Senin, 08 Juni 2015

Sejak 1965, AURI yang selalu menjadi anak tiri

Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (Kasau), Marsekal (Purn) Chappy Hakim memprotes usulan sejumlah pihak yang mengesampingkan keberadaan kacer AU sebagai calon Panglima TNI. Kekesalan dan kekecewaan itu diungkapkan Chappy lewat akun Twitter miliknya.


Sejak 1965, AURI yang selalu menjadi anak tiri

Protes yang dilayangkan Chappy itu bukan tanpa alasan, sejak Indonesia merdeka, AU hampir tak pernah mendapat jatah Panglima. Kecuali di era SBY, di mana Marsekal (Purn) Djoko Suyanto menjadi satu-satunya mantan pilot yang ditunjuk presiden sebagai Panglima. Sedangkan kelasi dari TNI AL sudah dua kali.

Di tengah gonjang-ganjing siapa yang berhak menempati posisi Panglima TNI, Angkatan Udara pernah mengalami masa-masa yang sangat kelam. Kondisi ini berlangsung di era tahun 1960-an, justru di korps ini berada di puncak kejayaannya.


Pada tahun 1962, hubungan mesra dengan Blok Timur ditambah kebijakan konfrontasi yang dilancarkan Soekarno terhadap Belanda di Irian Barat dan Kalimantan membuat kekuatan Indonesia cukup diperhitungkan. Hampir seluruh peralatan perang tercanggih di masa itu dimiliki TNI, tak terkecuali Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), nama TNI AU saat itu.

AURI memiliki banyak pesawat canggih yang didatangkan dari China dan Rusia. Dari negeri Tirai Bambu, AURI menerima empat pesawat MiG-17 hasil lisensi Uni Soviet sebanyak 12 buah. Sedang dari negeri Beruang Merah mendapat segerombolan pesawat tempur MiG-15 UTI, MiG-17, MiG-19, dan MiG 21 serta pesawat pembom legendaris Tu-16 sebanyak 26 unit. Itu belum termasuk pesawat angkut militer serta helikopter dari negara-negara kiri lainnya.

Ketangguhan dan kejayaan itu berubah ketika Gerakan 30 September 1965 berlangsung. Kudeta yang dilakukan Letnan Kolonel Untung Syamsuri dengan menculik petinggi Angkatan Darat. Soeharto yang marah atas peristiwa itu mengebiri seluruh komponen yang dianggap pendukung Bung Karno dan komunis, tak terkecuali AURI yang saat itu dipimpin oleh Men/Pangau Marsekal Madya Omar Dhani.

Dalam 'Fakta dan Rekayasa G 30S' (Pambudi, 2011), Omar dituduh terlibat G30S karena ia berada di berada di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965. Saat itu, sebagian kompleks Halim berada di bawah wewenang Omar, dipinjamkan sebagai tempat pelatihan Pemuda Rakjat, organisasi Partai Komunis Indonesia (PKI).

 (Merdeka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar