Kota Debaltseve, yang menjadi pusat pertempuran, merupakan jalur utama angkutan di antara Donetsk dan Lugansk, yang dikuasai pemberontak. Di sana terdapat ribuan tentara pemerintah, yang dikepung pasukan pemberontak.
"Pertempuran terjadi di Debaltseve, diwarnai tembakan mortir, serangan senjata berat howitzer dan peluru kendali Grad," kata Kiva.
Pejabat kota, yang lari dari Debaltseve, Natalia Karabuta, mengatakan kepada AFP bahwa ledakan terjadi tanpa henti dan dia memperkirakan sekitar 5.000 penduduk terjebak dengan makanan dan air terbatas.
Tim pemantau dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) juga tidak dapat melakukan pengawasan proses gencatan senjata di Debaltseve karena pertempuran tersebut.
Pejabat pemerintah Kiev dan pemberontak saling menyalahkan satu sama lain terkait serangan-serangan tersebut yang membuat mereka urung menarik tank, roket dan artileri dari garis depan di timur Ukraina.
Penarikan senjata berat seharusnya dilakukan pada Senin tengah malam waktu setempat (05.00 WIB) dan merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata.
Namun pejabat senior Ukraina mengatakan kepada AFP tidak pernah ada kesepakatan batas waktu penarikan persenjataan.
"Penarikan itu bisa saja dimulai Selasa jika kondisi memungkinkan," kata pejabat pemerintah yang namanya tidak mau disebut.
Para pemberontak juga menolak menarik mundur semua senjata beratnya sampai gencatan senjata bisa dilaksanakan sepenuhnya.
Kedua belah pihak bertikai juga saling tuding atas serangan baru di beberapa wilayah, termasuk di bandara Donetsk yang dikuasai pemberontak dan dekat kota pelabuhan Mariupol.
Pemerintah Ukraina mengatakan pemberontak telah melakukan 112 kali serangan terhadap pasukan pemerintah, Minggu (15/2), dan menewaskan lima personel dan melukai 25 orang lainnya.
Pada Senin (16/2), menurut kementerian pertahanan Ukraina pada halaman Facebook resminya, pemberontak melakukan 38 kali serangan yang mayoritas adalah rudal "Grad" dan mortar.
Pihak Ukraina menuding kaum separatis melancarkan tembakan ke Donetsk, namun kemudian menuduh pemerintah Kiev sebagai dalang serangan tersebut.
Uni Eropa (EU), Senin, meminta agar tembak-menembak di Ukraina segera dihentikan setelah pertempuran terjadi di jalur kereta api strategis dan kedua belah pihak belum menyetujui penarikan persenjataan dari garis depan setelah dua hari kesepakatan gencatan senjata.
Juru bicara Komisi Eropa (EC) Maja Kocijancic menambahkan gencatan senjata sangat penting direalisasikan.
Kanselir Jerman Angela Merkel juga mengakui bahwa kondisi di Ukraina rentan. "Saya selalu berkata tidak ada jaminan usaha kita akan mencapai hasil positif. Ini adalah langkah yang sangat sulit," ujar dia.
Sebelumnya pada Senin (16/2) malam, Merkel, Presiden Prancis Francois Hollande dan Presiden Ukraina Petero Poroshenko berbicara melalui telepon.
Para pemimpin tersebut menyatakan keprihatinan atas pertempuran yang berlanjut di Debaltseve dan meminta agar pengawas OSCE memiliki akses bebas untuk memantau konflik.
Selain itu Amerika Serikat (AS) telah meminta Rusia dan kelompok separatis untuk segera menghentikan serangan di timur Ukraina dan mengungkapkan keprihatinannya atas "situasi yang memburuk".
Pada September 2014, gencatan senjata pernah disepakati di Minsk, Belarus, namun dengan segera dibatalkan oleh kedua belah pihak.
Eropa dan AS menyatakan tidak setuju atas pernyataan Presiden Vladimir Putin yang menentang campur tangan negara lain dalam konflik Ukraina.
EU telah menjatuhkan sanksi baru untuk Rusia yang dituding memberikan bantuan militer kepada pemberontak pendukung negeri beruang merah dalam pertempuran dengan pasukan Ukraina.
Rusia menolak tuduhan tersebut dan berjanji akan memberikan "balasan yang sesuai" atas tindakan EU.
EU, pada Senin (16/2), menambah nama lima warga Rusia, dua wakil menteri pertahanan, dua legislator dan seorang penduduk, ke dalam daftar larangan berkunjung dan memasukkan aset-aset mereka yang telah dibekukan ke daftar hitam.
Sebanyak 14 anggota tentara, tokoh politik pemberontak serta sembilan organisasi juga masuk dalam daftar hitam tersebut.
Kementerian luar negeri Rusia mengecam kebijakan EU tersebut dan menyebutnya "tidak konsisten dan tidak masuk akal".
"Keputusan tersebut akan mendapatkan balasan yang sesuai," kata pernyataan kementerian tersebut.
Rusia telah melarang impor buah Eropa sebagai bentuk balasan atas sanksi yang diberikan sebelumnya.
antaranews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar