Dua hari tiga malam, tunai sudah kewajiban saya untuk menggarap sebuah pekerjaan yang tergolong prestisius dalam karir saya. Pagi ini saya harus segera meninggalkan Ho Chi Minh City dan kembali ke Kuala Lumpur. Di salah satu hotel yang berada di bawah pengawasan perusahaan saya, terlihat bendera Vietnam bersanding dengan bendera USA. Sebuah pemandangan yang tergolong asing, bukan saja untuk mata saya, bahkan bagi staff hotel lainnya pun sama demikian.
Kami lebih terbiasa dengan persandingan bendera Vietnam dengan bendera Russia, atau kalau nggak, dengan bendera Korea Utara..! Hehehe..! Pernah juga sih berkibar bendera Merah Putih dan bendera Perancis, tapi tetap saja tidak sesering bendera dari kedua negara tersebut di atas.
Pagi ini salah satu orang terpenting dalam jajaran militer USA, Jenderal Martin E. Dempsey, akan melakukan kunjungan empat harinya ke Vietnam, yang notabene adalah bekas lawan tangguh USA dalam palagan perang Vietnam. Jenderal Dempsey, Kepala Staff Gabungan Angkatan Bersenjata US, dipercaya untuk memimpin misi diplomatik ini dan bertemu dengan para tokoh sentral di jajaran pemerintahan negeri yang sedang menggeliat tersebut. Berbagai pertanyaan dan kasak kusuk, tentu saja terdengar di mana-mana, bukan hanya di kantor-kantor, kafe, restaurant, rumah sakit, rumah tangga, bahkan sampai ke dalam dapur, tempat dimana saya dengan beberapa assisten meracik menu dan saus untuk steak, pasta dan sandwich yang akan dihidangkan kepada delegasi dari USA selama empat hari nanti. Sayang, saya tidak bisa menghidangkannya secara langsung, mengingat ada tugas penting lain yang sudah menanti di Kuala Lumpur.
Di dalam pesawat yang akan membawa saya ke Kuala Lumpur, saya duduk bersebelahan dengan seorang lelaki setengah baya yang tampil perlente. Ban Nangh, begitulah lelaki tersebut mengenalkan diri. Sepanjang obrolan kami menjelang take off, dia lebih memilih posisi berdiri. Jangan heran jika saya bisa menebak merk pakaian, ikat pinggang, sepatu, dasi dan parfum yang dia gunakan saat itu. Bahkan tas jinjing yang dia letakkan di atas meja yang memisahkan tempat duduk kami, telah cukup untuk menggambarkan cita rasa fashion lelaki Vietnam ini.
Inilah gambaran umum trend mode yang sedang melanda sebagian kalangan mapan di Vietnam, dan saya pikir, hampir tidak berbeda dengan fenomena yang sedang melanda kaum borjuis di Indonesia. Hehehe..! Sangat jomplang dengan penampilan saya yang cuma mengenakan celana pendek selutut, sepatu boot, T-shirt dan jaket serta tiket gratis perusahaan. Mungkin sekretaris saya telah salah memilih kelas untuk penerbangan kali ini. Anyway, saya sangat menikmati penerbangan ini. Pramugarinya ramah-ramah, setidaknya bagi saya yang dipanggilnya dengan panggilan ‘Sir’, sedangkan rekan sebelah yang baru saya kenal, cuma dipanggil Mr…! Bukankah dalam budaya Inggris, pangilan Sir memiliki kasta lebih tinggi dari kata Mr? Hehehe..! Maaf cuma intermezo. Tapi sebenarnya, yang membuat penerbangan saya terasa sangat menarik, tak lain justru disebabkan oleh kenalan baru saya ini, Mr. Ban Nangh.
Lelaki yang konon ketika perang Vietnam masih berlangsung turut diboyong keluarganya ke US ini, memiliki cara pandang yang hampir sama dengan saya. Terutama ketika bicara tentang potensi ekonomi yang ada. Lelaki ini sangat fasih mengurai segala potensi yang ada, sekaligus hambatan-hambatan yang membelitnya. Untungnya, di negara seperti Vietnam, pengaruh kekuasaan masih sangat kuat, sehingga para pebisnis yang menghadapi masalah perbedaan kepentingan dengan warga sipil, masih bisa dengan mudah diselesaikan. Hal ini tentu saja sudah jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Rakyat Sipil sudah memiliki pengakuan hak yang cukup kuat, bahkan dalam beberapa kejadian, pemerintah seringkali dibuat tidak berdaya. Entah mana yang lebih baik sesungguhnya? Karena di mata rekan baru saya ini, kondisi di Indonesia, dinilainya masih lebih baik daripada Vietnam.
Dia menilai, rakyat Indonesia memiliki kebebasan yang lebih besar jika dibandingkan dengan rakyat Vietnam. Hal ini merujuk pada pengelolaan potensi ekonomi di sepanjang sungai Mekong. Pemerintah telah memonopoli hak ekonomi rakyat sipil. Mengapa mereka tidak bergerak di laut bebas? Masih takut dengan China, Myanmar, atau Thailand? Bukankah rakyat sipil sudah cukup kooperatif dalam mendukung usaha pemerintah dalam meningkatkan kekuatan militer Vietnam? Selama ini rakyat sipil sudah dibiasakan bungkam dalam segala bentuk pembelian alutsista dari Russia. Kami sudah mengetahui segala bentuk skenario yang terjadi, baik yang menyangkut kerjasama pertahanan antara Vietnam dengan Russia, maupun dengan Indonesia..! Hhhaaaah…! Indonesia..? Mendengar nama negara sendiri disebut, saya langsung membetulkan posisi duduk saya. Kali ini saya berkonsentrasi untuk lebih bisa mencerna obrolannya.
Dengan anggaran belanja militer yang masih tergolong kecil, media sering mengungkapkan pembelian alutsista yang luar biasa banyak. Namun herannya, mengapa jaminan keamanan dengan China masih bertumpu pada kekuatan diplomasi Indonesia-China, yang secara geografis hampir tidak memiliki hubungan perbatasan sedikitpun. Jika senjata yang kita beli itu adalah untuk memperkuat pertahanan kita, lantas sampai kapan kita harus terbebas dari rasa takut? Kali ini mimik wajah nya terlihat serius, sambil membisikan sesuatu dan menunjuk ke arah kendaraan militer yang berseliweran di sekitar bandara. Saya baru sadar, jika beberapa kendaraan militer tersebut, ternyata berbendera USA.
Napas saya terasa sesak, sambil memperhatikan dia yang beringsut duduk, karena pesawat kami akan segera terbang. Dari balik jendela, saya bisa melihat kehadiran pesawat angkut militer US, lengkap dengan beberapa helicopter dan kendaraan darat penunjang lainnya, terparkir gagah, tidak terlalu jauh dari tempat pesawat kami berada.
Ingatan saya melayang kemana-mana, termasuk pada kabar yang memberitakan kunjungan beberapa anggota parlemen US yang berkunjung ke Indonesia. Sebelum itu saya juga mengetahui adanya kunjungan menhan US ke India dan Australia. Yang membuatnya terasa begitu istimewa adalah rangkaian kunjungan tersebut justru dilakukan secara paralel dengan pemberlakuan embargo terhadap Russia.
USA secara agresif, sedang melakukan pendekatan yang lebih intens dengan negara-negara yang dinilainya memiliki pengaruh besar terhadap kekuatan ekonomi Russia. Tidak bisa dipungkiri, di kawasan Asia Tenggara, Vietnam dan Indonesia adalah mitra setrategis terbesar Russia yang sangat diperhitungkan. Ditambah lagi dengan India, yang telah menjelma menjadi importir senjata Russia terbesar, menggeser posisi China. Ketika konflik Ukraina meletus, US beserta gengnya, serentak menjatuhkan sanksi terhadap Russia. Langkah cerdas dan tangkas Putin yang merangkul China lebih dulu sebelum sanksi benar-benar dijatuhkan, telah menyelamatkan Russia dari keterpurukan.
Bahkan di Moskow sendiri, Putin sempat mengolok-olok kebijakan US yang membekukan pasokan daging ke Russia. Putin justru menyerang balik US dengan mengungkapkan pakta kerugian ekonomi yang diderita oleh sektor peternakan US. Supply daging Russia, terselamatkan oleh adanya pasokan daging dari China, India, Nepal dan Korea Utara. Hal yang paling menakutkan justru datang dari sektor perdagangan senjata. Russia sedang gencar merilis isu atau mungkin berita tentang peningkatan kemampuan teknologi militer beserta nilai ekspornya.
US mencium ada aliran dana segar yang cukup besar dari wilayah Asia Tenggara yang membanjiri industri senjata di Russia. Bisa jadi, inilah motivasi US untuk mengirimkan delegasinya ke negara-negara seperti India, Indonesia dan Vietnam. Atau bisa juga, US sedang memanfaatkan kelengahan Russia untuk menguasai kantong-kantong ekonomi Russia di beberapa negara. US akan berusaha meraih perhatian penuh dari negara-negara mitra Russia, disaat Russia tidak bisa memberikan perhatian penuh pada mereka. Kondisi saat ini bisa menjadi media yang tepat untuk menilai sejauh mana kesungguhan Russia terhadap komitmen dengan mitra-mitranya, sekaligus bisa dimanfaatkan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dari berbagai penawaran yang diberikan oleh USA.
Bisa jadi, inilah taktik US untuk kembali menguasai perekonomian dunia. Saya masih ingat dengan kabar KPK yang tiba-tiba ingin masuk dalam ranah transaksi alutsista oleh TNI. Adakah hal itu dilakukan secara tulus untuk mengawal aliran uang rakyat? Atau, jangan-jangan ada misi terselubung untuk melubangi sistem yang selama ini dikenal sangat tertutup rapat. Wallahualam, segala kemungkinan untuk itu, masih sangat terbuka. Yang jelas, dunia mulai mencium ada sesuatu yang tidak beres dalam konteks hubungan antara negara-negara Russia-India-China-Vietnam-Korut-Indonesia dan Brunei.
Kedatangan delegasi Amerika ke negara-negara tersebut, diyakini memiliki tingkat kepentingan yang amat tinggi. Adakah, atau, akankah sebuah misteri besar akan segera terbongkar? Di era 90an, Brunei diisukan akan bergabung dengan negara-negara FPDA. Namun akhirnya kiblat pertahananya berubah haluan. Kini, kelima negara FPDA melihat kedekatan Brunei dengan Indonesia yang sangat mencolok mata. Apalagi setelah adanya pembelian kapal perang Nakhoda Ragam Class. Metode pembelian serupa ini, disinyalir akan menjadi salah satu modus pengakuisisian alutsista oleh militer Indonesia.
Sebelumnya, Brunei juga telah menghibahkan kapal perang dari kelas Salawaku. Saat ini, kapal tersebut telah menjelma menjadi kapal patroli tercanggih yang dimiliki TNI. Pembelian kapal Nakhoda Ragam Class, yang sebelumnya kurang mendapat perhatian, berubah menjadi isu regional yang sangat diperhitungkan. Selain keberanian Brunei yang telah mengobralnya dengan harga yang sangat rendah, perhatian besar lainnya justru tertuju pada kemampuan Indonesia dalam meredesign ketiga kapal tersebut. Sesuatu yang diluar dugaan dan perhitungan berbagai kalangan.
Bahkan bagi pihak BAE sendiri, kehadiran para insinyur Indonesia di galangan kapal mereka, tak ubahnya seperti sengatan lebah, yang telah membuat mereka membuka mata, dan terbangun dari mimpi-mimpi lama. Bung Tomo Class, akhirnya telah membuat negara seperti Singapore menjadi gundah, dan Malaysia turut terpana. Kelak nun di tengah laut nan lepas, kita akan sering melihat pertemuan kapal-kapal Bung Tomo Class dengan kapal Daruttaqwa Class dan Makassar Class dari negara tetangga yang satunya..!
Bayang-bayang itu, sepertinya telah menghantui negara-negara yang tergabung dalam FPDA. Setelah tahun lalu, Australia menghibahkan kapal patrolinya pada Malaysia, kini giliran New Zealand pula yang menawarkan kapal patrolinya the Rotoiti Class pada Malaysia. Padahal kita ketahui bahwa umur kapal-kapal tersebut belum genap mencapai umur 5 tahun, bahkan kondisinyapun masih sangat gress dan prima. New Zealand akan melepasnya dengan alasan ketiadaan tenaga perawatan kapal. Hehehe..! Sebuah kekonyolan yang sengaja dirancang. Bahkan di pelabuhan Kinabalu, sekarang sedang merapat kapal perang milik Australia, HMAS Tobruk, kapal jenis LSH dari angkatan laut Australia yang berjasa mengangkut asset militer Australia saat harus kembali ke negaranya, setelah hampir belasan tahun mengemban amanah dari Inggris untuk menjaga wilayah Malaysia, pasca Inggris meninggalkannya pada awal dekade 1970an.
Belum diketahui misi apa yang sedang diemban oleh kapal ini. Apakah kapal tersebut akan menjadi bagian tak terpisahkan dari asset-asset TLDM? Bisa jadi, jawaban yang pasti akan segera kita dapati setelah delegasi parlemen US yang berkunjung ke Indonesia, bertemu dengan rekan mereka yang berkunjung ke Vietnam. Selanjutnya, sang Menhan, Chuck Hagel, akan melakukakan cross check, dan sebuah keputusan besar akan disepakati..! Hehehe..! Mari bung, kita lihat nanti..! Salam..! (by: yayan@indocuisine/Kuala Lumpur, 14 August 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar