Sabtu, 01 November 2014

Sengkarut Kontrol Udara Indonesia – Singapura



 
MTA-1 DAN MTA-2 SERTA DCA ANTARA INDONESIA DENGAN SINGAPURA

Air Traffic Control Singapura
Air Traffic Control Singapura
Bahasan tulisan ini masih senada dengan artikel edisi  29/10/2014, tentang: “Kemampuan Radar dalam Penguasaan FIR Singapura”. Mengapa bahasan ini diangkat kembali ?. Seperti yang sudah sudah, mungkin bahasan FIR maupun MTA  pernah ramai dibicarakan di era tahun 2003 -2012, akan tetapi sengaja kami sajikan dengan nuansa yang berbeda .

Perbedaan di sini adalah mungkin di era tersebut , bahasan ini hanya seperti” selayang pandang” saja yang artinya bisa jadi hanya angin lalu dan tidak dianggap “serius” (mungkin) oleh pemerintah.
Kala itu perkuatan otot alutsista baru memasuki tahap deal dan finalishing, sehingga belum terlihat fisiknya. Oleh sebab itu di era  itu, Pak SBY memakai taktik Thousand Friends Zero Enemy, yaitu sambil merangkul  negara-negara sahabat,  atau sekutu dalam arti kecil.  Di dalam negeri terus disiapkan otot perkuatan militer Indonesia yang termaktub dalam MEF 1, 2, dan 3 yang sekarang akan diteruskan oleh Presiden Jokowi .
Bagaimana dengan saat ini ?. TNI saat ini sudah ada daya jual maupun daya tawarnya. Seperti bahasan maupun topik sebelumnya di sini, tabir kekuatan TNI  sudah mulai dibabar dan dibuka sedikit antara lain oleh Bung Nar di lingkup Kemenhan (episode A-1 list, Akhirnya Era 3 Matra di depan Mata, serta Dan Narayana pun Menjawab).  Belum lagi Ndan PS tentang alam bawah laut maupun permukaan. Juga Garuda Didadaku, serta Pemburu Rajawali (pemerhati Angkatan Darat ) apalagi Bung Satrio maupun Bung Jalo (Pemerhati Udara dan Edisi Kewiraan),  serta para ahli di bidangnya di Forum JKGR ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Saya ucapkan pula terima kasih dalam membangun kepercayaan diri serta harga diri bangsa ini .
Sudah tentu sekarang, tidak hanya rakyat Indonesia mencoba menggugat, akan tetapi sudah dimulai oleh punggawa penjaga RI (TNI), antara lain dengan sergapan terhadap black fight secara continue (frekuensi lebih sering dibanding era 2003: Kasus Bawean F-18 Hornet di bawah USS Independence dan 2005 Kasus Insiden Pulau Roti oleh Angkatan udara australia).
Ya memang clue merebut kembali FIR tampaknya sudah dimulai dari sini (Ingat bahasan Bung Afiq – Negeri Ganda Mayit – dengan metode “by any means / dengan cara apapun).
Oleh karena itu akan saya coba bahas satu persatu.
image001
Seperti yang bisa anda lihat di atas, MTA 1 merupakan wilayah udara Indonesia yang diperkenankan untuk latihan angkatan udara Singapura (RSAF) dan MTA 2 merupakan wilayah laut Indonesia yang diperkenankan untuk latihan angkatan laut Singapura (RSN).
Perjanjian ini diatur dalamAgreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on Military Training in Areas 1 and 2 yang ditandatangani pada tanggal 21 September 1995 oleh Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat (Menhankam RI pada waktu itu) dan Dr.Tony Tan (Menhan Singapura pada waktu itu). Perjanjian ini nampaknya saat ini menjadi kerikil di dalam sepatu kita.
MTA-1 dan MTA-2 ini sebenarnya secara formal disahkan oleh Kepres No 8/1996, dan sesuai Pasal 5 isi Agreement itu sendiri, masa berlakunya memang seharusnya sudah habis di tahun 2001 bila tidak diperbaharui. Tapi sampai sekarang anehnya, walaupun secara De jure perjanjian MTA-1 dan MTA-2 telah berakhir tetapi secara de facto wilayah itu khususnya MTA 1 terus berada dalam pengawasan Singapura.
Seperti yang anda dapat baca pada berita sebelumnya, adanya MTA 1 membuat pesawat transport dan militer kita harus memutar jauh, dikarenakan Singapura melarang adanya pesawat kita melintas di daerah tersebut. Pertanyaan paling mendasar adalah mengapa hal itu bisa terjadi sampai sekarang ?. Untuk menjawabnya mari kita bahas menggunakan sudut pandang sipil dan militer.
Dari sudut pandang sipil, kita melihat posisi Singapura (Changi) sebagai airport penghubung (hub) penerbangan jarak jauh di dunia membuat mereka harus mengawasi wilayah tersebut secara terus menerus, karena wilayah MTA 1 merupakan final approach sebelum landing di Changi, lalu mengapa tidak diserahterimakan kepada bandara Hang Nadim ?. Seperti bahasan saya sebelumnya di JKGR ini: “kemampuan radar dalam Fir Singapura” , Hang Nadim tidak memiliki peralatan (radar) yang cukup, yang dapat memantau pergerakan pesawat d iwilayah tersebut. Satu-satunya cara untuk mendapatkan kembali hak mengontrol wilayah itu adalah modernisasi radar di Hang Nadim yang tidak bisa ditunda-tunda.
Dari sudut pandang militer, kita sangat menyayangkan mantan Menteri Pertahanan 2001-2004 dan Menhan Juwono Sudarsono yang tidak secara tegas mengambil alih wilayah itu karena perjanjian itu sudah berakhir sejak 2001. Lalu di mana TNI?.  TNI AL secara teratur mengusir kapal angkatan laut Singapura yang melakukan latihan di MTA 2. Tetapi TNI AU terlihat gamang mengusir latihan angkatan udara di MTA 1 dikarenakan pada saat Indonesia diembargo oleh Amerika Serikat, Singapura menjadi pasar gelap spare part peralatan tempur kita (hal inilah yang membuat F-16 TNI AU tetap dapat terbang).
Tetapi dimana pun, yang namanya tentara hanya melaksanakan perintah. Semua ini berpaling kembali pada kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan hal itu. Saya yakin, jika Presiden memerintahkan TNI untuk mengambil alih dan mengusir angkatan perang dari Singapura di wilayah MTA 1 dan 2, maka TNI akan mematuhinya.( Edisi Berharap oleh Bapak Jokowi – Presiden RI ke 7 )
Untuk lebih menunjukkan keseriusan, maka sebaiknya ada pergerakan pasukan, bisa dari Pekanbaru atau Iswahyudi ke Lanud Ranai atau Hang Nadim untuk mengcover wilayah itu. Sehingga pesawat sipil dan militer kita mempunyai keberanian untuk melintas diwilayah itu. Juga sebagai cara berjaga-jaga jika pesawat kita melintas di daerah tersebut dan RSAF meng-scramble pesawatnya, maka TNI AU dapat meng-scramble pesawatnya dengan alasan Singapura menerobos wilayah udara Indonesia.
Tentang ancaman Singapura, yang akan menembak jatuh jika ada pesawat yang melintas, saya kira hanya gertak sambal. Karena menurut pengakuan ATC Hang Nadim, pernah ada pesawat militer dari Amerika Serikat yang melintas di wilayah itu dibiarkan. Karena sesungguhnya ada prosedur tetap yang hampir sama di semua negara ketika menghadapi penerbangan gelap, di mana pesawat yang melanggar tersebut pertama-tama akan diusir keluar atau dipaksa turun oleh pesawat tempur, jika ternyata “membandel” baru akan ditembak jatuh. Prosedur langsung ditembak jatuh hanya diberlakukan jika dalam keadaan perang. Apakah Indonesia dan Singapura sedang berperang ?. Saya yakin Singapura tidak berani menembak jatuh pesawat kita yang melintas di MTA.
Saat ini sedang mungkin dicoba oleh TNI AU antara lain dengan terbang melintas di wilayah tersebut.
Selain itu rencana untuk memperpanjang MTA dengan perjanjian DCA, yang memberi hak bagi Indonesia untuk melakukan ekstradisi sebaiknya tidak dilanjutkan. Karena lebih banyak ruginya bagi Indonesia daripada yang akan didapat, karena jika ekstradisi itu dilakukan maka citra Singapura sebagai “surga” keuangan no 2 di dunia di bawah Swiss akan runtuh seketika. Maka saya yakin-seyakinnya bahwa Singapura tidak akan pernah mengekstradisi koruptor dan dana yang dilarikan ke Singapura.
Wilayah MTA 1 dan 2, merupakan wilayah yang sangat kecil dibanding luas wilayah Indonesia. Tapi di mana harga diri kita kalau kita ingin pulang ke rumah sendiri, disuruh jalan memutar oleh tetangga kita
Begitulah analogi MTA (Military Training Area) 1 & 2 yang digunakan oleh Singapura selama bertahun-tahun untuk mengadakan latihan tempur pesawat udaranya di wilayah udara kita. MTA-1 dipatok dari sebelah barat daya Singapura hingga wilayah Tanjung Pinang, Riau. Di sebelah timur, MTA-2 membentang dari sisi timur Singapura hingga Kepulauan Natuna. Mereka tidak segan-segan untuk mengusir & menghalau setiap pesawat udara kita (termasuk pesawat militer kita sendiri) yang mencoba memasuki MTA-1 maupun MTA-2, padahal MTA-1 maupun MTA-2 ini secara de facto maupun de jure jelas-jelas merupakan wilayah kedaulatan bangsa Indonesia. Justru mereka seharusnya yang kita halau dari sana karena dalam Pasal 1 Convention on International Civil Aviation (Chicago, 7 Desember 1944) jelas tertulis:
“Every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”
(Setiap negara memiliki kedaulatan yang utuh dan eksklusif terhadap wilayah udara di atas teritorinya)
Oleh karena itu mari kita lihat landasan hukum dari adanya MTA-1 serta MTA-2 dilihat dari aspek nasional
“Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua Jakarta, 22-24 November 2003, pada halaman 6 tentang “Masalah yang Timbul dari Pendelegasian FIR di Sekitar Natuna” memaparkan sebagai berikut:
“Terdapat ruang udara untuk kepentingan pelatihan militer selanjutnya disebut dengan Military Training Area (MTA) yang ditandatangani Departemen Pertahanan Indonesia dan Departemen Pertahanan Singapura pada tahun 1995 dan efektif berlaku sejak tahun 1996. Perjanjian tersebut berakhir pada bulan September tahun 2001. Walaupun perjanjian tersebut telah berakhir dan belum diperpanjang, penggunaan ruang udara MTA oleh Singapura tetap diberlakukan selama 24 jam, sehingga setiap pesawat udara tidak bisa memasuki wilayah MTA tersebut. Termasuk adalah patroli penegakan hukum oleh TNI AL,TNI AU, DELRI dan Bea Cukai harus mendapatkan ijin dari pengatur lalu lintas penerbangan Singapura.”
Kebijakan pemerintah kita di masa lalu yang telah memberikan ruang gerak kepada Singapura untuk “meminjam” wilayah udara kita ini memang sangat disayangkan. MTA-1 & MTA-2 ini sebenarnya secara formal dipayungi oleh Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on Military Training in Areas 1 and 2 yang ditandatangani pada tanggal 21 September 1995 oleh Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat (Menhankam RI pada waktu itu) dan Dr.Tony Tan (Menhan Singapura pada waktu itu). Agreement ini disahkan pula oleh Kepres No 8/1996, dan sesuai Pasal 5 isi Agreement itu sendiri, masa berlakunya memang seharusnya sudah habis di tahun 2001 bila tidak diperbaharui. Tapi sampai sekarang, anehnya, MTA-1 dan MTA-2 terus dalam pengawasan Singapura (under occupation and control of Singapore government).
Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim dalam tulisannya di Kompas, 1 Agustus 2007 juga mengingatkan kita kembali tentang masalah MTA ini:
“Secara tidak langsung, keberadaan MTA-1 dan MTA-2 telah mengganggu penerbangan di dalam negeri. Paling tidak, kenyamanan terbang yang seharusnya dinikmati para penerbang Indonesia saat di wilayah udara negaranya sendiri menjadi terusik.”
Pada berita di Kompas, 11 Juli 2007, yang berjudul “Penerbang Sipil Sering Diusir dari Area Militer”, disebutkan fakta-fakta sbb:
1) Penerbangan pesawat sipil sering diusir oleh operator radar Singapura dari ruang udara antara Pulau Batam dan Kepulauan Anambas yang dikategorikan sebagai area berbahaya. Akibatnya, pesawat sipil harus mencari jalur penerbangan yang lebih jauh dan menghindar dari area tersebut. Hal itu dikatakan kapten pilot maskapai penerbangan Riau Airlines, Wendy Yunisbar, di Batam, Selasa (10/7). “Kalau terbang dari Batam ke Matak, saya sering diminta menghindar kalau mendekati area berbahaya itu. Tampaknya itu merupakan wilayah military airspace,” katanya.
2) Dengan kondisi itu, lanjut Wendy, ia harus menerbangkan pesawat melalui jalur yang lebih jauh, yaitu melalui titik jalur (check point) Toman. Jika cuaca di Toman buruk, ia pun tidak bisa masuk ke area itu untuk menghindari badai atau awan tebal.
3) Hal senada diungkapkan oleh penerbang pesawat Nomad TNI Angkatan Laut. Mereka selalu diminta pergi menjauh dari zona yang ditetapkan sebagai area berbahaya itu.
Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dalam tulisannya di Kompas, 7 Agustus 2007, sebagai respon terhadap tulisan Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim tersebut di atas, menambahkan:
“Kedaulatan Negara” tidak hanya dimaknai secara spasial-fisik, tetapi juga national pride and dignity. Dapat terjadi suatu sindrom “pendudukan psikologis” (psychological occupation) terhadap warga dan prajurit kita yang berpotensi menimbulkan sense of inferiority, saat sebagai “penonton” menyaksikan pasukan asing dengan perlengkapan serba canggih dalam jangka panjang berlatih rutin di wilayah kita.”
“Jika tidak/belum ada payung hukum, berarti penerbangan AU Singapura di MTA-1 dan 2 selama ini merupakan ilegal dan harus diintersepsi Kohanudnas, seperti pernah dilakukan (TNI AU) terhadap pesawat AS di Bawean dan pesawat Australia di NTT. Namun, hal itu tidak pernah dilakukan dan Singapura pun tidak mungkin gegabah melakukan pelanggaran hukum internasional jika tidak memiliki payung hukum.”
Dan lagi mari kita lihat isi cuplikan perjanjian DCA antara Indonesia dengan singapura yang ditandatangani Oleh Menteri Pertahanan Bpk Hasan Wirayuda saat itu .
Isi Perjanjian Pertahanan RI-Singapura adalah sebagai berikut:
A. Lingkup Kerjasama
1.Dialog dan konsultasi bilateral secara berkala.
2.Pertukaran intelijen, termasuk kontraterorisme.
3.Kerjasama bidang ilmu pengetahuan bidang teknologi.
4.Memajukan pengembangan SDM.
5.Pertukaran siswa personel militer.
6.Latihan bersama atau terpisah (operasi dan logistik) termasuk akses timbal balik ke area dan fasilitas latihan.
7. Kerjasama SAR, penanggulangan benacana dan bantuan kemanusiaan.

B. Kerjasama Latihan.
1.Pengembangan area dan fasilitas latihan di Indonesia untuk latihan bersama TNI dan Singapore Armed Force (SAF) serta provisi bantuan latihan untuk TNI.
2. Restorasi dan pemeliharaan Air Combat Manuvering Range (ACMR).
3. Pembentukan Overland Flying Training Area Range (OFTAR).
4. Pengoperasian dan pemeliharan Air Weapon Range (AWR),
5. Penyediaan Pulau Ara sebagai latihan bantuan tembakan kapal yang dikenal dengan Naval Gunfire Support Scoring System (NGSS).
6. Pengembangan dan penggunaan Baturaja Training Area (BTA).
7.bantuan latihan berlanjut pada TNI dalam hal penggunaan simulator maupun kursus,

Akademis dan teknis.
->Penyediaan akses ke wilayah udara dan laut Indonesia untuk latihan SAF:
A. Area Alfa 1 : tes kelaikan udara, cek penanganan dan latihan terbang.
B. Area Alfa 2 : latihan matra udara.
C. Area Bravo : latihan manuver laut Republic of Singapore (RSN), termasuk bantuan tembakan laut dan penembakan rudal bersama Republic of Singapore Air Force (RSAF).
->Pelaksanaan latihan secara rinci diatur dalam Implementing Arrangement (IA).
->SAF boleh latihan bersama negara-negara ketiga di area Alfa 2 dan area Bravo dengan seizing

Indonesia.
->Indonesia berhak mengawasi latihan dengan mengirim observer dan berhak berpartisipasi dalam latihan setelah konsultasi teknis dengan pihak-pihak peserta latihan.
->Personel dan peralatan pihak ketiga akan diperlakukan sama dengan personel angkatan laut bersenjata Singapura.

B. Jangka Waktu
-> Berlaku untuk 25 tahun.
->Para pihak dapat melakukan peninjaun terhadap Defences Cooperation Agreement (DCA) maupun IA setiap 6 tahun sekali setelah masa berlaku awal selama 13 tahun.
->DCA dan IA diperbaharui berlakunya selama 6 tahun setelah setiap peninjauan terkecuali atas kesepakatan bersama.

Kedaulatan teritorial Indonesia dapat dipastikan tetap terjaga dan terukur, sehingga dapat dipastikan kedaulatan negara Indonesia bisa ditegakkan. Inilah yang merupakan poin terpenting dari kerjasama Pemerintah Indonesia  dengan Pemerintah Singapura melalui kerjasama Defence Cooporation Agreement (DCA) yang rencananya akan ditandatangani pada tanggal 27 April 2004.
Yang paling penting bahwa kedaulatan kita, sudah kita bisa pastikan dikembalikan, tidak seperti yang lalu-lalu. Sekarang kita pastikan, kita punya kedaulatan, dan kita dapat menentukan sendiri, ini boleh dan itu boleh,” Demikian dikatakan Sekjen Dephan Letjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, kepada pers di Kantor Dephan, Jakarta.
Menurut Sekjen Dephan, ada tiga hal yang menjadi acuan dalam kerjasama Indonesia dengan Singapura, pertama yang berkaitan dengan politik yaitu menyangkut ekstradisi, kemudian yang berkaitan dengan keamanan yaitu menyangkut kerjasama pertahanan, dan yang berkaitan dengan ekonomi, salah satunya yaitu mengenai ekspor pasir. “ Walaupun ketiganya dilaksanakan secara pararel, tetapi tidak saling tergantung satu sama lain, artinya DCA ini tetap independen”, jelas Sekjen.
Menyinggung masalah manfaat yang diperoleh Indonesia berkaitan dengan DCA ini, Sekjen menjelaskan bahwa pada dasarnya kerjasama ini harus saling menguntungkan. Tetapi, lanjut Sekjen manfaat yang diperoleh Indonesia selama ini, tidak dirasakan memberikan manfaat yang seimbang, sehingga harus dimulai dari nol lagi. Sekjen mencontohkan tentang kerjasama daerah latihan atau Training Area, Pemerintah Singapura meminta dapat dipakai latihan dengan oleh pihak ketiga. “Nah itu pembahasannya sangat alot dan lama, kita menolaknya termasuk kita bertahan per lima tahun untuk perjanjian DCA dievaluasi kembali, yang semula Singapura meminta per 25 tahun”. tegas Sekjen.
Sementara itu Dirjen Renhan Dephan Laksda (Purn) Yuwendi yang mendampingi Sekjen menjelaskan bahwa selama ini manfaat dari DCA bagi Indonesia tidak seimbang , lebih banyak memberikan manfaat kepada Singapura. Sehingga tahun 2004 kerjasama DCA dengan Singapura ini dievaluasi, diteliti lagi dan ada beberapa poin yahg direvisi, itulah yang nanti akan ditandatangai, tanggal 27 april mendatang. Namun demikian Dirjen Renhan juga mengakui kalau
Singapura lebih banyak mengambil manfaat dari DCA ini dikarenakan ketidaksiapan Indonesia, seperti dalam Training Area pesawat tempur Indonesia kurang siap dibandingkan dengan pesawat tempur Singapura sehingga frekuensi latihannya Singapura lebih banyak.
Demikian pula dalam latihan bersama Angkatan Laut, yaitu latihan penembakan di Kayu Aru yang terletak disebelah utara Pulau Bintan, TNI AL lebih banyak menjadi penonton dari pada turut latihan bersama Singapura, mengingat keterbatasan peluru yang dimiliki kapal perang Indonesia.” Nah inilah yang kita evaluasi lagi,” jelas Dirjen Renhan. Sedangkan yang berkaitan
dengan manfaat kongkrit yang diperoleh Indonesia khususnya dari Training Area, dijelaskan Dirjen Ranahan Dephan Marsda TNI Slamet Prihatino, S S.IP, yang juga turut mendampingi Sekjen dengan mengatakan, bahwa ada manfaat yang diperoleh, yaitu pemeliharan peralatan latihan bersama yang dibeli Singapura dengan harga sangat mahal, dapat juga menggunakannya latihan oleh Indonesia sendiri sendiri.
Tindakan Strategis yang Perlu Diambil
Sebagai solusi, penulis menyarankan beberapa tindakan strategis yang harus segera diambil dalam upaya menegakkan kembali kedaulatan kita dan harga diri bangsa:

1. Indonesia harus membatalkan secara tegas MTA-1 dan MTA-2. Singapura merasa masih berhak menggunakan MTA-1 dan MTA-2 karena tiadanya ketegasan dalam pembatalan MTA-1 dan MTA-2 tersebut. Karena masa berlaku Agreement itu sendiri otomatis sudah habis tanpa adanya pembaharuan, maka pembatalan ini dapat dilakukan secara sepihak oleh Indonesia, dan kepada Singapura, pembatalan itu cukup berupa pemberitahuan.
2. Selama ini, wilayah udara sebagian Propinsi Riau, Kepulauan Riau sampai ke Kalbar termasuk dalam FIR (Flight Information Region) Singapura, sehingga setiap pergerakan pesawat dalam ruang lingkup FIR Singapura tersebut harus melapor kepada ATC Singapura. Dalam kata lain, Indonesia telah mendelegasikan fungsi kontrol wilayah udaranya kepada Singapura. Ini juga harus dibatalkan, dan harus diimbangi dengan pembangunan infrastruktur kontrol udara yang diperlukan di Batam ataupun Pekanbaru.
3. Secara jangka menengah dan panjang, perkuat kekuatan udara Indonesia dengan kekuatan yang signifikan dan memiliki daya getar strategis sehingga harga diri bangsa ini tidak dilecehkan terus menerus. Bentuk Skadron Udara Tempur di Palembang, Jakarta & Pontianak dengan pesawat tempur sekelas Su-27 / Su-30.
4. Perbesar porsi anggaran pertahanan negara dalam APBN guna memenuhi minimum essential force. Terlebih lagi konsep peperangan modern telah semakin bergantung kepada keunggulan di udara (air superiority), maka kekuatan pertahanan udara dengan TNI AU serta Kohanudnas sebagai tulang punggungnya, dengan didukung satuan-satuan pertahanan udara di tiap matra (darat, laut, maupun udara) harus dimantapkan secara konsisten, sistematis dan terukur.
Kesimpulan :
Kedaulatan bangsa yang telah direbut oleh para pendahulu kita dari tangan asing di masa revolusi fisik dengan darah dan airmata ini seharusnya dipertahankan dengan segenap daya upaya, bukannya disia-iakan dan digadaikan kembali kepada pihak asing manapun. Berapapun biayanya, kedaulatan bangsa tetap lebih berharga dan lebih bernilai daripada besaran biaya yang harus dikeluarkan itu sendiri.

Jangan sampai hanya demi masalah formalitas & kesopanan bertetangga, kita membiarkan sebagian kedaulatan kita di darat, laut maupun udara dipinjamkan kepada asing. Kedaulatan bangsa adalah harga diri bangsa. Tak terbayang bagaimana perasaan pejuang-pejuang pendahulu kita bila mengetahui anak cucunya yang kini mewarisi kemerdekaan ini malah meminjamkan kemerdekaan itu kepada pihak asing.
Harapan sebagai anak bangsa, Indonesia ini harus menjadi bangsa yang benar-benar berdaulat penuh atas seluruh wilayah darat, laut dan udaranya. Mari kita ingat-ingat kembali pesan Bung Karno kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam detik-detik Agresi Militer Belanda II, tanggal 19 Desember 1948, “Sekali poen kita haroes kembali pada tjara ampoetasi tanpa obat bioes dan mempergoenakan daoen pisang sebagai perban, namoen djangan biarkan doenia berkata bahwa kemerdekaan kita dihadiahkan dari dalam tas seorang diplomat. Perlihatkan kepada doenia bahwa kita membeli kemerdekaan itu dengan mahal, dengan darah, keringat dan tekad jang tak koendjoeng padam.
Seide dengan pernyataan Marsekal Purn Chappy Hakim di atas, bisa dibayangkan apabila DCA ini sudah jalan disamping MTA-1 dan MTA-2 , banyak rakyat akan melihat iring-irigan peralatan alutista Singapura baik darat, laut, maupun udara memasuki kawasan military area tersebut, sehingga bisa dipastikan seperti Indonesia sedang di “invasi” oleh Singapura, apalagi sudah dipastikan tentunya Singapura tidak akan latihan sendiri, tentu pasti mengajak Team FPDA maupun USA dengan armada VII memasuki kawasan tersebut.
Doa seluruh rakyat Indonesia dan warga JKGR agar  DCA Ini gagal di tengah jalan / tidak diloloskan oleh DPR karena akan menjual asset bangsa (masih adakah kira-kira anggota DPR sama seperti warga JKGR yaitu Cinta NKRI) sehingga tidak diloloskan / approved ?. (by Bukan Fanboy).

Referensi:
https://adiewicaksono.wordpress.com/2009/03/31/permasalahan-mta-dengan-singapura-yang-tak-kunjung-selesai/
Tulisan : Menggugat Penguasaan Eksklusif Wilayah Udara Indonesia oleh Singapura di MTA-1 dan MTA-2.  Oleh: Khairil Azmi, B.Eng., M.IScT., Direktur Eksekutif TANDEF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar