuk dieksekusi.

Namun, berita pemindahan ini menjadi mimpi buruk bagi Pemerintah Australia. Kekecewaan terlihat jelas dari raut wajah Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop. Tak mengherankan jika Bishop kecewa, lantaran lobi-lobinya selama ini ke Pemerintah Indonesia tidak digubris.

"Saya kecewa mendengar laporan Andrew dan Myuran telah dipindahkan dalam persiapan eksekusi mereka," ujar Bishop ketika diwawancarai Fairfax Media.

Dia semakin kecewa, karena informasi mengenai pemindahan dan hari eksekusinya tidak diinformasikan oleh otoritas Indonesia. Bagi Pemerintah Australia, sosok gembong narkoba sudah menjadi masa lalu.

Selama hampir 10 tahun tertunda pelaksanaan eksekusinya, Bishop mengatakan Chan dan Sukumaran telah menjadi orang yang berbeda.

"Dengan adanya fakta bahwa mereka telah menjadi individu yang berubah, sementara eksekusi tetap dijalankan, ini sungguh perbuatan keji," kata dia.

Respon kecewa juga diungkap oleh Perdana Menteri Tony Abbott. Saat diwawancarai oleh radio ABC, pemimpin Partai Liberal itu mengatakan jutaan penduduk Australia muak dengan perkembangan kabar mengenai eksekusi mati kedua warganya.

"Kami membenci kejahatan narkoba, tetapi kami juga benci hukuman mati yang kami pikir tak pantas dilakukan untuk negara seperti Indonesia," kata Abbott.

Tidak Memburuk

Ini merupakan ujian ke sekian kalinya bagi hubungan bilateral Australia dan Indonesia. Hubungan diplomatik keduanya kembali tegang usai berhasil pulih akibat terbongkarnya skandal penyadapan oleh Badan Intelijen Australia, ASIO, terhadap ponsel mantan Presiden SBY dan Ibu Ani Yudoyono.

Publik kemudian menduga hubungan kedua negara berpotensi kembali ke titik nadir akibat isu pelaksanaan hukuman mati. Namun, prediksi itu dimentahkan oleh Julie Bishop. Walaupun dia kecewa terhadap sikap Indonesia yang bergeming untuk melaksanakan eksekusi mati, Bishop tidak berniat menarik Duta Besar terpilih, Paul Grigson.

Harian Sydney Morning Herald (SMH) Rabu kemarin melansir, Bishop bercermin dari kasus serupa yang pernah terjadi di Singapura dan Malaysia. Di kedua negara itu, warga Negeri Kanguru juga dieksekusi akibat kasus narkoba.

"Dalam dua peristiwa sebelumnya yang berkaitan di Singapura dan Malaysia, tak ada penarikan diplomat. Namun, memang ada beberapa pertemuan dan inisiatif yang  bisa ditunda hingga waktu yang tepat," ujar Bishop.

Kendati eksekusi tinggal menunggu hari, namun Bishop tidak putus harapan. Dia akan tetap mencoba untuk menghubungi para Menteri di Indonesia agar eksekusi mati dibatalkan.

Tony Abbott pun setali tiga uang. Sikapnya yang semula begitu agresif, terlihat mulai melunak jelang eksekusi mati. Abbott mengakui walaupun hubungan bilateral tetap terjalin, namun akan ada masa-masa sulit yang harus dilalui paska eksekusi.

Dia pun meminta warga Negeri Kanguru tidak melampiaskan kemarahan mereka akibat eksekusi Chan dan Sukumaran secara berlebihan.

"Saya harus mengatakan kemarahan bukan menjadi dasar yang baik untuk menentukan kebijakan nasional suatu negara dan kemarahan yang berkepanjangan juga tidak bisa dijadikan alasan yang baik untuk menentukan bagaimana Anda bertindak nanti," ungkap Abbott.

Dia pun mengakui, hubungan baik yang terjalin dengan Indonesia sangat penting bagi Negeri Kanguru. Apa pun yang mungkin terjadi dalam beberapa hari ke depan dengan Indonesia, lanjut Abbott harus dapat diatasi.

Menyikapi perubahan respons itu, pengajar dari Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Tirta Mursitama, menilai ada pelunakan sikap dari Pemerintah Australia jelang pelaksanaan eksekusi. Dia berpendapat Negeri Kanguru menyadari dunia tidak lantas akan kiamat jika dua orang ini dieksekusi.

"Australia semula kan berniat melakukan psy war dengan mengeluarkan semua jurus dan manuver yang mereka miliki. Tetapi, Indonesia tetap bergeming dan Australia menyadari pelaksanaan hukuman mati merupakan otoritas Pemerintah RI," ujar Tirta yang dihubungi VIVA.co.id melalui telepon pada Rabu, 4 Maret 2015.

Dia mengatakan jika melihat pola pikir Abbott, maka apa yang dilakukannya selama ini hanya untuk membela warganya. Abbott berpikir dengan cara demikian, maka negara lain bisa menghormati Australia.

Walaupun begitu, Tirta menolak cara-cara pendekatan yang digunakan Bishop dan Abbott yang semakin agresif, bahkan hingga mengungkit isu masa lalu seperti bantuan tsunami. Padahal, ketika bantuan tsunami diberikan tahun 2004 lalu, Abbott belum menduduki kursi PM.

Guru besar Hubungan Internasional itu juga melihat kecil kemungkinan isu eksekusi mati akan berpengaruh terhadap bidang kerjasama kedua negara. Pengusaha Australia sadar betul, ujar Tirta, segala konsekuensi yang harus ditanggung jika karena isu ini, maka kerjasama juga ikut bubar.

"Hubungan perdagangan dan bisnis kan merupakan sebuah komitmen panjang. Indonesia merupakan pasar besar khususnya untuk produk olahan berbahan dasar susu," kata Tirta.

Melihat fakta tersebut, Tirta menilai, jika pengusaha Australia tidak akan gegabah untuk memutus kontrak bisnis dengan pengusaha RI.

Dalam kesempatan itu, dia pun turut menyebut, hubungan kedua negara sejak awal memang tidak pernah mulus. Tercatat, dua Dubes RI yang pernah bertugas di Australia pernah dipanggil pulang ke Jakarta di saat sedang bertugas.

Kejadian pertama berlangsung pada 2006 lalu. Saat itu, Dubes Hamzah Thayeb dipanggil pulang sebagai bentuk protes atas pemberian visa tinggal sementara bagi 42 warga Papua yang mencari suaka. Selanjutnya, Dubes Nadjib Riphat Kesoema dipanggil pulang pada akhir 2013 lalu gara-gara skandal penyadapan ASIO dibocorkan oleh agen NSA, Edward J. Snowden.

Hubungan kedua negara yang pasang surut itu juga kerap tegang karena isu manusia pencari suaka. Pemerintah Indonesia geram karena sikap Australia yang mendorong perahu pencari suaka ke perairan RI. Sikap itu sering kali diprotes Indonesia karena dilakukan sepihak.

Menurut Tirta, jika kedua negara bisa melewati momen sulit usai eksekusi mati, Indonesia perlu mencari cara-cara baru terhadap hubungan ini.

Opini Terbelah


Di dalam negeri Australia pun, tidak sepenuhnya publik mereka menolak eksekusi mati. Pendapat tersebut bisa terlihat dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Riset, Roy Morgan pada pertengahan Januari lalu.

Mereka melakukan survei pada periode 23-27 Januari 2015 dan berhasil memperoleh 2.123 responden.

Laman The New Daily Australia melansir, mayoritas warga Negeri Kanguru berpikir gembong Bali Nine seharusnya dieksekusi mati. Sementara, total sebanyak 52 persen responden bahwa warga Australia yang divonis hukuman mati di negara lain karena menyelundupkan narkoba, harus segera dieksekusi.

Sebanyak 64 persen responden mengatakan Pemerintah Negeri Kanguru berhenti melakukan berbagai upaya supaya eksekusi terhadap Chan dan Sukumaran batal terlaksana.

Pemerintah Australia geram terhadap hasil survei ini dan menyayangkan sikap pejabat Indonesia yang kerap mengutip hasilnya. Di mata Julie Bishop, hasil survei Roy Morgan justru dijadikan pembenaran bagi Indonesia untuk tetap melakukan eksekusi mati.

Hasil survei ini dibalas dengan riset yang dilakukan institusi lainnya. Kali ini organisasi New Lowy Institute pada pertengahan lalu turut merilis hasil survei versi mereka. Sebanyak 62 persen menolak eksekusi mati terhadap Chan dan Sukumaran.

Bahkan, sebanyak 69 persen warga Australia berdasarkan survei itu meyakini secara umum eksekusi mati tidak seharusnya digunakan sebagai sebuah hukuman untuk kasus narkoba.

Direktur Eksekutif Lowy Institute, Michael Fullilove, mengatakan jelang eksekusi terhadap Chan dan Sukumaran, sikap publik Australia dan oposisi kian jelas.

"Survei Lowy Institute merupakan pernyataan yang kuat dari publik Australia terhadao eksekusi Chan dan Sukumaran," kata Fullilove.

Namun, diduga kelompok pendukung Chan dan Sukumaran menyampaikan dukungan dalam bentuk ancaman. Gangguan itu dialami oleh Gedung KJRI Sydney pada Senin malam kemarin.

Menurut informasi pejabat KJRI bidang sosial dan budaya, Nicolas Manoppo kepada VIVA.co.id, pada Senin malam, pelaku membawa sekitar 10 balon berisi cairan berwarna merah menyerupai darah.

Sebagian dari balon itu diinjak-injak, sementara sisanya dilemparkan ke gedung KJRI. Kendati diplomat yang akrab disapa Nico itu menyebut cairan itu merupakan cat, sementara Konsul Jenderal RI di Sydney, Yayan GH Mulyana, menyebut cairan merah berasal dari pewarna.

Berdasarkan rekaman kamera pengawas (CCTV), ujar Yayan, diduga pelaku merupakan wanita. Pengamanan di depan gedung KJRI diperketat dan mereka mengeluarkan imbauan kepada WNI di negara bagian New South Wales.

Kendati secara eksplisit belum diketahui apakah gangguan itu terkait penolakan eksekusi mati, namun aksi serupa juga pernah terjadi sebanyak dua kali. Aksi diwujudkan dalam bentuk unjuk rasa sambil membawa poster bertuliskan "pengampunan bagi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran".

Yayan mengatakan kini operasional KJRI tetap berjalan seperti biasa walau sempat diganggu.

"Kami tetap memberikan pelayanan keimigrasian dan kekonsuleran. Hari ini pun cukup ramai orang meminta pengurusan visa," kata Yayan yang dihubungi VIVA.co.id pada Rabu malam kemarin.

Terkait dengan gangguan di depan gedung KJRI, Tirta berpendapat hal tersebut masih dalam kategori wajar dan tidak perlu dilebih-lebihkan.

"Kedua negara merupakan negara demokrasi, sehingga penyampaian pendapat dipersilakan, asal dalam cara yang wajar. Jika ada pelanggaran, maka ada mekanisme tertentu yang berjalan," kata dia.

Yang terpenting, lanjut Tirta, para diplomat di KJRI Sydney bisa merespon dengan cara elegan.

Tidak Bahagia

Gencarnya pemberitaan mengenai pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia turut mengubah perspektif publik internasional. Mereka mengira Indonesia yang semula negara cinta damai, seolah melakukan pembunuhan massal dan diberitakan secara blak-blakan.

Publik internasional pun seolah menilai Indonesia tengah bertepuk tangan dan bahagia bisa mengeksekusi mati para bandar dan kurir narkoba. Namun, anggapan itu ditepis oleh Dubes Nadjib.

Stasiun berita ABC News Rabu kemarin melansir tidak mudah bagi Indonesia untuk melakukan eksekusi mati.

"Ini bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Kami pun tidak bahagia melakukan itu dan eksekusi dilakukan karena ada alasan yang kuat," tegas Nadjib dalam di acara pertemuan bisnis di Perth Rabu kemarin.

Mantan Dubes RI untuk Kerajaan Belgia itu juga mengaku sedih dengan situasi di mana lebih dari 1.500 warga Indonesia meninggal akibat narkoba setiap bulan. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia pun, kata Nadjib, tengah menjadi perbincangan.

"Berikan kami waktu dan ruang untuk mendiskusikan isu ini secara internal. Indonesia kini tenang melakukan diskusi dan masih terjadi perdebatan mengenai masalah ini," papar Nadjib.

Dia menambahkan hasil dari pembahasan mengenai hukuman mati akan terlihat di masa mendatang. Australia sendiri, lanjut Nadjib, baru bisa menghapus hukuman mati 80 tahun kemudian.

Sementara di mata Tirta, selama hukuman mati masih diberlakukan di Indonesia untuk pelaku tindak kejahatan narkoba, maka aturan itu harus ditegakkan. Dengan bertindak tegas, ujar Tirta, Indonesia mengirimkan sinyal positif ke dunia negara ini tidak bisa dibeli.

Dia pun tidak mempermasalahkan adanya cap munafik yang menempel di Indonesia. Sebab, Pemerintah RI pun turut memohon pengampunan dari negara lain bagi WNI yang terancam hukuman mati di sana.

"Kalau suatu negara dicap hipokrit lalu kenapa? Yang namanya pemberian grasi merupakan kewenangan tiap kepala negara. Indonesia harus tegas menghukum siapa pun warga asing yang terbukti melakukan tindak kejahatan di teritori RI," kata dia.

Tirta menambahkan di dunia ini tidak hanya Indonesia saja yang masih memberlakukan hukuman mati. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat pun, ujar Tirta, juga masih memberlakukan hukuman mati.

Justru dari kasus ini, bisa menjadi tantangan dan pelajaran bagi para diplomat Indonesia untuk mengkomunikasikan hal ini kepada dunia. Selain itu, turut memberikan masukan berharga untuk revitalisasi diplomasi Indonesia.

"Selama ini diplomasi Indonesia kan terlihat low profile. Tetapi, para diplomat perlu bersikap asertif ketika kepentingan nasional RI diganggu," kata dia.  (VivaNews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar